Sukses

Refly Harun: Pemilihan Hakim MK Asal Tunjuk

Pengamat Refly minta perppu harus memasukan pasal yang mematenkan Majelis Kehormatan Konstitusi (MKK) dan mekanisme penunjukan hakim MK.

Terkuaknya dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi dengan ditangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar membuat semua pihak sangat terkejut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah pimpinan lembaga tinggi negara MPR, DPR, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan BPK pun berkumpul membahas penyelamatan MK.

Pertemuan itu menghasilkan 5 rekomendasi seperti pemberhentian sementara Akil dari jabatan. Presiden pun berencana mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sehingga mekanisme pemilihan hakim.

Pengamat hukum tata negara Refly Harun menilai Perppu penyelamatan MK sangat diperlukan. Menurutnya, hal yang harus diperhatikan adalah penunjukan hakim konstitusi karena selama ini pemilihan hakim MK asal tunjuk saja.

"Sampai sekarang kan asal tunjuk. Mahkamah Agung asal tunjuk. Presiden sempat libatkan Wantimpres, tapi ujung-ujungnya asal tunjuk juga," kata Refly dalam diskusi di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Minggu (13/10/2013).

Ia mengkritik penunjukan juga dilakukan DPR. Hal ini terjadi pada saat perpanjangan masa tugas Akil. DPR tidak melakukan fit and proper test. Tapi, anggota Dewan hanya menanyakan apakah mau diperpanjang.

"Hanya ditanya bersedia, bersedia, selesai. Padahal, kalau mengacu pada kredibilitas, hakim terlibat isu saja tidak boleh dipilih," sindir Refly.

Selain pemilihan, perppu seharusnya memasukan pasal yang mematenkan Majelis Kehormatan Konstitusi (MKK). Ia minta anggota MKK harus diisi oleh orang-orang yang seluruhnya independen.

"Lalu sekretariatnya ada di KY, persis seperti DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Jika MKH (Majelis Kehormatan Hakim) ada di internal MK juga maka yang ada jeruk makan jeruk," imbuh Refly.

Terakhir, Ia menegaskan, hakim tidak boleh berasal dari parpol. Seperti halnya yang terjadi di KPU, Bawaslu, maupun DKPP. Mereka yang ingin terlibat harus pensiun dari parpol selama 5 tahun.

"Boleh dari parpol asal 5 tahun pensiun dari parpol. Yang terjadi sekarang kan pura-pura keluar. Kalau KPU, Bawaslu, DKPP saja dilarang, kenapa  MK tidak," tukas Refly.(Adi/Ism)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.