Sukses

Menangkap Elize, Menuding Tommy

Polisi menduga Tommy Soeharto terlibat sejumlah kasus pengeboman. Benarkah putra bontot Soeharto aktor intelektual rangkaian peledakan di Tanah Air?

Liputan6.com, Jakarta: Sebuah pengakuan telah membelitkan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dalam sejumlah aksi peledakan di Tanah Air. Tak tanggung-tanggung, terpidana kasus tukar guling Badan Urusan Logistik dan PT. Batara Goro Sakti yang raib tak lama setelah divonis 18 bulan penjara ini, juga dituding sebagai dalang aksi sejumlah pengeboman dengan puluhan korban tak berdosa.

Pada mulanya adalah penangkapan Elize Maria Tuwahatu di Kamis pekan silam, setelah polisi menemukan tiga buah bom aktif di depan anjungan Daerah Istimewa Yogyakarta di Kompleks Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Ibu muda berusia 33 tahun ini tertangkap dalam sebuah operasi jebakan ketika berencana meledakkan tiga kantor pemerintahan.

Rencana itu terbongkar setelah seorang paranormal bernama Agung Yulianto alias Ki Joko Bodo telah melaporkan tindakan Elize kepada polisi. Secara terang-terangan, Ki Joko mengaku dihubungi Elize untuk meletakkan tiga bom di tiga tempat berbeda. Tetapi, ia enggan melakukannya dan lebih memilih melaporkan hal itu kepada polisi. Nah, semenjak itu, ia menjadi bagian dari skenario polisi untuk membekuk Elize.

Kepada wartawan, Ki Joko mengaku pertama kali berhubungan dengan Elize pada 23 Desember tahun silam. Semenjak itu, Elize kerap berbicara dengan dirinya secara rutin mengenai niat pengeboman. Mengenai tiga bom yang ditemukan di TMII, menurut dia, rencananya akan digunakan untuk membunuh Marzuki Darusman dan melukai Menperindag Luhut Binsar Panjaitan. Sedangkan di Kantor Dirjen Pajak, bom itu hanya untuk shock therapy.

Dari pemeriksaan silang antara saksi Lisa Lopolisa (teman Elize) dan Sonya Tuwahatu (ibu Elize), serta pengakuan Elize, menurut Kepala Dinas Penerangan Polri Brigadir Jenderal Polisi Saleh Saaf, muncul kesimpulan bahwa Elize pernah bertemu dengan Tommy di tepian jalan depan Universitas Bung Karno, Jalan Cilacap, Menteng, Jakarta Pusat, pada Ahad dua pekan silam.

Saat itu, menurut Elize, mengenakan celana pendek dan topi rimba, Tommy turun dari Toyota Kijang kapsul warna silver. Ia menyerahkan tiga bom dalam bungkusan. Selain itu, Tommy juga memberikan tiga lembar cek yang masing-masing senilai Rp 25 juta. "Sejak SMP, Tommy memang berteman dengan Elize," kata Lisa kepada polisi, ketika ditanya hubungan Tommy dan Elize. Menurut Ki Joko, Elize pernah mengaku bahwa rencana pengeboman tersebut adalah skenerio Tommy dengan imbalan sebesar Rp 1 miliar. Bila dijalankan, ia bakal menerima honor Rp 110 juta untuk setiap bom yang meledak.

Pengakuan para tersangka ini masih perlu pembuktian lebih lanjut, tentu. Satu hal pasti, dari mulut mereka, seolah-olah tabir kasus peledakan yang selama ini tersaput kabut, terkuak. Maklum, selama ini, berbagai upaya yang telah dilakukan polisi tak satu pun yang mampu membongkar dalang kasus pengeboman. Pertanyaannya, benarkah putra bungsu mantan Presiden Soeharto terlibat? Rada repot menjawab pertanyaan ini. Jadi, ada baiknya, biarkan saja polisi yang mengungkap.

Sebetulnya, kendati tak segamblang kali ini, mencuatnya nama Tommy yang dikaitkan dengan sejumlah kasus peledakan bukanlah perkara baru. Di depan jemaah salat Jumat di Masjid Al Musyawaroh, Kelapa Gading, Jakarta Utara, medio September 2000, Presiden Abdurrahman Wahid pernah menyerukan agar Kepala Polri segera menangkap Tommy. Bersama Habib Ali Baagil, putra mantan Presiden Soeharto itu dianggap terlibat dalam kasus peledakan Gedung Bursa Efek Jakarta, 13 September silam. Masyarakat pun geger.

Tak pelak, tuduhan Gus Dur mengundang debat berkepanjangan. Banyak yang yakin tudingan Presiden tepat sasaran. Namun, ada juga yang tak percaya bila suami Raden Ajeng Ardhia Pramesti Regita Cahyani itu terlibat peledakan Gedung BEJ dan serangkaian ledakan bom lain. Muncul analisis pula, Tommy adalah orang yang paling berkepentingan untuk melakukan aksi teror semacam itu. Itu sebabnya, namanya laris dan pas disebut dalam setiap kasus peledakan di berbagai daerah.

Bagi Gus Dur, tudingan terhadap mantan bos Humpuss itu bukan tidak beralasan. Pasalnya, peristiwa itu terjadi sehari menjelang sidang kedua pengadilan Soeharto, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebelumnya, pada persidangan pertama kasus Soeharto, sebuah ledakan juga terjadi di dekat Auditorium Departemen Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan. Saat itu, 31 Agustus 2000, sebuah bus kota diledakkan di samping tempat persidangan Soeharto. "Setiap kali Soeharto akan ditindak secara hukum, selalu saja muncul peristiwa mengejutkan," kata Gus Dur, heran.

Gus Dur benar. Bahkan, ketika Tommy dipanggil Kejaksaan Agung, 4 Juli silam, sebuah bom sempat meledak di bagian belakang Gedung Pidana Khusus (Gedung Bundar) Kejagung. Peristiwa itu terjadi hanya berselang sekitar satu jam setelah Tommy meninggalkan Gedung Bundar, usai diperiksa berkaitan dengan pembelian tanah seluas 144 hektare di Desa Citeureup, Bogor, Jawa Barat --kini dikenal sebagai Sirkuit Sentul.

Menurut seorang saksi mata, ledakan bom itu telah menghancurkan ruangan kamar kecil dan dapur yang ada di lantai dasar. Bahkan. beberapa bagian dinding pada ruangan tersebut terlihat retak, kaca pintu belakang, dan kaca jendela ventilasi kamar kecil hancur berantakan. Alhasil, dari kamar kecil itu, air mengucur dengan deras. Kata polisi, pelakunya berciri orang timur dan memiliki janggut tipis. Ciri fisik lainnya adalah tinggi badan sekitar 170 sentimeter, berambut pendek (cepak), berbadan tegap, berkulit hitam, dan berusia kira-kira 35 tahun.

Keterangan polisi ini jelas menimbulkan berbagai spekulasi. Kendati begitu, Jaksa Agung Marzuki Darusman mengaku prihatin atas kasus pengeboman tersebut. Soalnya, bom meledak di saat Kejagung tengah serius menuntaskan kasus KKN. Marzuki menduga pengeboman itu dilakukan oleh pihak yang tertekan dan sakit hati.

Tuduhan Tommy di balik serangkaian teror kian kental ketika jendela kaca di lorong ruang rapat Komisi V DPR ditembak orang tak dikenal. Soalnya, peristiwa penembakan terjadi saat Tommy dan mantan pengurus Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) menemui Panitia Kerja Koperasi Komisi V DPR, 13 Maret 2000. Kedatangan Tommy untuk mengklarifikasi dana milik petani cengkeh sebesar Rp 1,9 triliun yang saat itu berada di tangan BPPC. "Penembakan itu jelas teror politik," kata Arbi Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia, berusaha bijak.

Perihal keterkaitan ini bukan tidak pernah dikonfirmasikan kepada Tommy. Usai bertemu polisi, lulusan STM Penerbangan itu mengatakan, "Saya kecewa dengan pernyataan Gus Dur." Meski begitu, polisi terus menindaklanjuti instruksi penangkapan Tommy tersebut. Polisi juga sempat bertanya kepada Tommy: mengapa setiap akan digelar sidang Soeharto, selalu terjadi ledakan bom? Saat itu, Tommy menjawab bahwa ia juga tidak tahu dan merasa heran dengan tuduhan Presiden. Boleh-boleh saja Tommy bingung (atau pura-pura bingung). Tapi, bila polisi berhasil membuktikan bahwa pengakuan Elize benar, pedang hukum agaknya harus diayunkan secara benar. Agar tak ada lagi teror yang melahirkan sejumlah korban tak berdosa.(ULF).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini