Sukses

Unte Pangir, Semerbak Wangi Jeruk Rempah Berbalut Kearifan Lokal

Pada awalnya rempah bukan dipakai untuk kuliner, melainkan bahan untuk pengobatan, simbol kesucian dan penuh kesakralan.

Liputan6.com, Bandung - Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih terasa menyengat kulit di Dusun Sei Lebah, Tanjungbalai Asahan, Sumatera Utara, Juli 2021. Dari dapur rumah tercium aroma wewangian hasil rebusan rempah-rempah.

Sejurus kemudian air hangat beserta rebusan rempah tersebut dipindahkan Hotmaida Pandiangan (60) ke sebuah ember besar berwarna hitam. Rempah yang direbus adalah unte pangir atau dalam bahasa Indonesia, jeruk purut.

Warna buahnya hijau tua, kulitnya tebal dan bergelombang. Terlihat sepeti tonjolan-tonjolan dan permukaan kulitnya kasar.

Permukaan buahnya licin dengan bintik-bintik kecil. Jika diremas baunya harum. Sedangkan, rasanya asam agak pahit.

Aroma rebusan unte pangir pun menyeruak dari dalam rumah, memenuhi udara menebarkan rasa damai di dada. Jeruk purut yang diramu sendiri, dibeli dari pasar dan dipakai untuk mandi oleh Hotmaida, dilakukan tanpa ritual atau mantra.

"Wanginya bikin menenangkan. Badan jadi terasa segar dan ringan," katanya.

Hotmaida mengaku setiap pulang kampung ke Sei Lebah, dia selalu menyempatkan diri marpangir atau mandi dengan air unte pangir. Karena, sejak kanak-kanak dia sudah mengenal marpangir.

"Saya dulu diajarkan tradisi ini oleh orangtua, dan sampai sekarang pun masih dilakukan. Di perantauan pun saya masih melakukan marpangir," kata ibu lima anak itu yang sudah 32 tahun menetap di Bandung.

Bukan hanya kalangan orang Kristen Batak. Bagi warga Asahan Muslim Batak, bahkan kalangan Melayu sudah mengenal istilah marpangir. Tradisi ini biasanya dilakukan saat menyongsong hadirnya bulan suci Ramadan.

Marpangir yang dilakukan mereka bahkan terdiri dengan berbagai ramuan, mulai dari jeruk purut, bunga mawar, daun pandan, kenanga, daun limau, sabut kelapa. Ramuan-ramuan itu biasanya direbus, setelah itu dibawa ke pemandian atau ada juga yang dimandikan di rumah masing-masing.

Selain tradisi marpangir, jeruk rempah ini juga digunakan masyarakat Batak dalam ziarah kubur. Terutama makam-makam leluhur di Samosir. Jeruk purut biasanya diletakkan di piring beserta daun sirih.

Adapun jeruk purut dan sirih diyakini sebagai syarat perwujudan doa agar permohonan mereka dapat dikabulkan oleh Mulajadi Nabolon, sosok yang diyakini orang Batak zaman dahulu sebagai pencipta alam semesta.

"Sebagian orang masih ada yang membawa jeruk purut dan sirih untuk ziarah kubur. Tapi kita yang sudah Kristen memercayai bahwa itu dilakukan untuk menghormati para leluhur saja, bukan menyembah pada berhala," ujar Hotmaida.

Menurut Jonar Situmorang dalam bukunya, "Mengenal Agama Manusia: Mempelajari dan Memahami Agama-agama Manusia Untuk Menciptakan Ketentraman dan Rasa Solidaritas", kegiatan marpangir sudah ada dalam legenda Samosir melalui kisah Boru Saroding.

Disebutkan, Boru Saroding yang tinggal di Sabulan, dekat tepian Ulu Darat di perkampungan marga Pandiangan, ada sebuah tempat yang bernama "Parpangiran ni Namboru Boru Saroding" atau tempat pemandian Boru Saroding. Tempatnya agak tersembunyi karena masih banyak pepohonan. Kelihatannya juga angker dan menyeramkan.

Di tempat itu, terdapat satu pohon besar yang tumbuh dekat tepi danau. Diyakini bahwa pohon itu adalah tempat si Boru Saroding untuk mandi dengan memakai unte pangir atau jeruk purut. Percaya atau tidak, menurut orang pernah melihatnya pada dahan atau ranting pohon ni terlihat unte pangir. Kata orang setempat buahnya tidak boleh diambil. Kalau berani mengambilnya akan mendatangkan malapetaka.

Namun, jika sedang beruntung maka jeruk purut itu akan jatuh. Jeruk yang jatuh itu boleh dibawa pulang ke rumah sebab diyakni jeruk itu membawa keberuntungan.

 

Simak Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Penangkal Roh Jahat

Unte pangir atau dalam bahasa Latin Citrus hidryx DC bukan tanaman yang asing di Sumatera Utara, khususnya bagi orang Batak di kawasan Toba. Bagi Parmalim, penganut Ugamo Malim yang disebut keyakinan leluhurnya Suku Batak, unte pangir adalah simbol yang dipakai nyaris di berbagai ritual dan kehidupan sehari-hari.

Menurut tokoh Parmalim Monang Naipospos, dalam tradisi keyakinan mereka ada kegiatan aek pangurason yang berarti air penyucian. Air yang dicampur jeruk purut ini sebetulnya ada yang bisa diminum tapi lebih banyak dipercikkan oleh pemimpin adat. Bila akan diminum, air yang dipakai sudah air yang dimasak dulu.

Selain itu, aek pangurason juga dipercikkan ke rumah dengan tujuan membersihkan rumah dari yang jahat.

"Secara umum unte pangir itu digunakan masyarakat Batak sejak zaman dulu untuk medium spiritual dan pembersihan diri. Dalam marpangir berarti pembersihan tubuh dan manguras dalam pembersihan secara ruang," kata Monang yang tinggal di Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, kepada Liputan6.com.

Stigma buruk yang selama ini melekat pada unte pangir karena orang-orang tidak paham, selalu mengatakan itu berhala. Padahal, kearifan lokal yang dilakukan secara turun temurun sangat banyak manfaatnya.

Menurut Monang, unte pangir sejak lama dianggap sebagai buah suci. Di samping itu, jeruk yang banyak tumbuh di Sumatera Utara ini secara fisik memiliki aromaterapi yang bagus untuk kesehatan.

"Kalau mau bukti, jika Anda baru selesai melayat kemudian badan terasa berat. Mandilah pakai itu (unte pangir). Jadi enggak ada ceritanya lagi badan terasa berat, langsung ringan," ujarnya.

Tradisi marpangir bagi Parmalim dilakukan sekali sebulan setiap bulan samisapurasa atau menjelang bulan purnama. Orang-orang mandi ke sungai sambil membawa jeruk purut yang kemudian dimandikan untuk membersihkan diri.

"Isinya (jeruk purut) enggak tahu mau bilang apa. Jadi leluhur kita sudah tahu memahami itu makanya tradisi marpangir ada. Karena itu dianggap bisa menyucikan diri, menyucikan tubuh dan secara fisik juga bisa dirasakan. Jadi memang ada beberapa unsur di dalam jeruk purut itu dan secara fisik dipakailah itu dalam muatan spiritual," tuturnya.

Tradisi marpangir di sungai saat ini sudah jarang dilakukan. Namun, menjelang purnama tiba sejumlah pasar seperti di Porsea, Laguboti, dan Pangururan masih terdapat penjual jeruk purut.

"Ke mana habisnya unte pangir itu? Dipakai orang marpangir. Kenapa tidak kelihatan orang marpangir lagi sungai? Karena orang sudah punya sumur di rumah," cetus Monang.

3 dari 5 halaman

Simbol Jeruk Purut dalam Ritual

Dosen Antrpologi Universitas Padjadjaran Hardian Eko Nurseto mengungkapkan, dalam ritual aek pangurason terdapat kegiatan somba adat dan somba debata. Keduanya merupakan kegiatan memercikkan air yang terdapat di dalam cawan sebagai media upacara. Air tersebut dipercaya sebagai media pembersihan alam, yang disebut dengan pangurason dan ini biasanya digelar pada saat acara besar.

Sebelum acara dimulai, tempat dan lokasi acara dibersihkan oleh sibaso atau cerdik cendikia dengan menggunakan air yang berisi jeruk purut, agar terhindar dari mara bahaya. Air dari mata air sebagai penyuci, dan jeruk purut sebagai pembersih kampung yang akan dibersihkan. Jeruk purut juga berguna untuk mengusir dan membersihkan tempat dari roh-roh jahat.

Hardian mengatakan, tradisi marpangir ditijau dari aqidah Islam merupakan tradisi Islam yang dilakukan sebelum memasuki bulan suci Ramadan yaitu mandi dengan membersihkan niat atau membersihkan badan. Tradisi marpangir adalah mandi dengan menggunakan berbagai bahan pangir yaitu daun pandan, daun jeruk, jeruk purut, akar wangi, dan lain-lain untuk dimandikan ke seluruh tubuh.

"Jeruk purut dipercaya sebagai benda yang ampuh untuk membersihkan atau menjauhkan dari dari gangguan makhluk-makhluk jahat. Di dalam pelaksanaan marpangir, manfaat jeruk purut ini adalah untuk mengobati segala penyakit-penyakit dalam maupun luar. Maka dari itu jeruk purut dimasukkan ke dalam bahan marpangir untuk menyehatkan badan ke seluruh tubuh," kata dia.

Adapun penggunaan jeruk purut seperti dalam ritual marpangir dan pangurason, sama-sama berfungsi menghilangkan atau mengusir hal-hal buruk, roh jahat, dan kotoran.

"Hal ini yang sebetulnya sejalan dengan manfaat klinis dari jeruk purut, seperti melawan bakteri E.coli, membersihkan darah, membersihkan rongga mulut, dan meningkatkan daya tahan tubuh," ucapnya.

Hardian menjelaskan, pada awalnya rempah bukan dipakai untuk kuliner, melainkan bahan untuk pengobatan, simbol kesucian dan penuh kesakralan. Terlebih di Asia masih banyak masyarakat yang melakukan upacara maupun ritual dengan wewangian aromatik dari rempah.

"Rempah sejak zaman dulu dianggap memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit. Makanya orang Eropa pergi ke Asia terutama ke Indonesia untuk mencari rempah itu," kata dia.

Menurut Hardian, rempah yang memiliki aroma wewangian khas menjadi penting dalam upacara adat. Rempah yang memiliki aroma wewangian merupakan simbolisasi terhadap harapan yang dititipkan agar dapat dipastikan.

"Ada minuman Sarabati di Tidore, rasanya hampir mirip bir pletok yang diminum hanya dalam upacara-upacara tertentu saja. Namun tidak semua rempah pasti digunakan untuk ritual, semua bergantung pada kebudayaan dan kepercayaan masyarakatnya," tuturnya.

Dikutip dari buku Ayo Mengenal Tanaman Obat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, jeruk purut menyimpan manfaat kesehatan. Buah jeruk purut digunakan untuk mengatasi influenza, badan lelah, rambut kepala yang bau, serta kulit bersisik dan mengelupas.

Buah jeruk purut warnanya hijau tua, tapi yang sudah tua akan kekuning-kuningan. Daunnya tampak seperti dua helai yang tersusun bertingkat. Sepintas, daun jeruk purut tampak seperti lapisan dua daun. Di atas daun pertama tumbuh daun kedua. Daun mudanya berwarna ungu kuat, sementara daun tuanya berwarna hijau tua dengan aroma harum dan tajam.

Sementara pohonnya agak kecil, bengkok, dan bercabang rendah. Meskipun rupanya tak cantik dan rasanya asam, pohon jeruk purut banyak dibudidayakan di pekarangan rumah. Tanaman ini bukan termasuk dalam spesies tanaman yang terdaftar dalam status konservasi atau tidak terancam punah.

Jeruk purut memang terkenal akan citarasanya dalam bidang masakan. Namun ternyata jeruk purut juga punya banyak manfaat bagi bidang kehidupan lainnya. Para ahli yang meneliti tentang kandungan nutrisi jeruk purut menemukan bahwa buah ini mengandung senyawa-senyawa kimia yang bermanfaat bagi kesehatan.

Buahnya mengandung setidaknya 21 macam kumarin. Daging buahnya mengandung flavonoid, tanin, saponin, minyak atsiri yang mengandung sitrat, steroid triterpenoid, polifenol, dan minyak atsiri sitronellal. Daunnya mengandung tokoferol, flavonoid cyanidin, myricetin, peonidin, quercetin, dan leutolin.

Kulit dan rantingnya pun tak terbuang percuma karena kerap dimanfaatkan dalam pembuatan produk aromaterapi. Produk yang cukup populer dari jeruk purut adalah kaffir lime essential oil yang biasanya dibuat dari daun dan kulit buahnya. Kandungan antioksidan dan juga efek antimikroba pada jeruk purut bisa digunakan sebagai insektisida alami untuk pemberantasan nyamuk demam berdarah.

Penggunaan jeruk purut yang sari buahnya masam biasanya digunakan sebagai penetral bau amis daging atau ikan untuk mencegah rasa mual. Begitu juga daunnya yang banyak dipakai untuk campuran bumbu pecel atau gado-gado dengan fungsi untuk mengharumkan bumbunya.

4 dari 5 halaman

Hikayat Jeruk Purut

Nama jeruk purut pada abad 17 dikenal sebagai Combava. Nama ini identik dengan Pulau Sumbawa saat seorang pelaut dari Portugis bernama Pierre Poivre menyebut Combawa sebagai jalur menuju Goa dan Timor.

Dalam buku "Domaine de Mon Plaisir", seorang botani dan ahli makanan dari Portugis secara tak sengaja menemukan campuran bumbu yang sangat baik aromanya pada tahun 1767 di Kepulauan Mauritius. Campuran bumbu itu adalah sebuah jeruk yang diugnakan untuk menambah aroma makanan menjadi lezat dan harum, kemudian jeruk itu diberi nama Combava.

Combava dikenal sebagai Pulau Sumbawa oleh pelaut Portugis Manuel Pimentel yang melakukan perjalanan menuju Timor pada 1762. Menurut kamus etimologis kreol Perancis, Annegret Bollée, Combava atau dalam bahasa Portugis Cumbava adalah nama dalam peta maritim kuno, Pulau Sumbawa (atau Bima) di Indonesia, milik kepulauan Kepulauan Sonda, di laut Maluku.

Untuk wilayah Maluku, jeruk purut dinamai oleh para pelaut Portugis dengan nama Limoeiro de Combava das Molucas yang berarti jeruk Sumbawa dari Maluku. Sementara oleh para pelaut bangsa Arab, Combava dinamai dengan Lime Kaffir atau jeruk kaffir di mana pada waktu itu pribumi yang berkulit hitam dan bukan pengikut Muhammad ditandai dengan 'kafir'.

Di Bima, jeruk purut dinamai dengan nama dungga mbudi yang sejak dulu menjadi andalan resep dapur mereka. Sedangkan di Inggris, resep bumbu jeruk purut mulai terkenal pada tahun 1914.

Jeruk purut ini hanya terdapat di kepulauan timur pada waktu itu dan di kalangan para pelaut Portugis banyak merahasiakan resep bumbu dari jeruk purut tersebut. Kemudian komoditi jeruk purut menjadi primadona para pelaut Portugis untuk dijual di negara mereka dengan harga yang sangat mahal sebagai bumbu masakan yang mempunyai aromatik khas. Adapun nama Combava kemudian dipergunakan dalam bahasa Portugis, Spanyol, Italia dan Prancis untuk nama jeruk purut tersebut.

JJ Ochse, penulis buku Fruits and Fruitsculture in the Dutch East Indies (1931) menyatakan bahwa spesies ini disebut Djerook Pooroot di Hindia Belanda. Jeruk ini tidak dibudidayakan di manapun dalam skala besar tetapi sangat sering dalam skala kecil.

Spesies yang banyak disalahpahami ini dinamai oleh ahli botani asal Swiss, Augustin Pyrame de Candolle dari bibit muda, belum berbunga, tumbuh dari biji yang dikirim ke Montpellier Botanic Garden dari Mauritius. Di mana mungkin tumbuhan yang dibawa bukan spesies asli.

De Candolle menggambarkannya kembali pada 1824 tetapi belum melihat bunga atau buah. Berkat bahan berbunga dari Mauritius dan dari Montpellier yang diawetkan di Herbarium Kew, dimungkinkan untuk menentukan dengan pasti bahwa Citrus hystrix adalah spesies dengan buah yang sangat bergelombang milik subgenus Papeda yang tersebar luas di Indonesia.

Emanuel Bonavia dalam The Cultivated Oranges and Lemons (1888) bahwa buah C. hystrix tidak pernah dimakan. Namun, digunakan oleh penduduk asli di Ceylon (Sri Lanka) sebagai insektisida untuk mencuci kepala dan juga untuk mengolesi kaki untuk membunuh lintah darat.

Pohon ini sering dibudidayakan di dekat desa untuk tujuan kedua hal tadi. Menurut Bonavia, jeruk purut mungkin datang ke Ceylon bersama Belanda dan pelayan Melayu mereka untuk digunakan sebagai pencuci rambut. Penggunaan ini dapat menjelaskan penyebaran spesies yang luas di seluruh Kepulauan Hindia Timur dan bagian-bagian daratan Asia yang bersebelahan.

Di negara Asia Tenggara lainnya seperti di Thailand, daun jeruk purut sangat populer dalam masakan. Salah satunya menu tom yam dan tom khaa. Selain itu, di Kamboja, Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali, bahkan Sulawesi pun menggunakan daun jeruk purut sebagai pengharum masakan.

Jeruk purut secara umum tersebar di Indocina dan Melanesia. Daerah sebarannya meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, India, Nepal, hingga Bangladesh.

Adapun di Indonesia, jeruk purut dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Selain unte pangir dalam bahasa Batak, di Lampung masyarakat sekitar menyebutnya dengan lemau purut atau lemau sarakan. Kemudian, lemao puruik di Minangkabau, dan dema kafalo di Nias.

Di tanah Sunda dan Jawa, tanaman ini dikenal juga dengan nama limau purut, jeruk wangi, atau jeruk purut. Di Bali, disebut jeruk linglang. Serta sebutan mude matang busur dan mude nelu di Flores, ahusi lepea di Seram, munte kereng, usi ela, lemo jobatai, dan wama faleela di Maluku.

5 dari 5 halaman

Budidaya Jeruk Purut Indonesia Diminati Eropa

Jeruk purut menjadi salah satu berkah alam yang luar biasa. Bukan hanya dari sisi tradisi dan kulinernya, perdu dari subgenus Papeda ini juga dapat menjadi sumber kesejahteraan bagi petaninya.

Salah satu daerah sentra jeruk purut Indonesia berada di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Kecamatan yang terkenal dengan penghasil jeruk purut ini ada tiga yaitu Kecamatan Ngunut, Kecamatan Sumbergempol dan Kecamatan Rejotangan. Jumlah petani jeruk purut dalam satu kecamatan mencapai ribuan, yang menunjukkan bahwa usaha ini sudah merakyat.

Dengan luas 1 hektare, setiap tahun masyarakat di sana minimal panen 10 ton daun jeruk purut. Panen dilakukan tiap enam bulan sekali. Harga daun jeruk purut Rp17.000/kg dan batangnya pun dihargai Rp1.000/kg untuk disuling. Sedangkan untuk buah dihargai Rp10.000/kg.

Dengan biaya produksi Rp30 juta per tahun dan penjualan Rp170 Juta per tahun, petani jeruk purut di Tulungagung mampu meraup keuntungan bersih Rp140 juta belum ditambah penjualan dari batang untuk minyak atsiri.

Menurut Kepala Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) Harwanto, buah jeruk purut saat ini diminati oleh pasar Eropa. Hal ini terbukti dengan permintaan eskpor buah ini oleh PT Nusantara Segar Global (NSG) ke beberapa negara di antaranya Belanda, Portugal, Belgia, Inggris dan Perancis.

Dia mengatakan, jeruk ini didatangkan dari wilayah Garut dan beberapa daerah lain dengan kualitas buah sesuai standar permintaan. Ekspor buah ini per minggu berkisar 3-5 kuintal dan ke depan diharapkan mampu satu ton per minggu.

"Sebelum dikirim jeruk purut harus melalui proses packing dan grading untuk memastikan kualitas dan kuantitas dan kontinuitas. Untuk mendukungnya perlu penerapan teknologi budidaya yang benar disertai penggunaan benih yang bermutu," kata Harwanto.

Harwanto mengatakan, faktor penting untuk kelangsungan agribisnis jeruk adalah perbenihan. Benih yang baik adalah yang kemurnian varietas terjamin serta bebas dari patogen sistemik. Dengan benih yang baik, petani akan mendapat keuntungan akan usia produksi yang lama serta vigor tanaman seragam dan varietas sesuai. Hal ini untuk mendukung produksi jeruk purut agar secara kualitas dan kuantitas serta kontinuitas mampu memenuhi permintaan ekspor.

"Benih jeruk yang tidak sesuai regulasi dikhawatirkan terinfeksi penyakit sistemik karena tidak melalui alur perbenihan yang berlaku sehingga tidak akan berumur panjang," ujarnya.

Di Garut, Jawa Barat, gairah usaha budi daya jeruk purut mulai menjalar ke tangan para petani. Batang jeruk purut yang disambung dari benih pohon lemon ini sudah menghasilkan produk kualitas ekspor ke beberapa negara di Eropa seperti Perancis dan Italia.

Ketua Asosiasi Petani Jeruk Purut (APJP) Yuyu Karyudin Yuanntra mengatakan, puluhan petani di Kampung Muncanglega, Desa Tegalpanjang, Kecamatan Sucinaraja, saat ini sudah bisa menghasilkan rata-rata tiga ton jeruk purut per bulan.

"Di saat ini, petani bisa menghasilkan tiga kuintal per minggu, dengan target per bulannya bisa mencapai lima ton," kata pria berusia 69 tahun itu.

Di kedua negara pengekspor jeruk purut, jeruk purut Garut digunakan sebagai bahan dasar minyak atsiri. Kemudian digunakan sebagai bahan dasar parfum dan minyak wangi lainnya.

"Produk kami sangat cocok menjadi bahan dasar parfum kelas premium," ucap Yuyu.

Potensi jeruk purut Garut cukup menjanjikan. Yuyu berujar, selain lebih tahan lama terhadap serangan penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD), juga lebih menguntungkan secara ekonomi.

"Dibandingkan jeruk konsumsi, harga jeruk purut lebih tinggi. Kita bisa jual Rp10 ribu per kilo, petani bisa jual Rp7 ribu. Di samping itu, hama untuk jeruk konsumsi hamanya banyak sekali, tapi kalau jeruk purut enggak banyak," ucapnya.

Jeruk purut awalnya bukan pilihan utama petani di Muncanglega. Rintisan penanaman tanaman asal Asia Timur ini baru dimulai sejak 2016. Buah jeruk purut bahkan bukan jadi unggulan karena warga sekitar banyak menggunakan daun jeruk purut untuk kepentingan bumbu masak dapur.

Sementara buahnya belum diperhatikan dengan optimal bahkan lebih banyak dibuang. Namun, sejak Desember 2017 lalu, peruntungan mulai berubah setelah eksportir jeruk dari Jakarta, mulai memperhatikan buah jeruk purut asal Garut tersebut.

Jumlah produksi jeruk purut Garut pun perlahan pasti jumlahnya terus perangkat setiap bulan. Saat ini luasan lahan tanam jeruk purut Garut baru sekitar 20 hektare yang tersebar di empat kecamatan mulai Sucinaraja, Wanaraja, Sukawening hingga Garut Kota.

Temuan terkait bahan dasar atau bibit olahan untuk dunia kesehatan dari jeruk purut sendiri baru ditemukan dalam dua tahun terakhir. Yuyu mengatakan, pihaknya kini berhasil menemukan formula minyak atsiri berbahan jeruk purut dengan kualitas mumpuni.

"Produk kami sangat cocok menjadi bahan dasar parfum kelas premium," kata Yuyu.

Kini setelah diolah secara langsung oleh anggota kelompok paguyuban, beberapa produk alami seperti sabun cuci piring, sabun mandi, sabun kecantikan, sampo, hand santizer, pembersih lantai, hingga parfum berhasil dibentuk dari bahan dasar minyak atsiri jeruk purut tersebut.

"Wangi jeruk purut terbilang pekat, sehingga bagus untuk menjadi ragi (bahan baku)," ujar Yuyu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.