Sukses

Semangat Bocah Difabel di NTT Belajar Bersama Guru Berhati Mulia

Mereka bermimpi, cucunya yang sejak bayi duduk di kursi roda, bisa berjalan normal dan bersekolah seperti anak lainnya. Namun, biaya operasi yang besar, membuat pasutri lansia ini memendam impiannya itu.

Liputan6.com, Sikka - Air mata haru Hermiana Tina (63) dan Antonius Julianus (64) tak terbendung saat menceritakan perjuangan dan cita-cita cucu mereka yang merupakan penyandang difabel, Yustinus Rielino (10).

Pasangan suami istri lanjut usia (lansia) warga RT 5 RW 2, Kelurahan Nangalimang, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini tergolong keluarga tidak mampu yang hidupnya tergantung dari hasil penyulingan moke (arak). Di tengah perjuangan bertahan hidup, mereka juga berjuang mengurusi cucunya yang berkebutuhan khusus.

Mereka bermimpi, cucunya yang difabel, sejak bayi duduk di kursi roda, bisa berjalan normal dan bersekolah seperti anak lainnya. Namun, biaya operasi yang besar, membuat pasutri lansia ini memendam impiannya itu.

Sejak bayi, Yustinus diasuh oleh mereka. Ibu Rielino adalah anak perempuan pasutri lansia ini.

Ayah Rielino pergi meninggalkan ibunya setelah mengetahui ibu Rielino sedang mengandung. Ia tidak mau bertanggung jawab atau menikahinya. Sejak saat itu, ibunya hidup sendiri hingga melahirkan.

Rielino merupakan anak yang dilahirkan normal. Namun, saat berumur tujuh bulan, ia terjatuh dari ayunan dan mengalami cacat hingga saat ini.

"Tidak ada biaya sehingga tidak rutin berobat, akhirnya Rielino harus seperti ini," ungkap Hermiana, kepada Liputan6.com, Kamis (27/8/2020).

Penderitaan semakin bertambah saat Rielino berumur tiga tahun. Ibunya meninggal dunia. Rielino kecil pun diasuh oleh kakek dan neneknya yang hidup serba kekurangan.

"Kami bertanggung jawab untuk membesarkannya," tuturnya.

Meski dengan keterbatasannya, Yustinus Rielino tak seperti anak-anak berkebutuhan khusus lain. Ia ingin tetap bersekolah. Kepada kakek dan neneknya, Yustinus minta didaftarkan ke salah satu sekolah.

Niatnya itu disambut baik. Dengan kursi rodanya, kakek dan neneknya mengantarkan cucunya yang menyandang difabel, Yustinus ke sekolah setiap hari.

"Saya ingin jadi dokter," kata Yustinus.

Di sekolah PAUD, Yustinus mendapat pelajaran seperti di sekolah dasar lainnya. Ha ini, ini karena umur Yustinus yang sudah seharusnya duduk di bangku SD.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bertemu Guru Mulia

Semangat Yustinus untuk bisa bersekolah kini terhalang pandemi Covid-19. Untuk terus memberi semangat kepada Yustinus, seorang ibu guru rela datang ke rumah Yustinus dan memberi bimbingan belajar di rumah.

Maria Sika Susanti (23), tak keberatan menjadi guru bagi Yustinus. Ia terus bertahan mengabdi sebagai guru bagi anak berkebutuhan khusus di Paud Karya Ilahi, Waioti, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, NTT.

Yustinus menjadi salah satu murid kesayangannya. Pasca-Covid-19, Maria harus meluangkan waktunya membimbing Yustinus di rumah. Baginya, itu adalah tugas mulia dan merupakan tantangan tersendiri.

Menurut dia, tidak semua orang bisa mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Mengingat mengajar anak normal sangat berbeda dengan anak berkebutuhan khusus. Banyak suka dan duka yang ia temui semenjak mengajar anak berkebutuhan khusus.

"Yustinus anak cerdas. Sekarang sudah pintar menulis dan membaca," katanya.

Dengan berbekal pendidikan psikologi, Santi mengakui awalnya ingin coba-coba saja menjadi pengajar anak berkebutuhan khusus. Ia hanya ingin mengaplikasikan apa yang ia belajar di bangku kuliah. Ternyata saat berhadapan langsung dengan anak berkebutuhan khusus, ia merasa sepertinya harus belajar lagi dari awal. Sebab, teori yang ia dapat di bangku kuliah sangat berbeda dengan di lapangan.

Mengajar anak berkebutuhan khusus ada hal yang tersulit yang siap dihadapi. Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah, memahami keadaan anak dan kemauan anak.

"Kadang kalau kita terlalu memaksa, membuat anak menjadi pantrum. Mereka tidak mau dikekang, sehingga banyak untuk menghindari hal seperti itu. Pihak sekolah juga membuat meja belajar berbeda dengan anak normal lainya," tuturnya.

Bagi Santi, untuk mengajar anak berkebutuhan khusus, ia hanya membawa ilmu dan hati. Ia mengaku bangga dengan semangat Yustinus yang tak pernah menyerah untuk belajar meski berkebutuhan khusus.

"Jangan kita bawa hati yang galau dan stres ke mereka. Nantinya mereka tidak bisa menerima apa yang kita ajarkan. Di sini masing-masing anak pembelajarannya berbeda. Mereka punya pembalajaran khusus dan masing-masing anak berkebutuhan khusus punya pelajaran berbeda," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.