Sukses

Terungkap, Alasan Korban TPPO untuk Jasa Prostitusi di Palangka Raya Bersedia Dijual

Perempuan berinisial B yang berusia 19 tahun yang menjadi korban dalam kasus tindak pidana penjualan orang di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah ternyata bersedia dijual karena motif ekonomi.

Liputan6.com, Palangka Raya - Terungkap, korban pada kasus tindak pidana penjualan orang (TPPO) di Palangka Raya, Kalimantan Selatan bersedia dijual karena motif ekonomi. 

Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Palangkaraya, Ajun Komisaris Besar (AKBP) Andiyatna, mengungkapkan hal tersebut dalam jumpa media di Polres Kota Palangka Raya pada Senin (17/7/2023). Ia didampingi oleh Kepala Satuan Reserse Kriminal, Komisaris (Kompol) Ronny Marthius Nababan.

Dalam penjelasannya, Andiyatna menyebutkan korban dalam kasus perdagangan orang ini adalah seorang perempuan berinisial B yang berusia 19 tahun. Meskipun perempuan tersebut menyetujui untuk menjual jasanya dalam dunia prostitusi, dia tetap dianggap sebagai korban dalam kasus ini.

Sebelumnya personel kepolisian berhasil menangkap MH (26), warga Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dalam kasus tindak pidana penjualan orang (TPPO) di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Tersangka diduga menjual seorang wanita untuk melakukan jasa prostitusi serta menggunakan keuntungan yang didapat untuk membeli sabu.

Sebelum menjual jasa prostitusinya, pelaku meminta persetujuan dari korban yang saat ini berstatus sebagai saksi. Baik pelaku maupun saksi merupakan warga Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan diketahui baru dua minggu beroperasi di Palangka Raya.

Keduanya ditangkap saat seorang pengguna jasa sedang bertransaksi dengan pelaku di sebuah wisma.

"Saat ini pelaku masih menjalani proses penyidikan dan mereka telah sering melakukan aktivitas serupa sebelumnya," kata Adiyatna di Mapolres Palangka Raya.

Berdasarkan hasil penyidikan, pelaku dan saksi memiliki hubungan pertemanan. Aktivitas mereka di Palangka Raya bukanlah yang pertama, namun sudah sering dilakukan.

Pelaku menjual jasa sebagai muncikari dan menawarkan korban dengan tarif antara Rp 300.000 hingga Rp 400.000 setiap kali menjual jasa prostitusi. Dari aktivitas ini, pelaku dapat memperoleh keuntungan antara Rp 150.000 hingga Rp 400.000 per hari.

Andiyatna juga menyebutkan pelaku menggunakan keuntungan tersebut untuk membeli sabu-sabu dan memenuhi kebutuhan hidupnya mulai dari makanan hingga rokok. "Korban mau dijual asalkan tarifnya tidak kurang dari Rp 300.000," tambahnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kekerasan Seksual

Tersangka ini dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Perdagangan Orang, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling besar Rp 600 juta.

Kasus perdagangan orang di Kota Palangka Raya telah terjadi berulang kali. Sebelumnya, aparat kepolisian Kalimantan Tengah telah menangkap 10 pelaku dari delapan kasus perdagangan orang yang berbeda.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Kalteng, Komisaris Besar Erlan Munaji, mengungkapkan selama tahun 2023 dari Januari hingga Juli, pihaknya telah mengungkap delapan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan total 10 pelaku atau tersangka.

Tiga kasus terjadi di Kota Palangka Raya, sedangkan satu kasus terjadi di Kabupaten Kotawaringin Barat, Lamandau, dan Seruyan. Dua kasus lainnya terjadi di Kabupaten Kotawaringin Timur.

"Polda Kalteng berkomitmen untuk memberantas perdagangan orang di wilayah hukumnya. Sebagian besar kasus yang ditangani sudah masuk proses persidangan, sementara beberapa kasus masih dalam proses penyidikan," terang Erlan.

Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng Kalimantan Tengah Irene Lambung mengomentari kasus ini. Menurutnya, perdagangan orang yang berujung pada jasa prostitusi merupakan bentuk kekerasan seksual, terutama bagi korban yang dipaksa melakukan aktivitas tersebut.

"Perempuan memiliki hak atas tubuhnya. Ketika hal itu terjadi tanpa persetujuan atau bahkan dipaksa, itu merupakan bentuk kekerasan seksual yang tidak pernah nyaman bagi korban," ujarnya.

Irene juga menyebutkan bahwa polisi perlu menyelidiki alasan korban melakukan hal tersebut, seperti kebutuhan ekonomi atau hilangnya sumber penghidupan. Ada banyak faktor lain yang dapat menjadi alasan, termasuk kekerasan seksual sebelumnya yang dialami oleh korban.

Ia berpendapat edukasi dan pendampingan merupakan langkah yang diperlukan dalam menangani kasus seperti ini. "Dukungan kepada korban agar mereka dapat pulih dari kejadian yang menimpa mereka dan memberikan suara untuk meminimalkan peluang mereka kembali terjebak dalam situasi yang sama," tambahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.