Sukses

Senyum Pembudidaya Ikan Jurung di Sungai Asahan Kembali Merekah Berkat Inalum

Dalam upayanya untuk melestarikan ikan jurung, Sutrisno bekerja keras mengembangbiakkan dan membudidayakan ikan ini di kolamnya. Barulah tiga tahun terakhir ia merambah budidaya ikan jurung karena dianggap menjanjikan.

Liputan6.com, Jakarta - Sungai Asahan, sebuah aliran air yang membelah Kabupaten Asahan di Sumatera Utara, membawa secercah senyum pada wajah para pembudidaya ikan langka yang disebut ikan jurung. Di tepi sungai yang indah ini, ada kisah pelestarian ikan langka dalam menjaga kelangsungan ikan dan keberlanjutan ekosistem Sungai Asahan.

Air mengalir jernih memantulkan sinar matahari dengan indah ditambah latar belakang pepohonan yang hijau. Di pagi yang cerah, sekitar pukul 7.30 WIB, Sutrisno (52), petani ikan di Dusun IV, Desa Aek Songsongan, Kecamatan Aek Songsongan, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, sudah sibuk memberikan pakan ikannya yang hidup di dalam kolam.

Keindahan pagi yang cerah dan berawan menjadikan tampilan ikan-ikan dalam kolam sangat jelas. Ada total tujuh kolam dengan ukuran yang beragam. Kolam terkecil di antaranya digunakan khusus untuk pembibitan ikan, sementara kolam-kolam yang lebih besar memainkan peran penting dalam membesarkan ikan hingga ukuran yang siap dijual.

Suasana yang disuguhkan oleh kebun yang mengelilingi kolam menambahkan sentuhan keindahan hijau di lokasi ini. Bukan hanya sekadar tempat budidaya, lokasi ini juga sebuah spot wisata yang menawarkan pemandangan kebun yang menakjubkan dengan kolam ikan sebagai pemandangan tambahan yang luar biasa.

Di salah satu sudut kolam, tampak sebuah pondok berdiri tegak, dibangun dengan konstruksi bambu dan atap seng. Dari tempat ini, kita dapat melihat ikan-ikan yang bersemangat mendekati makanan yang dilemparkan oleh Sutrisno dari tepi kolam. Tak hanya menyajikan pemandangan yang indah, tetapi di tempat ini juga memberikan kebahagiaan bagi pengunjung yang datang.

Mengenakan kaos polo dan celana katun hitam, Sutrisno dengan tekun melemparkan pelet makanan ke dalam kolam ikan. Setiap langkahnya di atas tujuh kolam seluas 1,5 hektar yang tersusun bertingkat adalah bagian dari upaya pembudidayaan ikan, termasuk ikan langka yang dijuluki ikan jurung.

Inisiatifnya ini patut diacungi jempol, karena ia berusaha melestarikan ikan-ikan air tawar endemik di wilayahnya, termasuk sang ikan jurung yang langka.

Di tepi Sungai Asahan yang berasal dari kawasan Danau Toba, Sutrisno memiliki ratusan ikan jurung dewasa di kolamnya. Ikan ini memiliki potensi pertumbuhan besar, bisa mencapai berat 3-4 kilogram dengan usia sekitar lima tahun. Namun, mengingat kelangkaannya, ikan jurung di alam liar sangat sulit dicari.

"Jenis ikan ini di sungai yang jadi habitatnya sudah langka, lalu saya pijahkan, tapi memang masih belum besar," kata Sutrisno saat ditemui Liputan6.com sebagai bagian dari agenda site visit wilayah operasional PT Inalum finalis kompetisi Karya Jurnalistik MediaMIND 2023, Selasa (16/10/2023).

Tekanan eksploitasi manusia melalui penangkapan berlebihan telah mengancam kelangsungan hidup spesies ikan jurung. Selain itu, perubahan ekosistem yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti perambahan hutan dan perburuan liar, telah memengaruhi habitat alami ikan ini di Sungai Asahan.

Adapun ikan jurung diyakini memiliki nilai gizi yang sangat penting. Ikan ini kaya akan protein, mengandung omega-3, dan albumin yang berperan dalam meregenerasi sel-sel tubuh yang rusak dan meningkatkan stamina. Ini menjadikan ikan jurung sebagai sumber nutrisi yang berharga bagi kesehatan manusia.

Selain itu, habitat jenis ikan berwarna hitam dengan garis-garis putih yang buram ini, hidup di sungai yang berarus deras dan bebatuan. Biasanya ikan jurung lebih menyenangi bersembunyi di balik bebatuan di dasar sungai.

Bagi masyarakat Toba, ikan jurung merupakan ikan yang bergengsi dan dianggap sebagai simbol kesuburan. Dalam setiap harapannya, keluarga yang menerima penganan dari ikan jurung ini berharap agar diberkati dengan keturunan yang banyak, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka juga berharap mendapatkan rezeki sebagaimana perilaku ikan jurung yang hidup beriringan dan selalu berbaur satu sama lain.

Dalam upayanya untuk melestarikan ikan jurung, Sutrisno bekerja keras mengembangbiakkan dan membudidayakan ikan ini di kolamnya. Pria yang akrab dipanggil Tris, semula hanya membudidayakan nila, gurami, dan udang gala. Barulah tiga tahun terakhir ia merambah budidaya ikan jurung karena dianggap menjanjikan.

"Karena orang yang mau beli ikan ini banyak, harganya memang lumayan. Satu kilogram bisa Rp1 juta, kalau yang mati saja Rp200 ribu," ujarnya.

Menurut Sutrisno, ikan jurung yang memiliki nilai jual maksimal harus memiliki berat minimal di atas satu kilogram. Namun, mencapai ukuran berat tersebut bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan perhatian khusus terhadap aspek-aspek seperti pemberian makanan yang tepat, kondisi kolam yang sesuai, dan suhu air yang ideal.

“Kenapa ikan jurung itu dimasukkan ke kolam supaya habitatnya seperti ikan nila, dia tidak ada di air deras tetapi tetap hidup di kolam. Nah, kita coba pada ikan jurung ternyata bisa bertahan hidup,” ujarnya.

Bagi para pembudidaya ikan jurung seperti Sutrisno, proses membesarkan ikan hingga mencapai ukuran satu kilogram memerlukan waktu yang cukup lama. Umumnya, mereka harus bersabar selama sekitar tiga tahun untuk melihat ikan-ikan mereka mencapai ukuran yang memungkinkan untuk dijual dengan harga maksimal.

Di wilayahnya sendiri, ikan jurung menjadi primadona bagi masyarakat Batak. Di tanah Batak, ikan ini memiliki makna khusus dalam berbagai prosesi adat.

“Di sini kan banyak orang Batak. Mereka cari ikan dengan berat 2,5 ons harganya Rp500 terus beli, enggak pakai menawar lagi,” ujar Sutrisno.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Punya Nilai Sakral dalam Budaya Batak

Ikan jurung dalam nomenklatur ilmiahnya diidentifikasi sebagai Tor soro. Indonesia sendiri memiliki beberapa jenis ikan jurung, yang antara lain meliputi Tor soro, Tor douronensis.Val., Tor tambra. Val., dan Tor tambroides. Blkr. (Kottelat et al. 1993).

Di wilayah Danau Toba, Sumatera Utara, dan sekitarnya, seperti Situs Aek Sirambe, Panahatan, Sungai Asahan, Sungai Bahorok, dan Sungai Aek Sarula di Kabupaten Tarutung, ikan jurung dikenal dengan sebutan ihan batak. Ikan ini memiliki nilai sakral yang sangat tinggi dalam budaya masyarakat Batak.

Dalam catatan peneliti Jojo Subagja tentang "Budidaya Ikan Dewa", ihan batak termasuk jenis ikan langka dengan kategori Red List Status (IUCN, 2017). Diketahui, ikan ini hanya ada di bagian selatan dari Danau Toba.

Hanya saja, jenis ini merupakan jenis yang sebenarnya yang disebut ihan batak sedangkan ikan Tor soro disebut oleh orang Batak sebagai ikan jurung-jurung. Namun seiring kelangkaan jenis ikan ini di Danau Toba, orang Batak menganggap Tor soro sebagai juga ikan batak.

Memang benar ikan jurung ini dinamakan ikan batak, namun ikan batak yang disebut sebagai “ihan” adalah ikan asli Batak yang sudah menuju kepunahan atau memang sudah punah adalah dari genus Neolissochilus.

Kelangkaan ihan batak ini berdampak terhadap pergeseran tata laksana adat istiadat di kalangan masyarakat. Dewasa ini, posisi ikan banyak digantikan posisinya dengan ikan mas dalam acara “upa-upa”.

Secara morfologis, memang sulit membedakan antara genus Tor dan genus Neolissochilus. Bahkan, ikan jurung memiliki kemiripan bentuk dengan ikan mas, terkecuali ukuran sisik yang lebih besar dibandingkan dengan ikan mas (Cyprinus Carpio), yang merupakan anggota famili yang sama, yaitu Cyprinidae.

Kemiripan ini adalah penyebab utama mengapa ikan jurung sering disebut sebagai ikan batak, meskipun ihan batak, yang termasuk dalam genus Neolissochilus, adalah ikan asli Batak yang kini terancam kepunahan. Salah satu spesies ihan batak adalah Neolissochilus thienemanni, Ahl 1933, yang merupakan ikan endemik Danau Toba dan umumnya di wilayah Tanah Batak.

Selain di Sumatera Utara, khususnya di Danau Toba, ikan ini juga dapat ditemukan di beberapa wilayah lain di Indonesia, seperti Kuningan, Sumedang, dan Kediri. Di Kuningan, ikan batak dianggap keramat dan dikenal dengan sebutan "ikan dewa," dan sering dipelihara di kolam-kolam tua.

3 dari 5 halaman

Turut Menjaga Kelestarian Sungai

Sutrisno optimis bahwa budidaya ikan jurung memiliki peluang yang cerah. Saat ini, masih jarang orang yang terlibat dalam usaha ini.

Dengan keyakinan tersebut, Sutrisno pun mulai merancang tempat ini sebagai sebuah destinasi wisata. Dia ingin menjadikan lokasi ini sebagai tempat di mana orang bisa melepas penat sambil menikmati momen memancing ikan jurung yang langka ini.

“Jadi, yang beli ikan bisa datang langsung sambil menikmati pemandangan. Kalau tidak datang, saya bisa kirim langsung dengan kondisi ikan hidup atau dalam keadaan mati,” ujarnya.

Untuk pemasaran, kata Sutrisno, pihaknya menyasar wilayah Asahan. Selain itu, daerah lainnya seperti Medan hingga Pekanbaru pada umumnya. Tidak menutup kemungkinan ikan jurung ini juga akan diekspor hingga ke luar negeri seperti Malaysia.

Harga komoditas ikan, menurut Sutrisno bervariasi. Ukuran bibit ukuran 7-10 cm dipatok Rp10 ribu. Bagi pembeli yang ingin membeli 10 ekor bibit larva Rp10 ribu. Sedangkan, penjualan ikan jurung untuk konsumsi Rp500 ribu. Kemudian, untuk ikan jurung dewasa dipatok Rp1-1,5 juta per ekor dengan bobot satu kilogram.

Dari budidaya ikan air tawar Sutrisno bisa meraup omzet hingga jutaan rupiah. Penghasilannya untuk menafkahi keluarganya.

Meski begitu, Sutrisno tidak hanya mengeruk keuntungan semata. Sebab ia menyadari habitat ikan ini harus terus dijaga untuk kelestarian sungai.

“Kalau ikan kami ini banyak, nanti kami kembalikan ke sungai. Memang kami berniat mengembalikan ke Sungai Asahan,” ujarnya.

4 dari 5 halaman

Diejek Tetangga hingga Dianggap Tak Waras

Perjalanan hidup Sutrisno tidaklah terkait erat dengan latar belakang keluarga perikanan. Dalam kehidupannya, Sutrisno tidak mengalirkan "darah ikan" sejak lahir. Sejarah keluarganya sendiri memiliki akar yang berasal dari Madura, Jawa Timur, yang turut berpartisipasi dalam program migrasi orang Jawa ke daerah Asahan pada masa penjajahan Belanda.

Migrasi orang Jawa ke Asahan pada saat itu terjadi sebagai dampak dari kebutuhan akan tenaga kerja dalam industri perkebunan yang berkembang pesat di Pantai Timur Sumatera. Asahan, yang kemudian menjadi kabupaten pada 1946, awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Asahan yang dipimpin oleh Sultan Asahan.

Namun, pada 12 September 1865, Belanda berhasil menaklukkan Kesultanan Asahan. Mereka kemudian membentuk Afdeling Asahan yang berpusat di Tanjung Balai, sesuai dengan keputusan yang diambil pada 30 September 1867. Wilayah pemerintahan Afdeling Asahan dibagi menjadi tiga bagian: Onderafdeling Batubara; Onderafdeling Asahan; Onderafdeling Labuhan Batu.

Saat kakek Sutrisno mengikuti program transmigrasi tidaklah mudah. Masyarakat yang berpartisipasi dalam program transmigrasi sering kali menghadapi ejekan dan cercaan, baik dari keluarga mereka sendiri maupun dari tetangga. Mereka sering dianggap sebagai orang-orang yang tidak mampu bertahan hidup di Jawa.

Meskipun banyak tudingan miring yang ditujukan kepada warga transmigrasi, keluarga Sutrisno tetap tegar. Ayah Sutrisno lebih memilih melanjutkan usaha yang telah dijalani oleh sang kakek. Dengan hanya memiliki lahan sekitar dua setengah hektar dan sebuah rumah sederhana terbuat dari papan, keluarga Sutrisno berjuang menghidupi diri mereka di tengah perkebunan kelapa sawit dalam program transmigrasi, menjauh dari keramaian dan kebisingan kota.

Puluhan tahun menggarap lahan di atas perkebunan sawit, Sutrisno bersama ayahnya mulai melirik potensi lain. Lahan yang selama ini digunakan untuk berkebun, diubah menjadi kolam ikan.

"Jadi, waktu 1998 itu kami ini dianggap gila oleh warga sekitar karena ketika orang lain berkebun, kami justru membuat kolam ikan," ucap Sutrisno mengenang masa lalu.

Pada awalnya, Sutrisno memelihara ikan air tawar. Alih-alih terusik dengan cibiran, Sutrisno malah menjual ikan-ikan konsumsi seperti ikan mas, nila, gurami, udang gala, dan ikan air tawar lainnya. Ikan-ikan tersebut pun laku di pasaran.

Pada saat ia beternak ikan air tawar di kolamnya, Sutrisno menyadari ada beberapa ekor ikan jurung. Saat itu ia belum menyadari bahwa ikan tersebut langka.

“Kami pelihara ikan jurung itu sebenarnya dari 2019, ikan tangkapan biasa. Seperti “anak yatim” saja kelihatannya, dikasih biji sawit dia mau. Tapi selama empat tahun beratnya hanya satu kilogram karena memang lambat pertumbuhannya,” ujar Sutrisno.

Menyadari ada peluang menggiurkan dari ikan jurung, Sutrisno kemudian mengumpulkan berbagai jenis ikan air tawar, terutama jenis endemik langka. Ia pun membeli ikan yang ditangkap penduduk di hulu Sungai Asahan.

Untuk ikan jurung, ia memperolehnya dengan membeli dari warga Air Terjun Ponot yang berhasil menangkap ikan langka itu. Namun, lambat laun ia dan sejumlah rekannya pergi mencari sendiri ikan tersebut.

"Awalnya beli 70 ekor hasil pancing. Kemudian kita cari sendiri ke sungai, pergi tengah malam dan pulang pagi," ujarnya.

Untuk melaksanakan budidaya ikan jurung di belakang rumahnya yang berada di tepi Sungai Asahan, Sutrisno dibantu tetangga ditambah anggota keluarganya yang tergabung dalam Unit Pembibitan Rakyat (UPR) Mutiara Sungai Asahan. Lokasi pembibitan dan pembesaran ikan jurung, memanfaatkan sumber mata air dari aek pancuran yang berada di balik bukit.

“Sekarang kalau tidak kita alirkan air seharian enggak apa-apa, ikan tetap hidup karena sudah terbiasa di kolam dari kecil,” kata dia.

Selama ini pun, praktik pemijahan dilaksanakan di UPR Mutiara Sungai Asahan di Desa Aek Songsongan, Kecamatan Aek Songsongan. Tujuannya, untuk melestarikan ikan jurung di Kabupaten Asahan. Dalam hal ini PT Inalum memberikan bantuan pembangunan ruang pemijahan ikan jurung.

“Kami dapat bantuan mulai dari fasilitas bangunan, kolam, akuarium, dan juga pelatihan. Dari situ kita tahu bagaimana pembudidayaan ikan jurung. Kami senang fasilitas sudah dilengkapi Inalum,” ujar Sutrisno dengan senyumnya yang khas.

5 dari 5 halaman

Memberikan Nilai Tambah untuk Masyarakat

Ketekunan dan semangat Sutrisno dalam melakukan budidaya ikan mendapatkan apresiasi dan dukungan dari PT Inalum, anggota Grup Mining Industry Indonesia (MIND ID). Bahkan, kehadiran perusahaan peleburan aluminium ini turut andil memberikan sejumlah bantuan mendasar untuk memastikan kelangsungan usaha ini memberikan manfaat bagi masyarakat.

PT Inalum berinvestasi dalam pembangunan fasilitas pemijahan di lahan milik Sutrisno. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa para pekerja dalam kelompok usaha Sutrisno dapat lebih terampil dalam memijah ikan jurung. Oleh karena itu, mereka dapat dengan lebih mudah memperoleh bibit berkualitas.

VP CSR/TJSL Wilayah Paritohan PT Inalum Zainuddin Iqbal Sidabutar Silalahi mengatakan, pendampingan yang dilakukan pihaknya sejak kepada UPR Mutiara Sungai Asahan sudah memasuki dua tahun.

“Sekarang ini ada 100 ekor indukan dan ada kurang lebih seribuan ekor yang hasil pembudidayaan, dan 3.700 burayak (anakan) yang kita tempatkan dalam akuarium dengan suhu tertentu kemudian dikasih oksigen dan air murni dari mata air di sana,” ujarnya.

Selain itu, PT Inalum  juga mendukung kelompok usaha Sutrisno dengan mengirim mereka menjalani program pembelajaran dan pelatihan budidaya ikan jurung. Ini adalah langkah yang sangat berarti dalam memajukan usaha budidaya ikan jurung.

“Rencananya ikan-ikan ini sebagian akan dilepasliarkan ke sungai. Tujuannya jelas, sebagai bagian dari konservasi lingkungan yang ada di sekitar kita,” tutur Iqbal.

Corporate Communication PT INALUM Gilang Sukma mengakui semangat Sutrisno lah yang dilihat oleh pihaknya. Menurut dia, perusahaan akan terus mendorong para pelaku budidaya ikan jurung seperti Sutrisno untuk bisa membawa ikan jurung yang kebanggaan Sumatera Utara dan Indonesia untuk berenang di pasar internasional.

“Sesuai dengan visi Inalum, menjadi perusahaan global terkemuka berbasis aluminium terpadu ramah lingkungan, dengan misinya yaitu berpartisipasi dalam memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TSJL) dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang tepat sasaran,” ujar Gilang.

Selain itu, kata Gilang, PT Inalum juga melakukan optimalisasi budidaya dan memberi nilai tambah bagi UPR Mutiara Sungai Asahan. Menurut Gilang, dalam hal eksistensi Sungai Asahan sangat penting bagi keberlangsungan operasional PT Inalum, khususnya dua Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Siguragura dan Tangga.

“Dengan kondisi keberadaan ikan jurung di Sungai Asahan yang mulai terancam punah akibat kebiasaan masyarakat menangkap ikan tapa melakukan pengembangbiakan, maka program budidaya ikan jurung ini dilakukan," ujarnya.

Tak sampai di situ, program ini sesuai dengan misi Kabupaten Asahan yakni mewujudkan lingkungan hidup yang berkualitas, berkelanjutan, dan memiliki nilai ekonomis. Sebab itu, program ini juga didampingi oleh Dinas Perikanan Kabupaten Asahan dan berjalan sejak Maret 2021 lalu.

"Bagi perusahaan bermanfaat dengan citra positif di masyarakat dan Pemkab Asahan meningkat serta menjadi nilai tambah proper," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini