Sukses

Assikalaibineng, Kitab Kamasutra Ala Suku Bugis

Jika kalian kenal Kamasutra dari India, atau setidaknya Serat Centhini dan Serat Nitimani dari Keraton Jawa, maka suku Bugis-Makassar juga punya kitab tuntunan dalam berhubungan suami-istri, yaitu Assikalaibineng.

Liputan6.com, Makassar - Siapa yang tidak kenal dengan kitab Kamasutra dari India, atau setidaknya Serat Centhini dan Serat Nitimani dari Keraton Jawa yang membahas tentang trik dan tips saat bercinta. Nah, suku Bugis-Makassar juga punya kitab kuno yang membahas tentang etika bercinta bagi pasangan suami istri. Kitab itu adalah Assikalaibineng.

Assikalaibineng adalah kitab tuntunan malam pertama bagi pengantin baru. Kitab ini tak hanya berisi tentang bagaimana hubungan seksual antara suami-istri, tetapi juga berisi tentang teknik sebelum dan sesudah berhubungan badan termasuk doa-doanya, teknik untuk berhubungan badan untuk untuk menentukan jenis kelamin anak atau bahkan waktu yang baik dan buruk untuk berhubungan badan.

Assikalaibineng adalah manuskrip kuno dengan tulisan aksara Lontara. Secara harafiah Assikalaibineng terdiri dari dua suku kata bahasa bugis, yaitu Lai yang berarti lelaki atau suami, dan Bineng atau Bene yang berarti perempuan atau istri. Namun, jika diartikan secara utuh, Assikalaibineng berarti cara berhubungan suami-istri.

Assikalaibineng mulanya adalah ajaran eksklusif yang hanya diajarkan secara turun-termurun di kalangan bangsawan Bugis-Makassar. Manuskripnya pun tidak utuh dan tersebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.

Belakangan, seorang filolog dari Universitas Hasanuddin bernama Muhlis Hadrawi mengumpulkan manuskrip itu lalu menerjemahkannya dan menjadikannya sebuah buku panduan bercinta yang diterbitkan pada tahun 2009. Buku dengan judul Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis itu didedikasikan sebagai tesis untuk meraih gelar magister Muhlis di Universitas Indonesia pada waktu itu.

Pada bagian awal buku ini, Muhlis Hadrawi menyebut ada 44 manuskrip Lontara yang dikumpulkannya dan lalu dijadikan sebagai rujukan utama penulisan buku tersebut. Ke-44 naskah itu terdiri dari 28 manuskrip beraksara Lontara Bugis dan 16 lainnya beraksara Lontara Makassar.

"Aksaranya macam-macam, ada Sulapa Eppa, Serang, dan Jangang-Jangang," tulis Muhlis Hadrawi pada halaman 10 buku itu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Titik Rangsangan yang Dilakukan Ali kepada Fatimah

Sejatinya, Assikalaibineng adalah kitab tuntunan berhubungan suami-istri yang diatur sesuai budaya Bugis-Makassar, tapi tak lepas dari nilai-nilai Islam. Buku ini berisi tentang tips, trik, etika bahkan doa-doa saat ingin berhubungan badan atau setelahnya.

Terbukti pada salah satu bagian dalam buku ini dijelaskan dalam teks berbahasa Bugis dan ditulis dalam aksara Lontara, perihal ritual malam pertama. Seperti yang diajarkan, sang pria dianjurkan memulainya dengan niat dan melihat dirinya sebagai aksara Arab Alif dan perempuannya sebagai aksara Arab Ba, lalu dianjurkan memberi salam.

Pada bagian lain dalam buku itu disebutkan bahwa sang suami disebut sebagai Ali atau sahabat dan menantu Nabi Muhammad lalu perempuan disebut sebagai Fatimah yang tak lain adalah putri Nabi Muhammad. Dan saat pria memegang tangan perempuannya, ia dianjurkan bersyahadat dan berniat Malaikat Jibril yang menikahkan dan Nabi Muhammad yang menjadi wali atas kehendak Allah Ta’ala.

Kitab Persetubuhan Bugis ini juga banyak menjelaskan tentang titik-titik rangsangan pada perempuan, atau bahkan tentang siklus perubahan titik rangsangan perempuan yang sesuai dengan siklus menstruasinya. Dalam kitab itu titik pusat rangsangan tertinggi perempuan disebut Mani. 

"Inilah pengetahuan dari Baginda Ali ketika hendak berhubungan dengan Fatimah. Malam Jumat dia mencium ubun-ubun sebab di situlah maninya berada, Sabtu dia mencium kepalanya, sebab di situlah maninya berada, malam Ahad, Ali mencium mata Fatimah sebab di situlah maninya berada, malam Senin diciuminya perantara keningnya," tulis Muhlis menerjemahkan salah satu manuskrip Lontara yang ia peroleh.

Di manuskrip lain disebutkan ada tujuh titik rangsangan yang menjadi daerah sensasi saat malam pertama. Ketujuh titik itu berbeda pada setiap harinya tergantung hari apa malam pertama itu berlangsung.

Ketujuh titik itu adalah Buwung atau ubun-ubun pada malam Jumat, Ulu atau Kepala pada malam Sabtu, mata pada malam Ahad, Lawa Anning atau perantara alis pada malam Senin, Inge' atau hidung pada malam Selasa, Pangolo atau payudara pada malam Rabu, dan Uluwati atau Ulu Hati pada malam Kamis.

"Efek rangsangan terbaik bila dilakukan pada rangkaian titik peka itu, diraba, lalu selalu diiringi ciuman, sebelum masuk ke tahap penetrasi, yang diikuti beberapa mantra dalam bahasa Arab dan Lontara," jelas Muhlis Hadrawi dalam buku yang ditulisnya itu.

Saksikan video menarik pilihan berikut:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.