Sukses

Pengamat: El Nino Bukan Penyebab Tunggal Beras Langka dan Harganya Terus Naik

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menerangkan, El Nino bukan penyebab tunggal atas kenaikan harga beras yakni mengakibatkan musim tanam mundur.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menerangkan, El Nino bukan penyebab tunggal atas kenaikan harga beras yakni mengakibatkan musim tanam mundur. Sehingga pasokan ke pasaran menjadi terbatas. 

"El Nino punya dampak iya. Musim tanam membuat panen yang mestinya kita bisa lakukan kalau nggak ada anomali iklim di Februari itu mundur bisa lebih dari 2 bulan," kata dia saat dihubungi, Senin (26/2/2024).

Khudori kemudian membeberkan produksi padi yang menurun selama dua tahun terakhir. Berdasarkan data yang disampaikannya pada 2022 berkisar 31 juta ton lebih, sementara pada 2023 menjadi 30,9 juta ton turun sekitar 400 ribu sampai 500 ribu ton.

"Kontribusi itu El Nino punya andil, tapi dia pasti bukan satu-satunya," ujar dia.

Khudori menyebut, faktor lain yang membuat harga beras di pasaran naik yakni banyak aneka bantuan yang dikucurkan oleh pemerintah seperti bantuan pangan dalam bentuk beras (natura) dan bantuan sosial lain.

Meski, beberapa bantuan diberikan dalam bentuk uang bukan barang tapi jika pemerintah membeli beras ke pasar dalam jumlah besar di waktu bersamaan maka pasti punya tekanan pada harga.

Khudori juga menyinggung masa kampanye Pemilu 2024 yang berlangsung selama 75 hari. Dia mengatakan, permintaan menjadi meningkat karena banyak aktivitas dari sebagian besar peserta pemilu yang memborong beras dan pangan dalam jumlah besar. Entah itu untuk serangan fajar, ataupun bagi-bagi sembako dan sebagainya.

"Itu juga punya dampak, karena sejak awal Januari berlanjut ke Februari ada kenaikan jumlah konsumsi. Coba lihat di pemberitaan di kios pedagang ada yang membeli jumlah besar untuk kebutuhan-kebutuhan itu," ucap dia.

Di sisi lain, psikologi publik juga ikut mempengaruhi kenaikan harga beras. Pasalnya, banyak dari mereka yang berasumsi akan ada kelangkaan beras karena melihat antrean untuk mendapat beras.

"Itu membuat psikologi publik ikut, namaya efek kerumunan. Ujungnya kalau itu berlangsung masif dikhawatirkan muncul panic buying," ucap Khudori.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Antisipasi dan Mitigasi Pemerintah Tak Terlihat

Sementara itu, Khudori menilai, kenaikan harga beras tak memberikan dampak lain kepada harga pangan, kecuali pangan-pangan yang punya hubungan saling menggantikan.

"Misalnya, kalau harga beras tinggi orang punya pilihan ke gandum, terigu atau berbagai macam varian lain," ujar dia.

Khudori menyebut, bila harga cabai, gula, bawang, telur ayam, daging, daging ikut merangkak naik itu sifatnya situasional.

"Cabai sedang paceklik, produksi terbatas dan kalau telur dan daging ayam karena harga pangan tinggi membuat produksi unjng ujung harga tinggi," ujar dia.

Khudori mengatakan, pemerintah sebetulnya telah melakukan langkah-langkah antisipasi. Namun, hasil dari antisipasi maupun mitigasi tidak kelihatan.

"Nah melihat situasi itu satu satunya pasokan di harapan besar dari beras pemerintah yaitu beras bulog, ketika pasokan dari dalam negeri nggak besar, supply besar beras bulog harus besar," ucap dia.

"PR pemerintah dalam jangka pendek bagaimana menekan atau mempersempit disparitas harga beras di pasar yang harga Rp 16 ribu dengan harga beras Bulog," dia menambahkan.

3 dari 5 halaman

Pemerintah Dinilai Tak Dengarkan Masukan soal Antisipasi Kekeringan

Pakar Pertanian dari Universitas Lampung Bustanul Arifin menambahkan, faktor El-Nino menjadi salah satu determinan dari kenaikan harga beras.

"Produksi padi tahun 2023 turun sekitar 1 juta ton, karena luas panen yang turun signifikan, sekitar 300 ribu hektar," ujar dia.

Bustanul menyebut, faktor kedua adalah ekonomi beras global. "Mungkin masih ingat bahwa pada Juli 2023 India melarang ekspor beras. Pertimbangannya politis, PM Modi menghadapi Pemilu pada 2024. Dia tidak ingin harga domestik beras India naik signifikan," ujar dia.

"PM Modi juga menikmati efek pemberitaan setelah beberapa negara datang ke India, berunding, minta dikecualikan dari kebijakan larang ekspor beras, misalnya, negara yang telah datang ke Delhi adalah Singapura, Butan, Mauritania dan lain-lain. Akibatnya, harga beras dunia juga naik sangat tinggi, melebihi US$ 620/ton untuk beras medium dan US$ 680/ton untuk beras premium. Ini merupakan rekor tertinggi, bahkan melebih harga ketika Krisis Pangan 2008," sambung dia.

Terkait hal ini, Bustanul bersama beberapa analis pernah mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi kekeringan ekstrem ini. Namun, tak mendapat respons.

"Pemerintah mungkin memang punya hak untuk tidak mendengarkan masukan," ujar dia.

Karena itu, sekarang ini pemerinta perlu melakukan banyak hal postif, dan memperbaiki komunikasi publik secara baik. Jika upaya pengawalan program percepatan tanam, penggunaan varietas baru yang lebih adaptif perubahan iklim telah banyak dilakukan, sampaikan hal tersebut kepada masyarakat.

"Kita para analis juga ingin mendengarkan progres hal tersebut. Apa kasulitannya di lapangan? Apakah tingkat adopsi oleh petani cukup besar? Apakah petani mau mengubah penggunaan varietas yang selama ini ditanamnya? Apakah level penggunaan teknologi telah diperbaiki. Dan lain-lain. Kita juga ingin mengetahui banyak hal itu," ujar dia.

4 dari 5 halaman

Penyaluran Bantuan Perlu Diperbaiki

Selain itu, pemerintah perlu lebih firmed dalam menyalurkan bantuan beras murah atau yang diistilahkan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan, perencanaan dan implementasinya juga harus diperbaiki.

"Sekali lagi, strategi komunikasinya diperbaiki. Jika ada kerumunan orang, ibu-ibu pula, mengantre untuk mendapatkan beras murah, apalagi sampai kehabisan atau tidak kebagian beras, itu adalah komunikasi publik yang cukup buruk. Ini yang harus diperbaiki," ujar dia.

"Jangan biarkan informasi seperti itu lebih dominan dibandingkan tindakan pemerintah yang memang berusaha untuk memperbaiki keadaan. Ekonomi beras dan ekonomi pangan lainnya juga banyak tergantung aspek psikologi pasar," dia menandaskan.

Terpisah, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan juga punya pandangan lain. Namun, Eddy tak bisa menyimpulkan bahwasanya El Nino berdampak kepada kenaikan harga beras.

"Saya hanya fokus kepada bagaimana perilaku El Nino," ujar dia.

Eddy kemudian mengulas perilaku El Nino sejak Mei 2023 hingga 2024. Menurut dia, intensitas El Nino tergolong moderat karena berkisar antara 1.0 dan tidak sampai 2.0. Hanya saja, kata dia, durasinya sedikit lebih panjang.

"Diperkirakan sampai April 2024, sudah kembali netral," kata Eddy Hermawan saat dihubungi, Senin (26/2/2024).

Eddy kemudian mencoba membandingkan El Nino pada tahun 1997, 1998, dan 2015. Kala itu, intensitasnya tergolong ekstrim. "Tapi durasinya pendek hanya enam bulan," ujar dia.

 

5 dari 5 halaman

Beras Premium Lokal Mahal dan Langka, Mendag Minta Warga Beli Beras SPHP Bulog

Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan meminta masyarakat membeli beras yang disebar oleh Perum Bulog. Menurut Zulkifli Hasan, beras yang dinamai Stabilitas Pasokan Harga Pangan (SPHP) ini harganya lebih murah jika dibandingkan dengan harga beras lokal kualitas premium yang saat ini tengah melambung.

Menengok data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategks Nasional (PIHPS), harga beras berkualitas super I terpantau Rp 17 ribu per kg atau naik 0,89 persen. Kemudian beras kualitas super II dipatok Rp 16.550 per kg atau naik 1,27 persen.

Sedangkan beras kualitas medium I dijual Rp 15.700 per kg atau naik 1,29 persen dan beras kualitas medium II mencapai Rp 15.550 atau naik 0,97 persen.

"Barangnya kan terbatas karena belum panen (premium lokal). Nah pemerintah menyiapkan alternatif, tadi Bulog. Berasnya enak juga dan bagus," kata Zulkifli Hasan kepada media, di Pasar Klender, Jakarta, Senin (26/2/2024).

Pemerintah menyiapkan beras komersil Perum Bulog dengan harga Rp 14 ribu per liter. Sedangkan beras SPHP yakni Rp 55 ribu per 5 kg. "Diharapkan masyarakat bisa beli alternatif. Bagus juga kok dari beras komersil atau SPHP-nya," imbuhnya.

Kendati begitu, selama kunjungan di Pasar Klender, Jakarta, Zulhas bilang, para pedagang beras menyebut masyarakat masih jarang yang ingin membeli beras SPHP. Mungkin mereka merasa rasanya berbeda dibanding premium lokal.

"Tadi kita dengar ada juga orang merasanya beda. 'Ah saya sudah biasa ini (beras premium)'," tutur Zulhas.

Ia pun berharap harga beras premium akan mengalami penurunan, jika panen raya padi Maret mendatang tak berkendala.

"Mudah-mudahan Maret sudah sebagian panen. Tapi puncaknya segera April, Mei baru akan stabil untuk beras lokal. Tapi beras yang disediakan pemerintah harganya tetap. Tetap tidak naik," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini