Sukses

Menyusuri Kisah Candi Cetho, Candi Peninggalan Kerajaan Majapahit

Candi Cetho memiliki corak agama Hindu. Candi ini diperkirakan selesai dibangun pada 1475 Masehi atau 1397 Saka.

Liputan6.com, Karanganyar - Candi Cetho merupakan salah satu candi yang berlokasi di Kabupaten Karanganyar, tepatnya di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jemawi. Candi yang terletak di ketinggian sekitar 1.496 mdpl ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit.

Candi Cetho memiliki corak agama Hindu. Candi ini diperkirakan selesai dibangun pada 1475 Masehi atau 1397 Saka.

Mengutip dari indonesiakaya.com, terdapat prasasti bertuliskan huruf Jawa kuno di dinding gapura tempat wisata Karanganyar ini. Prasasti tersebut bertuliskan "Pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397", yang jika ditafsirkan berarti sebuah peringatan pendirian tempat peruwatan atau tempat untuk membebaskan diri dari kutukan pada 1397 Saka.

Lebih lanjut, permulaan pembangunan candi ini ditulis dalam bentuk binatang, tumbuhan, dan lainnya. Adapun sengkalan di Candi Cetho berupa tiga ekor katak, mimi, ketam, seekor belut, dan tiga ekor kadal.

Keberadaan Candi Cetho pertama kali diungkap oleh Van der Vlies pada 1842. Hasil penelitian ini kemudian diteruskan oleh W.F. Stuterheim, K.C. Crucq, dan A.J. Bernet Kempers.

Saat pertama kali ditemukan, candi ini memiliki 14 teras. Namun, kini hanya tersisa sembilan teras.

Teras-teras ini merupakan hasil pemugaran yang dilakukan Sudjono Humardani pada 1975-1976. Pada masa itu, banyak kritik dari para ahli karena pemugaran dinilai tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan pemugaran cagar budaya.

Dari kesembilan teras itu, terdapat gapura besar dan dua arca penjaga di teras pertama. Gapura itu merupakan penambahan saat pemugaran.

Pada teras kedua terdapat petilasan Ki Ageng Kricingwesi, seorang tokoh yang dipercaya sebagai leluhur masyarakat Dusun Ceto. Adapun pada teras ketiga terdapat batu mendatar yang disusun membentuk kura-kura raksasa.

Kura-kura ini konon merupakan lambang Majapahit yang disebut surya Majapahit. Selain itu, ada pula simbol phallus (alat kelamin pria) sepanjang 2 meter. Kura-kura merupakan lambang penciptaan alam semesta, sedangkan phallus merupakan lambang penciptaan manusia.

Bukan itu saja, di teras ini juga terdapat penggambaran hewan-hewan. Hewan-hewan tersebut juga merupakan sengkalan memet yang merupakan catatan dimulainya pembangunan candi ini.

Selanjutnya, menuju ke teras keempat terdapat relief cuplikan kisah Samudramanthana dan Garudeya. Cuplikan dua kisah ini menguatkan asumsi fungsi Candi Cetho sebagai tempat peruwatan.

Berlanjut ke teras kelima dan keenam, terdapat bangunan berupa pendapa yang sering digunakan sebagai tempat berlangsungnya upacara-upacara keagaamaan. Selanjutnya pada teras ketujuh, terdapat dua arca di sisi utara dan selatan, yakni arca Sabdapalon dan Nayagenggong. Menurut kepercayaan setempat, Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan penasihat spiritual Prabu Brawijaya V.

Selanjutnya, di teras kedelapan terdapat arca phallus yang disebut kuntobimo dan arca Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Sementara itu, teras kesembilan merupakan tempat pemanjatan doa yang tidak dibuka setiap saat.

Keberadaan Candi Cetho menambah kekayaan budaya dan sejarah Indonesia. Masyarakat lokal maupun wisatawan bisa mempelajari banyak hal saat berkunjung ke wilayah ini.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini