Sukses

Mengenal Beragam Kuliner Ekstrem dari Minahasa

Minahasa menjadi salah satu pusat perkembangan kuliner esktrem di Indonesia. Keberadaan Pasar Tomohon menjadi pendukungnya.

Liputan6.com, Minahasa - Pasar Beriman di Kota Tomohon atau yang lebih dikenal dengan Pasar Ekstrem Tomohon menjadi pusat penjualan beragam daging segala macam binatang, termasuk binatang buas. Dari pasar tradisional itu, berbagai jenis daging seperti kelelawar, tikus, anjing, babi hutan, hingga ular piton diolah menjadi kuliner khas suku Minahasa, Sulawesi Utara.

Beragam kuliner ekstrem ini tidak selalu tersedia di rumah-rumah makan, tapi selalu ada saat orang Minahasa menggelar hajatan dan pesta, seperti syukuran, perayaan Paskah dan Natal.

Bagi Anda yang ingin mencari kuliner ekstrem Minahasa, salah satu rumah makan di Kecamatan Langowan, Kabupaten Minahasa, menyediakan beragam menu kuliner ekstrem khas Minahasa. Berikut menu kuliner esktrem yang berhasil dihimpu tim Liputan6.com, Jumat (31/1/2020). 

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Daging Anjing atau RW

Daging anjing atau RW (Rintek Wuuk) menjadi salah satu menu spesial yang selalu ada di acara pesta suku Minahasa. Sejumlah bahan yang harus Anda siapkan untuk memasaknya adalah cabe, jahe, kunyit, bawang putih, bawang batang, bawang merah, daun jeruk, garam, minyak kelapa, dan serei.

Albert Waroka, seorang warga Minahasa mengatakan, cara membuat kuliner daging anjing sangat sederhana. Daging anjing dipotong-potong, dicuci bersih di air mengalir. Sedangkan bahan-bahan tadi dihaluskan, dan dimasukan ke dalam wajan yang berisi minyak goreng panas. Lima menit kemudian, daging dimasukan dan tunggu hingga matang.

Urusan meracik kuliner ekstrem, Albert memang ahlinya. Dia bahkan pernah merintis usaha kuliner khas Minahasa di Manokwari Papua. Selain mengolah RW, Albert juga mahir membuat menu ekstrem khas Minahasa lainnya.

 

3 dari 5 halaman

Kelelawar atau Paniki

Orang Minahasa atau umumnya di Sulut menyebut kelelawar dengan sebutan paniki. Menurut Albert, bahan-bahannya tak jauh beda dengan mengolah RW. Hanya saja ditambah santan kelapa dan kunyit.

"Cara masaknya juga hampir sama," ujarnya.

Dia mengatakan, paniki dipercaya sebagian orang bias menyembuhkan beberapa penyakit seperti asma. Ada yang menyantap dagingnya, ada pula yang menelan empedu kelelawar.

"Seberapa besar khasiatnya, saya juga tidak tahu persis," katanya.

 

4 dari 5 halaman

Tikus dan Ular

Meski dua hewan ini 'bermusuhan', namun di meja orang Minahasa mereka akrab menjadi hidangan. Ya, di dapur, cara pengolahan dua daging hewan ini hampir sama. Begitu juga bumbu-bumbunya, seperti cabe, bawang merah, bawang batang, kunyit dan lainnya.

"Dua jenis daging ini cukup sulit ditemukan dalam menu sajian sehari-hari. Hanya di acara khusus atau dipesan secara khusus," ujarnya.

Ular yang dijadikan menu ekstrem ini adalah jenis piton, atau dalam bahasa lokal disebut patola.

 

5 dari 5 halaman

Kuliner Ekstrem dalam Kacamata Budaya

Denni Pinontoan, Budayawan Minahasa mengungkapkan, orang Minahasa menyebut ular jenis piton dengan nama tumotongko. Dalam bahasa Manado Melayu disebut patola.

"Ular jenis ini sudah dikenal lama oleh orang Minahasa. Terbukti ada satu legenda dalam kumpulan cerita-cerita tua yang dikumpul oleh J Albt Schwarz yang menceritakan tentang tumotongko," kata Denni.

Denni mengatakan, banyak binatang bagi leluhur Minahasa, termasuk ular piton, dianggap sakral karena dipercaya memberi tanda baik atau buruk.

"Misalnya yang masih sering terdengar, kalau lagi melakukan perjalanan lalu tiba-tiba ada ular memotong jalan, dianjurkan untuk berhenti sejenak. Karena bisa saja ular itu memberi tanda akan ada sesuatu yang buruk akan terjadi di depan," tutur Denni yang juga dosen di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon ini.

Meski begitu, dalam tradisi berburu orang Minahasa di hutan, tidak dikenal pemburu spesialis ular. "Yang ada spesialis babi utang (babi hutan), tikus dan kelelawar atau peret atau paniki," ujarnya.

Denni mengatakan, kebiasaan makan daging patola atau tumotongko atau piton merupakan tren yang berkembang belakangan, entah sejak kapan. Namun, ia menduga kebiasaan mengonsumsi daging ular pada masyarakat Minahasa, lebih karena dipengaruhi tren memakan daging hewan yang disebut berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit.

"Namun, itu masih perlu diteliti lagi," ujar pengiat budaya dari Mawale Movement ini.

Secara objektif, ucap dia, hanya orang-orang tertentu yang suka makan daging patola, berbeda dengan daging anjing dan babi yang banyak digemari masyarakat Minahasa.

"Itu salah satu bukti saya menyebut makan daging ular patola itu tren belakangan. Saya sendiri tidak terlalu hobi makan patola. Kalau tikus, kodok, RW (anjing), hobi sekali," ujar Denni.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.