Sukses

Ada Biaya Operasional Tak Langsung Harga Sawit hingga Miliaran Rupiah, ke Mana Perginya?

Dalam penetapan harga TBS sawit ternyata ada pungutan biaya operasi tak langsung miliaran rupiah yang seharusnya dibagikan kepada petani untuk pembinaan.

Liputan6.com, Pekanbaru - Biaya Operasional Tak Langsung (BOTL) dalam penetapan harta Tandan Buah Segar (TBS) sawit Provinsi Riau menjadi sorotan petani kelapa sawit. Biaya bernilai miliaran rupiah itu seharusnya diterima petani ketika harga TBS disepakati Pokja Penetapan Harga di Dinas Perkebunan (Disbun) Riau.

Asosiasi Petani Kepala Sawit Indonesia (Apkasindo) sudah beberapa kali mendatangi Disbun. Terakhir pada Selasa petang, 8 September 2020, untuk menanyakan kejelasan BOTL harga TBS di Riau.

Pertemuan hingga Magrib menjelang ini belum membuahkan kesimpulan. Kepala Disbun Riau Zulfadli ingin menghadirkan Prof Dr Ponten M Naibaho yang turut melahirkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan TBS Pekebun.

Dalam aturan itu ada termaktub BOTL yang wajib dikeluarkan untuk pekebun (petani) ataupun lembaga pekebun sebagai biaya pembinaan.

Menurut Kepala Disbun Riau Zulfadli, menghadirkan profesor tersebut sebagai langkah memberikan putusan adil bagi semua pihak. Baik itu bagi Apkasindo sebagai perwakilan petani, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) ataupun perwakilan perusahaan sawit di Pokja.

"Kamis depan, semoga yang dipertanyakan masyarakat, terutama yang hidup di dunia persawitan mendapatkan hak," kata Zulfadli.

Sementara itu, Ketua DPP Apkasindo Gulat Mendali Emas Manurung menyebut pertemuan ini merupakan antara bapak dan anak. Semua pihak sudah sepakat soal rencana pertemuan Kamis depan dan harga TBS tetap disepakati.

"Jangan karena menginginkan sedikit yang rusak banyak, petani tak ingin merusak harga yang sudah ditunggu," kata Gulat.

 

 

Simak video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Miliaran Rupiah Pungutan BOTL

Bagi Apkasindo, menghadirkan Prof Ponten M Naibaho merupakan solusi terbaik. Guru besar ini dinilai paling paham soal BOTL karena punya andil melahirkan Permentan itu.

"Nanti ditanya, BOTL itu apa sih biar kami yang di bawah ini tidak bertengkar karena perusahaan juga bagian dari Riau," kata Gulat.

Gulat menjelaskan, seharusnya ada 2,63 persen dari harga TBS untuk BOTL. Satu persennya untuk petani dan sisanya untuk perusahaan dalam setiap pekannya.

Dikalikan dengan total produksi crude palm oil tiap minggu di Riau, Gulat menyebut ada Rp2,9 miliar BOTL. Namun sejak Permentan itu ada, petani ataupun lembaga petani sawit tidak pernah kecipratan.

Hanya saja, timpal Gulat, tidak semua perwakilan dari Pokja sepakat soal ini karena multitafsir soal BOTL. Misalnya saja Gapki yang mengartikan ada hal normatif dan implementasi dalam Permentan tersebut.

"Namun dalam Permentan itu ada tertulis 1 persen BOTL dari 2,63 persen, itu yang kami tanyakan," ucap Gulat.

3 dari 3 halaman

Untuk Pembinaan Petani

Lantas kenapa BOTL baru sekarang diributkan padahal Permentan sudah ada sejak tahun 2018. Kata Gulat, petani di Riau saat ini sudah naik kelas. Jika dulunya kebun digarap oleh tua, petani sekarang merupakan generasi kedua.

"Bapak-bapak kami sudah pensiun, kami sebagai petani generasi kedua sudah banyak tahu," kata Gulat.

Jika seandainya BOTL punya kejelasan di Riau, Gulat menyebut biayanya untuk petani sawit juga. Misalnya, pembinaan petani agar tidak salah dalam pemanenan, kemudian bisa juga digunakan untuk kampanye sosial.

Di sisi lain, Gulat menyebut penting adanya peraturan gubernur sebagai turunan dari Permentan itu. Pasalnya di Sumatera Barat dan Sumatera Utara sudah ada peraturan dimaksud.

Sementara di Riau, peraturan gubernur hingga kini belum ada. Hal ini sudah dibicarakan dengan gubernur dan mendapat respon positif terkait penerbitan peraturan gubernur.

"Inikan lucu, hampir 21 persen dari luasan kebun sawit di Indonesia ada di Riau tapi belum ada peraturan gubernur," ucap Gulat.

Di sisi lain, Gulat menyebut Permentan tadi memang bisa jadi acuan. Namun, alangkah eloknya lagi kalau ada peraturan gubernur karena mewakili kearifan lokal petani.

"Karakter setiap petani sawit di berbagai daerah itu berbeda," ucap Gulat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.