Sukses

Ada Oase di Balik Terminal Ledeng

Dari balik terminal Ledeng Bandung yang selalu sibuk, di antara gang-gang sempit perumahan warga, Iman Soleh membangun komunitas sastra.

Liputan6.com, Bandung - Dari balik terminal Ledeng yang selalu sibuk, di antara gang-gang sempit perumahan warga, Iman Soleh membangun komunitas sastra yang mereka sebut Centre Culture of Ledeng (CCL). Atau jika tak mau dibilang terlalu keren, Iman Soleh malah sering menyebutnya dengan Celah-Celah Langit.

Saat budaya pop menggerus Bandung menjadi lebih ‘alay’, Iman Soleh bersama komunitasnya justru konsisten mempertahankan nilai-nilai budaya Sunda lewat jalan kesenian. Gaya berkesenian RT RW atau dalam lingkungan masjid di kampung sudah dilakoninya sejak SD.

"Dulu waktu saya kecil, Acep Sugandi itu dalang wayang. Kemudian Mang Apit adalah pemain longser, dan mang Didi pemain calung,” ungkap Iman Soleh saat ditemui awak Liputan6.com.

Memasuki 1983, saat anak-anak muda seusianya bersaing di Sipenmaru memperebutkan bangku Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Iman Soleh lebih memilih masuk Study Club Teater (STB) Bandung.

Dari kampusnya Iman Soleh mengenal sosok Suyatna Anirun, pendiri STB, yang dianggapnya sebagai sosok guru dalam dunia teater.

Tak berhenti sampai di kampus, kecintaannya kepada dunia seni teater membawanya "sekolah" di berbagai komunitas besutan seniman-seniman teater yang sudah terlebih dahulu mapan, seperti Arifin C Noer, Teguh Karya, WS Rendra, dan Nano Riantiarno. Iman Soleh bersama Putu Wijaya bahkan pernah pentas keliling ke 20 tempat di Indonesia.

"Saya diuntungkan oleh keinginan Saya yang kuat sekali ingin belajar, apalagi di zaman saya ada tradisi "nyantri" namanya. Saya menikmati benar sejarah orang tua-orang tua pendiri teater di masa lalu," kata Iman Soleh menceritakan awal mula sejarah pertemuannya dengan dunia teater.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jalan Pengabdian Iman Soleh

Bagi Iman Soleh, seni teater merupakan sebuah wadah berkesenian yang modalnya paling primitif, yakni tubuhnya sendiri, pikiran, ucapan-ucapannya, dan tindakannya. Teater juga mengajarkan pada keberagaman sifat dan bentuk.

“Di mata saya seni teater merupakan bentuk kesenian yang paling jujur dibandingkan seni yang lain. Bisa menjadi penyadaran, bahkan perlawanan bagi banyak hal,” ungkap Iman Soleh.

Setelah merasakan nyantri di berbagai komunitas, Iman Soleh dalam kurun waktu 1998 hingga 2006 berkesempatan mempelajari seni teater di berbagai negara Asia dan Eropa, antara lain ia pernah belajar di Jepang, Philipina, dan Prancis.

Bahkan, komunitas CCL pada 2007 juga pernah pentas di Lahore, Pakistan, serta berkolaborasi dalam pentas keliling bersama Sidetrack Theater dalam produksi The Tangled Garden yang dipentaskan di Jakarta dan Australia. Bersama komunitasnya di CCL, Iman Soleh juga telah menghasilkan berbagai karya pertunjukan, antara lain Air, Passage, Water Carier, Air Burung, Nenek Moyang, Bedol Desa, Ozone, Indonesia Menggugat, dan Tanah Ode Kampung Kami.

Nama CCL sendiri muncul pada 1998 di tengah rezim represif Orde Baru, meski Iman Soleh telah menjadikan halaman rumahnya sebagai tempat berkesenian sejak 1985. "Dulu pada saat Orde Baru, kami disebutnya OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), saya sendiri pernah dari dalam rumah ditangkap gara-gara pertunjukkan," kenang Iman Soleh sambil tertawa mengingat masa-masa itu.

Iman Soleh menyadari dan mengalami sendiri bagaimana rezim Orde Baru mencoba mengerdilkan segala bentuk kesenian rakyat. Saat itu berbagai kelompok teater yang ingin menggelar sebuah pertunjukkan harus melapor ke Polsek dan Koramil. Pihak keamanan harus tahu terlebih dahulu apa naskahnya, apa judulnya, apa isinya. Kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berserikat diredam atas nama stabilitas.

Namun Iman Soleh tetap berjuang bersama rakyat yang terbungkam, untuk tetap ‘bersuara’ lewat jalan seni teater, mengingat seni teater mampu menyatakan segala bentuk protes secara langsung. Tak dapat dipungkiri, naskah-naskah karya Iman Soleh sendiri selalu membawa suara-suara kecil masyarakat, manyajikan potongan-potongan adegan yang lekat hubungannya dengan masyarakat, sekaligus memasukkan unsur-unsur tradisi lokal Sunda ke dalam pementasan.

Sehingga pertunjukkan teater tidak menjadi sesuatu yang asing, yang asik sendiri di dalam masyarakat sebagai konteks pementasan. Tanah Ode Kampung Kami misalnya, merupakan representasi protes Iman Soleh dan komunitasnya terhadap UU pertanian di Indonesia. Petani di negeri ini, menurut Iman Soleh, tidak terjamin kesejahteraannya, padahal Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang agraris.

Petani tidak memiliki tanah, kalau pun punya, mereka dihadapkan dengan persoalan lain, yaitu menjual tanah atau selamanya menjadi petani walaupun tidak sejahtera. Alhasil Indonesia akan selalu mengimpor beras, meskipun Indonesia sesungguhnya mampu menghadirkan ketahanan pangan yang kuat.

 

3 dari 3 halaman

Mencintai (Kembali) Tradisi Indonesia

Dalam berbagai pementasan, Iman Soleh bersama CCL kerap memasukan warna-warna lokal Sunda sebagai sentuhan estetisnya. Hal tersebut dilakukan tentu untuk mempertahankan kekayaan tradisi yang dimilikinya.

Bagi dirinya, Molliere dan Shakespare sangat tradisional, naskah-naskah teater yang dilahirkannya membicarakan tentang tradisi. Romeo and Juliet misalnya, menceritakan tentang dua keluarga dalam tradisi Inggris yang sangat kuat. Iman Soleh menyayangkan sikap masyarakat Indonesia umumnya yang tidak pernah mempelajari apa yang dimilikinya, tidak pernah memuliakan apa yang menjadi akar tradisinya, dan cenderung hidup kepada apa yang disebut sebagai pola kehidupan barat.

Selama belajar di berbagai negara di Eropa, Iman Soleh menyadari betapa tradisionalnya pola hidup mereka (orang Eropa), dan sebaliknya betapa modernnya manusia Indonesia. Masyarakat Eropa besar dalam tradisi aksara, mereka mencatat, sedangkan masyarakat Indonesia tidak demikian. Masyarakat Indonesia cenderung kontemporer, yang besar dalam tradisi lisan. Didirikannya kampung budaya CCL merupakan usaha untuk mengembalikan lagi seni tradisi kepada masyarakat di tengah cepatnya gerak laju perubahan zaman.

Panggung CCL yang menyatu dengan halaman rumah juga merupakan representasi dari kuatnya seni tradisi di lingkungan masyarakat Ledeng. Sehingga, seniman dan penonton tidak berjarak, dan seni tidak asik sendiri, mengingat dalam berbagai bentuk seni tradisi, penonton juga merupakan bagian dari kesenian itu sendiri.

Betapa pentingnya bagi Iman Soleh mempertahankan akar tradisi keIndonesiaan, mengingat Indonesia sangat besar. Saking besarnya, bangsa ini punya beban yang teramat berat. Namun patut disyukuri, Indonesia mempunyai tradisi toleransi yang sangat kuat, tradisi yang sudah mengakar di jalan kebudayaan orang Indonesia.

Paling tidak Iman Soleh mengingatkan anak-anak muda saat ini untuk kembali mencintai Indonesia. Kalau tidak bisa percaya pada pemerintah, paling tidak mereka bisa percaya pada dirinya sendiri, pada tetangganya, sehingga menimbulkan sikap saling percaya di lingkungan masyarakat, dan percaya pada keIndonesiaan yang dimilikinya. 

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.