Sukses

Ada Mafia Tiongkok di Balik Paket Wisata Murah Bali?

Hanya dengan Rp 600 ribu, wisatawan Tiongkok sudah dapat liburan 5 hari 4 malam di Bali. Kok bisa?

Bali - Ternyata ada permainan “mafia” di balik murahnya wisata Bali bagi wisatawan Tiongkok. Hal ini setidaknya diungkapkan sejumlah tokoh dan pelaku pariwisata di Bali.

Elsye Deliana Deliana, Ketua Bali Liang (Komite Tiongkok Asita Daerah Bali) menjelaskan, wisatawan Tiongkok memang menjadi penyumbang turis paling tinggi di Bali, tapi di balik itu ada praktik-praktik “mafia”.

"Kasarnya gini ya, Bali itu dijual sangat murah di Tiongkok oleh agen-agen tertentu. Sangat murah, bahkan semakin berlomba untuk lebih murah," ungkap Elsye.

Dia mengatakan, fenomena ini sudah berlangsung dua sampai tiga tahun di Bali. Tahun terakhir sudah semakin parah. Elsye mengatakan, sebelumnya (paket wisata) Bali dijual 999 RMB (Renin Bi) atau sekitar Rp 2 juta. Itu sudah termasuk tiket pesawat pulang pergi, makan dan hotel 5 hari 4 malam.

"Coba dibayangkan, dengan uang Rp 2 juta orang Tiongkok sudah bisa ke Bali, menginap di Bali 5 hari 4 malam dan sudah dapat makan," kata Elsye.

Yang lebih parah lagi, belakangan dijual lebih murah lagi. Setelah angka 999 RMB atau sekitar Rp 2 juta, kemudian turun menjadi 777 RMB sekitar Rp 1,5 juta, kemudian turun lagi menjadi 499 RMB atau sekitar Rp 1 juta dan terakhir sudah sampai 299 RMB sekitar Rp 600 ribu.

"Coba dipikir, dengan Rp 600 ribu bisa dapat tiket ke Bali dan balik lagi ke Tiongkok. Dapat makan dan hotel selama 5 hari 4 malam. Jadi kualitasnya seperti apa?" kata perempuan yang kerap disapa Meylan ini.

"Yang jadi pertanyaan saat ini, mengapa sampai bisa dengan harga semurah itu? Istilah kami zero tour fee (perjalanan biaya murah)," kata Elsye.

Baca juga berita Jawapos.com lainnya di sini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Permainan Penjual Paket Wisata

Menurut pandangan Elsye, hal tersebut bisa terjadi lantaran ada permainan besar dari penjual. Ada pengusaha dari Tiongkok juga yang membangun usaha art shop di Bali dengan jumlah yang sudah cukup banyak di Bali. Toko-toko ini yang menyubsidi wisatawan dengan biaya murah itu ke Bali. Namun, mereka nantinya wajib untuk masuk ke toko-toko itu.

"Ada subsidi dari art shop besar yang punya beberapa di Bali. Subsidi ini yang bisa membuat harga murah," ungkap Elsye.

Namun, mereka sudah seperti beli kepala, wisatawan itu wajib masuk toko itu. Seperti dipaksa belanja di sana. Mereka masuk, kemudian membeli barang-barang berbahan lateks, seperti kasur, sofa, bantal dan lainnya.

"Dengan alasan bahwa Indonesia penghasil karet, sehingga barangnya jauh lebih murah. Padahal barang itu sebenarnya barang buatan Tiongkok juga," sahut Bambang Putra.

"Kemudian juga ada toko sutra dan lainnya," kata dia.

Mereka dalam 5 hari 4 malam, selama 4 hari hanya masuk toko–toko milik orang Tiongkok juga. Bahkan diduga pembayarannya juga dengan wechat (pola Tiongkok) dengan sistem barcode.

"Jadi transaksinya berputar saja, datang ke Bali dari Tiongkok, belanja ke toko Tiongkok, kemudian sistem pembayaran masih ala Tiongkok," ungkap Elsye.

Parahnya lagi, ada yang mengambil barang di Bali, ada juga yang mengambil barang di Tiongkok.

"Selama lima hari ini, hanya satu hari mereka menjalani tur ke destinasi wisata di Bali. Dulunya Tanah Lot, tapi ketika harga naik hanya diajak ke Uluwatu karena lebih murah," ungkapnya.

3 dari 3 halaman

Kerugian Wisata Bali

Dengan kondisi ini, ada banyak kerugian yang dialami Bali. Yang pertama keuntungan bagi Bali, tidak ada. Kasarnya, kata dia, Bali hanya dapat sampahnya. Kemudian karena pola tur seperti ini, seperti ada permainan–permainan mafia.

Wisatawan juga merasa seperti ditipu. Mereka ke Bali, tapi tidak tahu Bali. Bagi mereka Bali itu tidak menarik, mereka tidak akan kembali lagi.

"Bali itu bagi mereka isinya hanya toko–toko yang jual lateks karena Indonesia penghasil karet," imbuh Elsye.

Sekretaris Bali Liang, Herman, juga sependapat, menurutnya pola permainan lainya terkait Tiongkok adalah masalah ilegal dan legal. Yang terjadi saat ini, sangat banyak adalah guide ilegal, kemudian travel agen ilegal, fotografer prewed di Bali menggunakan visa wisata namun bekerja, termasuk juga toko–toko jaringan yang mensubsidi wisatawan murah itu, juga banyak warga Negara Tiongkok yang tidak memegang visa kerja.

"Ini yang harus dituntaskan oleh pemerintah. Mesti dipastikan mana legal mana ilegal," ungkap herman.

Ini akan sangat merugikan Bali ke depan. Bahkan Bali yang begitu hebat di mata dunia, menjadi sangat tidak menarik bagi wisatawan Tiongkok yang merasakan permainan ini. Fenomena ini juga terjadi di Thailand dan Vietnam, tapi saat ini pemerintah negara tersebut sudah mulai tegas dan melakukan perbaikan–perbaikan.

"Jika tidak membawa uang sekitar Rp 5 juta, dalam rekening tidak diberikan masuk Thailand untuk wisatawan Tiongkok" urainya.

Adapun menurut Herry Sudiarto, Ketua Komite Tiongkok DPP Asita, perlu ada ketegasan pemerintah, sebelum semakin parah praktik-praktik yang terjadi di dunia pariwisata Bali khususnya terkait pangsa Tiongkok.

"Pemerintah mesti berani tegas, untuk bisa Bali lebih bagus. Jika dibiarkan seperti ini jelas, akan semakin parah ke depannya. Mesti dibuatkan regulasi yang kuat, untuk bisa melindungi yang legal dan menertibkan yang ilegal," harap Herry.

"Menjadi sangat aneh ketika kita di Indonesia mau ke Tiongkok, paling murah tiket, hotel dan makan habis sekitar Rp 20 juta. Berbanding Rp 600 ribu," pungkas Herry.  

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.