Sukses

Cerita di Balik Nikmatnya Gudeg, Kuliner Tradisional Ikon Kota Yogyakarta

Memanjakan lidah atau bahasa Jawa-nya keplek ilat saban bertandang ke Yogyakarta tak lengkap tanpa mencicipi gudeg.

Liputan6.com, Bandung - Memanjakan lidah atau bahasa Jawa-nya keplek ilat saban bertandang ke Yogyakarta tak lengkap tanpa mencicipi gudeg. Ya, gudeg merupakan kuliner nikmat yang sangat terkenal dan lekat menjadi ikon kota Yogyakarta.

Gudeg merupakan salah satu kuliner yang terkenal dan banyak digemari masyarakat Yogyakarta sendiri maupun para turis lokal dan mancanegara. Makanan khas yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan ini punya warna cokelat dan biasanya dihasilkan dari daun jati yang dimasak bersamaan.

Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental atau areh, ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek. Nikmatnya sungguh menggoyang lidah.

Sebagai makanan khas Yogyakarta, gudeg menempati posisi penting dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Itu terlihat dari sangat mudahnya menemukan warung yang menjajakan gudeg di berbagai tempat di Kota Yogyakarta. Bisa dikatakan hampir di setiap sudut Kota Yogyakarta dapat ditemukan gudeg.

Mengutip buku Kuliner Yogyakarta yang diterbitkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, nama “gudeg” didapat dari istilah bahasa Jawa, hangudek. Istilah hangudek memiliki arti proses mengaduk.

Proses ini bermula dari sejarah gudeg yang lahir bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Mataram Islam pada 1500-an. Adapun tempat untuk membangun Kerajaan Mataram Islam ini berada di sebuah alas, yaitu Alas Mentaok di daerah Kotagede. Di Alas Mentaok ini, banyak tumbuh pepohonan, seperti nangka, kelapa, tangkil, dan melinjo.

Kemudian, saat pembangunan kerajaan, pohon-pohon yang tumbuh di Alas Mentaok ini ditebang oleh para pekerja dan akhirnya dimanfaatkan. Salah satu bahan yang dimanfaatkan tersebut adalah buah nangka muda yang dimasak untuk dijadikan santapan bagi para pekerja.

Karena jumlah masakan yang dibutuhkan untuk makan para pekerja harus banyak, nangka muda tersebut dimasak menggunakan tempat yang besar dan mengaduknya membutuhkan alat pengaduk besar yang bentuknya menyerupai dayung perahu.

Dari proses mengaduk atau hangudek ini kemudian muncul istilah "gudeg" untuk menamai masakan dari buah nangka muda tersebut.

Selain itu, proses penyebaran gudeg terbaca dari karya sastra Jawa yaitu Serat Centhini (1814-1823) yang di-anggit barisan pujangga Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Karya sastra ini merupakan himpunan segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa.

Diceritakan dalam karya sastra Jawa tersebut bahwa pada 1600-an, Raden Mas Cebolang melakukan perjalanan dan singgah di pedepokan Pangeran Tembayat. Saat Raden Mas Cebolang singgah, ada tamu yang sedang berkunjung di pedepokan Pangeran Tembayat, yaitu Ki Anom. Sebagai jamuan untuk Ki Anom, Pangeran Tembayat menyajikan gudeg.

Bahkan, tercatat pula jenis gudeg manggar (bunga kelapa) beserta kupat, daging ayam, bubuk kedelai, serta telur ayam. Dewasa ini, gudeg manggar masih bisa dijumpai di pawon Bantul.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Proses Pembuatan Gudeg

Seiring berjalannya waktu, gudeg yang awalnya adalah masakan rumahan akhirnya dimanfaatkan untuk dijual ke masyarakat. Akan tetapi, pada awal abad ke-19, belum banyak orang yang berjualan disebabkan proses pembuatan gudeg membutuhkan waktu yang lama.

Gudeg mulai dijual dan dikenal banyak kalangan setelah Presiden Soekarno memiliki ide untuk membangun universitas di Yogyakarta pada 1940-an. Universitas tersebut sekarang menjadi salah satu universitas yang terkenal, yaitu Universitas Gadjah Mada.

Dari pembangunan kampus itu muncul sentra Gudeg Mbarek di kawasan Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta. Setelah itu pada 1970-an sentra gudeg baru juga dibangun di kawasan sebelah timur Keraton Yogyakarta, yaitu Wijilan.

Sebagai makanan khas Yogyakarta, gudeg merupakan salah satu olahan yang banyak dipilih untuk dijadikan oleh-oleh. Seiring dengan perkembangan zaman, pengemasan gudeg juga semakin beragam. Ada yang dikemas dengan besek, daun pisang, kardus, dan kendil.

Berikut lima rekomendasi gudeg Yogyakarta legendaris yang wajib untuk dicoba.

1. Gudeg Yu Djum

Mengandalkan resep yang telah turun-temurun hingga empat generasi, membuat Gudeg Yu Djum menjadi salah satu gudeg yang terkenal dan memiliki cita rasa yang tidak dapat diragukan lagi.

Pembeli cukup merogoh kocek sekitar Rp 30.000 untuk mencicipi sajian gudeg kering yang disajikan berdampingan dengan berbagai lauk. Selain menjajakan gudeg, di sini pembeli dapat menyaksikan proses pembuatan gudeg langsung dari dapur Gudeg Yu Djum. 

2. Gudeg Mercon Bu Tinah

Sesuai dengan "mercon" yang tersemat, kuliner yang berlokasi di Jalan Asem Gede Nomor 8, Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis ini, menawarkan rasa pedas yang luar biasa. Meskipun hanya memiliki area lesehan, tetapi Gudeg Mercon Bu Tinah tidak pernah sepi dari antrean pembeli.

Dibanderol dengan harga Rp15.000 hingga Rp25.000, Gudeg Mercon Bu Tinah Yogyakarta mulai beroperasi pukul 21.00 WIB hingga 01.00 WIB.

3 dari 4 halaman

Selanjutnya

3. Gudeg Permata Bu Pujo

Bertempat di Gadjah Mada RT 36 RW 7 Purwokinanti, Gunung Ketur Yogyakarta atau lebih tepatnya berada di sebelah gedung Bioskop Permata, berdiri sajian gudeg bernama Gudeg Permata Bu Pujo.

Usut punya usut, kuliner yang satu ini telah berdiri sejak tahun 1951. Itulah mengapa  gudeg yang satu ini tidak pernah sepi oleh pengunjung, meskipun berdiri di dekat gedung bioskop yang telah tutup.

Selain karena telah lama berdiri, tempat makan yang mulai beroperasi pukul 20.30 WIB ini, juga menyajikan gudeg dengan daging ayam kampung yang empuk, sambal krecek yang pedas nan nikmat, serta telur yang lembut. Untuk menikmati sajian ini, pengunjung cukup merogoh kocek sebesar Rp10.000.

4. Gudeg Mbah Lindu

Mbah Lindu telah berjualan gudeg sejak zaman penjajahan. Maka tak heran apabila Gudeg Mbah Lindu tak pernah sepi oleh pembeli. Meskipun tak pernah sepi dari pembeli, Gudeg Mbah Lindu tetap mempertahankan nuansa tradisional yang ada.

Hal ini dapat dilihat dari cara penyajiannya yang masih memakai pincuk (daun pisang yang ditusuk lidi). Gudeg Mbah Lindu terletak di Jalan Sosrowijayan atau sekitar 300 meter dari Jalan Malioboro dan mulai beroperasi pukul 05.00 hingga 10.00 WIB.

Selain itu, pembeli cukup merogoh kocek sebesar Rp15.000 hingga Rp20.000 untuk menikmati kuliner ini.

5. Gudeg Manggar Bu Tinur

Bila gudeg biasa memakai nangka muda atau gori, tetapi ada yang berbeda dari Gudeg Manggar Bu Tinur. Sesuai dengan nama manggar yang tersemat, Bu Tinur memilih manggar (bunga kelapa) sebagai bahan utamanya.

Layaknya jamuan gudeg pada umumnya, Gudeg Manggar Bu Tinur juga disajikan bersama dengan krecek, sambal, dan telur atau ayam bacem. Meskipun berbahan dasar bunga kelapa, tetapi gudeg manggar memiliki cita rasa yang tidak dapat diragukan.

Terletak di Jalan Bibis Raya RT 04, Dusun Gendheng, Bangunjiwo, Kasihan, Bangunjiwo, Bantul, pembeli cukup merogoh kocek sebesar Rp30.000 untuk mencicipi seporsi Gudeg Manggar Bu Tinur.

4 dari 4 halaman

Cara Membuat Gudeg Khas Yogyakarta

Bahan:

  • 300 gram nangka muda
  • 1 ekor ayam kampung, potong
  • 5 buah tahu
  • 100 gram krecek
  • 500 ml santan kental
  • 1700 ml santan cair
  • 500 gram gula kelapa
  • 3 ruas lengkuas
  • 3 buah cabai rawit
  • 10 lembar daun salam

Bumbu halus:

  • 40 butir bawang merah
  • 20 siung bawang putih
  • 6 sendok makan ketumbar
  • Garam secukupnya

Bumbu Sambal:

  • 40 buah bawang merah
  • 20 siung bawang putih
  • 5 buah cabai merah

Cara Membuat:

  1. Bagi bumbu halus menjadi 4 bagian.
  2. Kupas nangka muda dan cincang kasar.
  3. Masak dengan 1 bagian bumbu halus, 2 lembar daun salam, 1 bagian lengkuas, 200 gram gula kelapa, dan 800 ml santan cair.
  4. Jangan terlalu sering mengaduk agar nangka tidak hancur.
  5. Masak potongan ayam dengan 1 bagian bumbu halus, 2 lembar daun salam, 1 bagian lengkuas, 100 gram gula kelapa, dan 350 ml santan cair.
  6. Masak tahu dengan 1 bagian bumbu halus, 2 lembar daun salam, 1 bagian lengkuas, 100 gram gula kelapa, dan 250 ml santan cair.
  7. Masak areh dengan santan kental, 1 bagian bumbu halus, 2 lembar daun salam, 1 bagian lengkuas, dan 100 gram gula kelapa.
  8. Masak dengan api kecil sambil diaduk, tunggu sampai mengental.
  9. Mulai masak sambal krecek. Haluskan bumbu sambal, masak bersama krecek, 2 lembar daun salam, 1 bagian lengkuas, garam secukupnya, dan 200 ml santan cair.
  10. Masukkan cabai rawit sebelum diangkat. Aduk lagi sambal krecek, angkat dan sajikan.
  11. Sajikan gudeg, ayam, tahu, areh, dan sambal krecek dengan nasi putih hangat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.