Sukses

Estetis Tapi Magis, Mengulik Sisi Lain Tari Hudoq

Seperti diketahui, masyarakat Dayak memang terkenal akan kekayaan tradisinya, khususnya upacara adat. Mereka memiliki beragam prosesi ritual yang berkaitan erat dengan nilai-nilai spiritual, termasuk perihal tari tradisional.

Liputan6.com, Samarinda - Tari hudoq merupakan salah satu tarian tradisional dari Suku Dayak yang tinggal di Kalimantan Timur. Tak hanya estetis, tarian ini ternyata juga kental dengan unsur magis.

Seperti diketahui, masyarakat Dayak memang terkenal akan kekayaan tradisinya, khususnya upacara adat. Mereka memiliki beragam prosesi ritual yang berkaitan erat dengan nilai-nilai spiritual, termasuk perihal tari tradisional.

Mengutip dari indonesiakaya.com, hudoq sebenarnya merupakan nama tari topeng tradisional yang akhirnya menjelma menjadi sebuah festival perayaan. Masyarakat Suku Dayak umumnya menyebut topeng dengan hudoq yang berarti menjelma.

Bentuk hudoq bermacam-macam, mulai dari berwujud babi, monyet, atau binatang-binatang lain yang dianggap sebagai hama. Sebaliknya, burung elang dilambangkan sebagai binatang yang akan melindungi dan memelihara hasil panen. Adapun hudoq yang berwujud manusia merupakan simbol nenek moyang.

Lahirnya tari hudoq bermula dari kisah anak Raja Hajaeng yang tinggal di Kampung Laham Kejin, Halaeng Heboung. Ia mencari mandaunya yang jatuh ke sungai.

Dalam pencariannya, ia kemudian sampai di lokasi yang disebut eleing bouy meash atau pusaran air di Sungai Kejin, Apo Kayan. Ia bertemu dengan Selo Sen Yaeng, seorang manusia gaib yang berasal dari dasar sungai.

Pertemuan tersebut mengantarkan mereka pada ikatan perkawinan hingga memiliki seorang anak bernama Buaq Selo. Suatu hari, Halaeng dan Selo mengadakan pertunjukan dengan mengumpulkan makhluk gaib dari dasar sungai.

Alih-alih menjadi hiburan, pertunjukan itu justru menakuti Halaeng dan anaknya. Sampai-sampai, mereka melarikan diri dan bersembunyi di lumbung padi.

Sejak saat itu, mereka merasa tak nyaman lagi tinggal di dekat sungai dan memutuskan untuk kembali ke lingkungan kerajaan di Kampung Laham Kejin. Meski Halaeng telah kembali ke kampungnya, hubungan antara dirinya dan Selo Sen Yaeng tetap terjaga melalui ritual hudoq.

Terkait keberadaan tari hudoq, sebenarnya ada banyak tradisi topeng yang sudah berkembang sejak zaman prasejarah. Pada masa itu, topeng dianggap sebagai penghormatan kepada leluhur.

Penggunaan topeng yang paling umum adalah lewat pentas tari yang berisi petuah turun-temurun nenek moyang. Dari sanalah, topeng kerap dianggap berkaitan erat dengan roh leluhur yang diyakini sebagai perwujudan dewa.

 

2 dari 2 halaman

Bagian Ritual

Awalnya, tari hudoq adalah bagian dari ritual Suku Dayak Bahau saat akan membuka lahan pertanian baru atau setelah musim panen. Tujuannya untuk berkomunikasi dengan roh nenek moyang demi meminta perlindungan dan kekuatan agar terhindar dari energi jahat.

Tari hudoq juga menjadi media untuk berterima kasih atas hasil panen yang melimpah. Sosok leluhur, roh, maupun dewa ini digambarkan melalui media topeng.

Penggunaan topeng juga didasarkan pada kepercayaan Suku Dayak Bahau yang menganggap bahwa manusia tidak bisa melihat roh secara langsung. Jika hal itu terjadi, maka manusia akan mengalami kualat atau parit yang dapat merugikan diri sendiri. Dari sana, akhirnya dibuatlah topeng sebagai media komunikasi agar roh-roh bisa berhubungan dengan manusia tanpa terkena kemalangan.

Hudoq terbuat dari kayu pohon jelutung, pelay, dan kemiri. Topeng tersebut didominasi warna merah, putih, hitam, dan kuning yang dipercaya sebagai warna kesukaan para dewa.

Selain topeng, para penari hudoq juga mengenakan chum tai atau baju rumbai berwarna hijau yang merepresentasikan karakter leluhur. Baju ini dibuat dari daun pisang yang dipotong memanjang kemudian disusun menjadi baju.

Tari hudoq bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi juga sarana memperkuat identitas budaya suku Dayak. Tarian yang diwariskan turun-temurun ini juga sangat kental dengan unsur magis dan spiritual.

Penulis: Resla