Sukses

Scary Stories to Tell in the Dark: Azab Remaja Pencuri Buku

Film Scary Stories to Tell in the Dark menempatkan bintang-bintang muda di barisan depan.

Liputan6.com, Jakarta - Scary Stories to Tell in the Dark datang ke Indonesia lebih cepat, pada Rabu (7/8/2019). Di negara asalnya, Amerika Serikat, film ini baru tayang Jumat (9/8/2019). Scary Stories to Tell in the Dark diadaptasi dari buku fenomena berjudul sama karya Albert Schwartz.

Yang menarik, Scary Stories to Tell in the Dark menempatkan bintang-bintang muda di barisan depan. Wajah pemeran utama film ini, Zoe Margaret belum familier karena penonton Indonesia baru sekali melihatnya di film Annie (2014). Lalu apa yang menarik dari Scary Stories to Tell in the Dark?

Scary Stories to Tell in the Dark menceritakan upaya Stella (Zoe), Auggy (Gabriel), dan Chuck (Austin) mengerjai Tommy (Austin Abrams) dengan umpan berupa kantong berisi kotoran manusia. Tak terima, Tommy mengejar Stella dan kawan-kawan ke kawasan bioskop mobil. Stella, Auggy, dan Chuck lantas bersembunyi di mobil milik Ramon (Michael). Karena ketahuan, Michael, Stella, Chuck, dan Auggy kabur ke sebuah rumah tua yang ditinggalkan penghuninya lebih dari seabad lalu.

Rumah tua itu dulu milik keluarga Bellows yang memiliki putri bernama Sarah (Kathleen). Sarah mengidap penyakit aneh. Lantaran perilakunya kerap membahayakan penduduk setempat, Sarah diisolasi keluarganya di ruang gelap.

Stella yang penasaran dengan kisah hidup Sarah diam-diam mencuri sebuah buku dari kamarnya. Dari buku inilah teror berasal. Bertubi-tubi, orang yang dikenal Stella menghilang. Dimulai dari Tommy yang pulang dalam keadaan mabuk lalu ditemukan menjadi orang-orangan sawah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Rasa Takut Menjadi Nyata

Konsep Scary Stories to Tell in the Dark sangat menarik. Bayangkan jika cerita seram yang pernah Anda dengar benar-benar menimpa hidup Anda. Film ini mendefinisikan mimpi (buruk) yang jadi nyata.

Konsep (mimpi buruk yang jadi nyata) inilah yang membedakan Scary Stories to Tell in the Dark dari film lain. Tanpa konsep ini, Scary Stories to Tell in the Dark akan terjebak pada horor generik yang alurnya mudah ditebak. Yakni, sekumpulan anak muda masuk ke rumah angker lalu satu per satu mati dengan cara mengerikan.

Jika ini terjadi, maka Scary Stories to Tell in the Dark sama saja dengan horor kelas B yang diproduksi massal di Indonesia. Akan mirip dengan film-film Nayato Fio Nuala beberapa tahun silam.

Scary Stories to Tell in the Dark punya metode khusus dalam menghabisi karakter yang jadi korban. Bahwa musibah datang dari keisengan di rumah angker, itu satu hal. Namun cara mereka mati dibuat beragam dengan benang merah: rasa takut yang jadi nyata.

Scary Stories to Tell in the Dark hendak memberi tahu kita bahwa manusia mengekspresikan rasa takut dengan cara berbeda. Ada yang berbalik marah dan sok kuat. Lalu sok kuat itu dipamerkan ke orang lain seolah ia sukses menindas rasa takut.

Ada yang terbawa mimpi, menceritakan ke orang terdekat lalu tersiksa oleh mimpi itu. Ada yang memilih menyimpan rasa takut lalu keadaan memaksanya untuk membuat perlawanan. Ada pula yang histeris alias heboh sendiri. Dan masih banyak lagi.

3 dari 4 halaman

Hantu Tak Melulu Menakutkan

Beragam cara menyikapi rasa takut itu lantas mewujud dalam sejumlah karakter seperti Ramon, Auggy, dan Tommy. Dimainkan oleh bintang muda, dikemas dengan alur linear dan sangat ngepop, membuat Scary Stories to Tell in the Dark terasa kasual namun tak kehilangan efek ngeri.

Tak semua setan dalam film ini menakutkan. Penampakan wanita gemuk berwajah pucat malah bikin kami nyengir tertawa. Bukannya menakutkan malah mirip karakter animasi yang layak dikasihani.

Tapi itulah rasa takut. Ia menjelma menjadi banyak wujud. Bagi kami misalnya, badut itu lucu. Di sisi lain ada orang yang takut setengah mati melihat badut. Itulah yang tergambar dengan gamblang di film ini.

4 dari 4 halaman

Atmosfer Horor Klasik

Tak sekadar mengutak-atik rasa takut lewat cerita ramalan dan teka-teki, Scary Stories to Tell in the Dark terasa menarik berkat pemilihan pemain yang tepat. Michael Garza kali pertama muncul di layar, kharismanya membuat yakin dialah pahlawannya.

Selain ganteng, air muka tenang dan caranya membawa diri membuat penonton yang panik jadi relaks sesaat. Sejak awal ia tampak stabil. Chemistry-nya dengan Zoe terasa sejak kali pertama berjumpa. Tak ada aroma cinta yang kuat, yang tercermin di adegan intens seperti ciuman. Namun kita bisa merasakan ada getaran di antara keduanya.

Yang sedikit membingungkan bisa jadi munculnya korban lain meski ia tak tampak berkunjung ke rumah angker. Tanpa dialog atau adegan yang menerangkan, kami hanya bisa menduga kematian tokoh ini karena tak percaya pada buku Sarah.

Scary Stories to Tell in the Dark menampilkan visual hantu serta riasan wajah yang detail. Ini membuat (proses) penampakan hantu menimbulkan efek samping berupa meningkatnya tensi ketegangan.

Ini penting bagi film horor di samping cerita yang tidak melecehkan logika. Plus tata artistik yang mempersilakan kita masuk ke era 1960-an. Dengan demikian, Scary Stories to Tell in the Dark memenuhi jati dirinya sebagai horor beratmosfer klasik. (Wayan Diananto)

 

Film Scary Stories to Tell in the Dark

Pemain: Zoe Margaret Colletti, Michael Garza, Gabriel Rush, Austin Zajur, Natalie Ganzhorn, Kathleen Pollard, Austin Abrams, Dean Norris

Produser: Guillermo del Toro, Sean Daniel, Jason F. Brown, J. Miles Dale, Elizabeth Grave, Joshua Long, Roberto Grande

Sutradara: Andre Ovredal

Penulis: Dan Hageman, Kevin Hageman

Produksi: CBS Films

Durasi: 1 jam, 51 menit

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.