Sukses

Saat Diding Boneng Sandingkan Guyonan 'Onde-Onde' dengan Lawakan Milenial

Diding Boneng mengemukakan pendapatnya soal dunia lawak masa kini di Indonesia.

Liputan6.com, Yogyakarta - Nama Diding Boneng tidak asing di dunia perfilman pada era 80 sampai 90-an. Perannya yang kerap menjadi tokoh antagonis dalam film-film komedi bersama Warkop DKI membuat laki-laki bernama lengkap Zainal Abidin Zetta ini kian kondang.

Sebagai salah satu legenda dalam dunia komedi Indonesia, Diding Boneng mengemukakan pendapatnya soal dunia lawak masa kini di Indonesia.

"Lawak itu seharusnya tidak menyakiti, tetapi sekarang yang sering dilihat lawakan justru dengan mem-bully sampai merusak properti," ujar Diding Boneng kepada Liputan6.com, Minggu (22/12/2019).

Diding menuturkan lawakan mencerminkan peradaban bangsa. Ia tidak menampik lawakan Indonesia kerap menampilkan hal yang sadis. Misal, orang terkena cat, atau orang naik sepeda menabrak pagar menjadi bahan tertawaan.

Hal itu membuatnya bertanya-tanya. Apakah benar bangsa Indonesia adalah bangsa yang sadis? Ia membandingkan dengan lawakan dari Inggris melalui sosok Mr Bean yang mendunia.

Komedi yang ditampilkan tidak menyakiti sama sekali tetapi bisa membuat orang tertawa. Diding menilai hal ini merepresentasikan peradaban Inggris yang santun dan sangat menghargai manusia.

Diding Boneng (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Ia juga menilai komedian atau pelawak zaman sekarang kurang memahami psikologis penonton atau audiensnya. Mereka berpikir hanya berpikir saat melawak tawa dari penonton adalah tujuan utama. Padahal, manusia tertawa itu tidak bisa dari awal sampai akhir pertunjukan.

"Ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk menyimak jalan cerita, tidak bisa dari awal sampai akhir tertawa terus," ucapnya.

Menurut Diding, seorang komedian harus memahami karakter lawakannya masing-masing. Ia menyebutkan ada tiga jenis kekuatan karakter lawak, yakni situasi komedi, seperti Srimulat, gerakan atau gesture seperti Mr Bean, atau dialog seperti yang kerap ditampilkan Warkop DKI zaman dulu.

"Kalau kekuatannya di dialog tidak perlu gesture atau gerakan yang aneh-aneh," kata Diding.

Ia mengatakan melawak membutuhkan kecerdasan dan kepekaan terhadap realitas sosial. Sebab, komedi muncul ketika menabrak realitas sosial.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.