Sukses

HEADLINE: Usulan Kenaikan Tarif Transportasi Warga Luar Jakarta, Plus Minusnya?

Kebijakan kenaikan tarif transportasi bagi warga luar Jakarta ini kontra produktif, sebab pembedaan tarif berpotensi mendorong mereka kembali menggunakan kendaraan pribadi.

Liputan6.com, Jakarta - Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta berencana menerapkan sistem tiket transportasi berbasis akun atau account based ticketing (ABT). Sistem ini bakal terintegrasi dengan data KTP dan status ekonomi penumpang.

Sistem akan diterapkan pada tiga moda transportasi umum di Jakarta, yakni Mass Rapid Transit (MRT), Light Rapid Transit (LRT) dan Transportasi Jakarta (Transjakarta). Sistem ABT sendiri dirilis melalui aplikasi JakLingko yang bisa diunduh di Playstore.

Para pengguna transportasi publik ini pun pasrah jika kebijakan itu diterapkan. Terutama bagi pekerja Jakarta yang tinggal di wilayah aglomerasi. Salah satu pengguna transportasi Depok-Jakarta, Nia mengaku pasrah jika kebijakan tersebut akan diterapkan. Sebab mau tak mau dia memerlukan transportasi yang memudahkannya datang ke kantor.

"Sebagai kelas pekerja, kayaknya pasrah aja. Transportasi umum semacam KRL dan MRT itu suatu kebutuhan. Mobil tidak punya," kata Ramdania kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (12/10/2023).

Namun, kata Nia, kebijakan tarif ini cukup memberatkan bagi kalangan pekerja yang pas-pasan namun tidak memiliki KTP DKI Jakarta.

"Jadi memang perlu banget perhatian pemerintah untuk golongan warga macam ini," ujarnya.

Sementara Lina, pengguna MRT Jakarta juga mengaku pasrah dengan rencana kebijakan ini. "Ya mau nggak mau ikut aja, karena pakai MRT juga cukup menghemat waktu," ujar Lina.

Namun, sebagai warga yang ber-KTP Pemalang tapi sudah belasan tahun tinggal di Jakarta, Lina mengaku merasa didiskriminasi atas kebijakan itu.

"Saya kok merasa didiskriminasi? Apalagi memang ada jaminan kalau dari luar Jakarta lebih mampu secara ekonomi?" ujarnya.

Kemudian Lina juga menyoroti pembelian tiket berbasis akun yang harus menggunakan KTP. Dia khawatir jika data pribadinya bocor.

"Pakai data pribadi apa ada jaminan nggak bocor? Apalagi sekarang sedikit-sedikit pakai data pribadi," kata Lina.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menegaskan pengguna transportasi umum seharusnya tak boleh dibeda-bedakan terdasarkan KTP. 

Trubus menilai Jakarta bukan kota yang tertutup sehingga tidak mudah untuk memilah mana warga Jakarta dan mana yang bukan, dalam penggunaan transportasi umum sehari-hari.

"Kalau konteksnya transportasi umum tidak boleh dibedakan, Jakarta bukan kota tertutup," ujar Trubus kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis, (12/10/2023).

Menurutnya rencana kebijakan kenaikan tarif transportasi publik untuk warga luar Jakarta justru akan merugikan pemprov sendiri.

"Justru akan memperburuk citra sebagai publik trust, seolah-olah ada diskriminasi, padahal transportasi publik itu ya untuk semua orang," kata dia. 

Kemudian, dengan adanya pembedaan tarif, Trubus mengatakan, masyarakat bakal kembali naik kendaraan pribadi. Sehingga target Pemprov DKI untuk mengurangi kemacetan dan polusi bisa jadi gagal. 

"Potensi kembali ke kendaraan pribadi lebih tinggi, kan kita harapannya mengurangi kemacetan, polusi. Malah justru akan ada masalah baru, polusi sulit ditangani," tegasnya.

Sementara Pengamat Transportasi dari Institut Studi Transportasi (Intrans) Darmaningtyas mengatakan warga di luar DKI Jakarta tak akan berpindah ke kendaraan pribadi jika tarif transportasi publik masih lebih murah. 

"Kalau tarif yang harus dibayarkan masih lebih murah daripada menggunakan kendaraan bermotor pribadi, maka tidak perlu ada kekhawatiran akan pindah. Tapi kalau tarifnya kompetitif dengan naik kendaraan pribadi tentu akan pindah ke kendaraan pribadi," ujar Darmaningtyas kepada Liputan6.com di Jakarta.

Darma menilai dengan menggunakan sistem Account Based Ticket (ABT) yang diterapkan PT JakLingko, maka subsidi dari pemprov DKI lebih tepat sasaran.

"Sehingga ke depan tarif angkutan itu bisa tidak flat seperti sekarang kemana-mana kalau naik Transjakarta bayar Rp 3.500 tapi sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Untuk dapat menentukan kemampuan ekonomi masing-masing itu dasarnya adalah KTP," ujar dia.

"Tapi minusnya tidak semua orang punya HP android, bagaimana dengan nasib mereka itu?" tandasnya.

Mengurangi Beban APBD

Wacana perbedaan tarif ini dinilai bisa mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut Anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Gilbert Simanjuntak wacana ini muncul dengan mempertimbangkan Public Service Obligation (PSO) yang selama ini dikucurkan Pemprov DKI Jakarta untuk subsidi transportasi umum yang berasal dari APBD.

"Kita sebagai wakil rakyat Jakarta tentu mendukung kebijakan tersebut," kata Gilbert kepada Liputan6.com, Kamis (12/10/2023).

Gilbert mencontohkan, PSO untuk moda transportasi pada 2022 mencapai Rp 3,9 triliun. Sehingga, kata dia warga KTP Jakarta sebagai pembayar pajak lah yang seharusnya diutamakan sebagai sasaran penerima subsidi.

"Karena asal PSO dari APBD, ini tentunya hak warga Jakarta pembayar pajak. Warga non Jakarta tentunya tidak mendapat hak tersebut kecuali PSO atas APBN," kata dia.

Gilbert menyarankan, PSO dibagi sesuai KTP, bila warga non Jakarta mau tarif Transportasi umum tidak dibedakan. Terlebih, Gilbert menyebut 70 persen pengguna kendaraan umum di Jakarta saat ini adalah warga non Jakarta

"Kalau mau daerah pendukung mendapat tarif yang sama, sebaiknya perkara subsidi/PSO ini dibagi sesuai asal KTP," ujarnya.

Senada, Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta juga menyetujui wacana ini. Penasehat Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta Rany Mauliani menyatakan, tarif transportasi dibedakan berdasarkan domisili sudah sewajarnya diterapkan, asal jelas peruntukannya.

"Mungkin lumrah-lumrah saja ya bila ada perbedaan selama hal tersebut jelas peruntukannya dan tetap masih terjangkau, kualitas pemanfaatnya tidak berkurang," kata Rany.

Meski begitu, Rany ingin Pemprov memperhatikan betul mekanisme yang efisien terkait wacana ini. Sebab, kata dia memilah KTP Jakarta dan non Jakarta mesti dilakukan dengan proses yang jelas.

Sementara, anggota DPRD DKI Jakarta Komisi B Taufik Azhar menyetujui wacana perubahan tarif TransJakarta sesuai status ekonomi dan domisili penumpang melalui tiket berbasis akun (account based ticketing/ABT).

"Kalau saya dalam hal ini setuju-setuju saja. Karena kita tidak bisa terus mengandalkan penambahan dana subsidi kewajiban layanan publik (public service obligation/PSO)," kata Taufik.

Menurut Taufik, PSO sudah seharusnya tepat sasaran sehingga perlu dibedakan tarifnya bagi setiap pelanggan.

Isu mengenai beda tarif Transjakarta untuk warga KTP DKI Jakarta dan luar Jakarta dibagikan akun X atau sebelumnya Twitter @TMIHARINI pada Jumat, 22 Oktober 2023.

Pada postingan akun itu, dijelaskan tarif bus Transjakarta untuk warga domisili DKI Jakarta dan non Jakarta akan berbeda akibat penerapan sistem Account-Based Ticketing (ABT).

"Tarif bus Transjakarta akan mengalami perubahan. Transjakarta berencana memberlakukan sistem Account-Based Ticketing (ABT) yang mana tarifnya ditentukan beradasarkan status ekonomi dan KTP domisili penumpang. Tarif untuk warga domisili DKI Jakarta dan non Jakarta akan berbeda," demikian bunyi keterangan akun X @TMIHARINI tersebut.

Sementara Pemprov DKI Jakarta sudah menerapkan uji coba pembelian tiket berbasis akun pada MRT, LRT Jakarta, dan Transjakarta melalui aplikasi Jaklingko.

"Pada minggu lalu kami sudah melakukan uji coba. Prinsipnya untuk fitur ABT di aplikasi Jaklingko ini sudah cukup baik," kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Syafrin Liputo.

Rencana pembelian tiket berbasis akun ini nantinya akan terintegrasi dengan data KTP dan status ekonomi penumpang.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Terkesan Diskriminatif

Sementara itu, Anggota Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Suhud Alynudin mengatakan, sebelum wacana tersebut ditetapkan perlu dibuat kajian yang serius agar kenaikan tarif tak menambah beban masyarakat.

"Perbedaan besaran tarif, dikhawatirkan menimbulkan kesan diakriminatif, antara warga Jakarta dan non-Jakarta. Padahal mereka sama-sama warga negara Indonesia. Hal ini harus diwaspadai," kata Suhud.

Suhud menyarankan, agar wacana tarif dinaikkan saat kondisi ekonomi warga sudah baik akibat dampak krisis dan Covid-19. Dia menilai, Pemprov harusnya mengutamakan pada peningkatan pelayanan transportasi.

"Yang harus diutamakan saat ini adalah peningkatan pelayanan transportasi publik, bukan menaikan tarif," kata Suhud. 

Anggota DPRD DKI Jakarta Sholikhah juga menolak kenaikan tarif transportasi publik untuk warga luar Jakarta karena malah dikhawatirkan membuat mereka kembali beralih ke kendaraan pribadi.

"Dengan memberikan tarif terintegrasi transportasi yang lebih tinggi untuk penduduk luar Jakarta akan membuat mereka kembali menggunakan kendaraan pribadi untuk bekerja dan beraktivitas," kata Sholikhah saat dihubungi di Jakarta, Rabu (11/10/2023) seperti dilansir Antara.

Sholikhah menuturkan dikhawatirkan dengan naiknya tarif bagi luar Jakarta ini membuat upaya untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mengurangi kemacetan menjadi tidak efektif.

Dia menilai warga luar Jakarta yang bekerja dan beraktivitas juga berkontribusi bagi perekonomian Ibu Kota.

Dengan demikian, dia menyarankan agar penerapan tiket terintegrasi untuk penggunaan transportasi publik di Jakarta tidak dibedakan antara warga Jakarta dan warga luar Jakarta.

Dia lebih menyarankan agar pemerintah membangun dan pelayanan transportasi publik yang lebih baik agar masyarakat mau memanfaatkan dan beralih dari kendaraan pribadi.

"Pembangunan dan pelayanan transportasi publik yang semakin baik akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi termasuk penduduk luar Jakarta sehingga kemacetan bisa dikurangi," katanya.

Anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia atau PSI Justin Adrian menilai warga non Jakarta juga berkontribusi terhadap pendapatan DKI Jakarta.

"Fraksi PSI tegas menolak subsidi transportasi yang hanya khusus untuk warga Jakarta, mengingat Jakarta berperan sebagai episentrum ekonomi nasional, dan banyak warga sekitarnya yang berkontribusi signifikan pada aktivitas ekonomi kota ini," ujar Justin.

"Saat ini, hampir 1 juta pengendara luar Jakarta yang masuk ke Jakarta setiap harinya, di mana 77 persen dari mereka adalah pengendara bermotor," sambung dia.

Justin membeberkan, apabila tujuan wacana ini untuk mengurangi beban subsidi, Justin menyarankan Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan penyesuaian tarif transportasi publik secara umum.

"Fraksi PSI meminta Pemerintah Provinsi untuk menganalisa dan melakukan studi kembali terhadap nilai Willingness to Pay (WTP) pengguna transportasi publik (MRT, LRT, Transjakarta dan Jaklingko) untuk menyesuaikan tarif subsidi yang sudah sekian lama belum disesuaikan. Serta mengupayakan efisiensi dan efektivitas pendapatan Non-farebox untuk mengurangi beban APBD," ucap dia.

 

3 dari 3 halaman

Kebijakan yang Kontra-produktif

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai bahwa kebijakan ini kontra produktif, sebab pembedaan tarif berpotensi mendorong mereka kembali menggunakan kendaraan pribadi.

“(Kenaikan tarif) Ini justru akan membuat Jakarta semakin padat kendaraan pribadi dari luar Jakarta,” kata Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno, dalam penyataan tertulis pada Kamis (12/10/2023).

"Kebijakan diskriminatif ini akan sulit diimplementasikan dan memiliki potensi terjadi chaos di lapangan, terutama antara petugas dan pengguna publik transport,” lanjutnya.

Agus menambahkan, jika alasan kenaikan tarif tersebut karena beban subsidi PSO untuk publik transport Jakarta dirasa semakin memberatkan, maka sudah saatnya ada penyesuaian tarif secara umum.

"Sejak diluncurkan tahun 2004, TransJakarta belum sekalipun menyesuaikan tarif. Ini lebih fair (adil) bagi masyarakat konsumen, dibanding dengan pembedaan tarif," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini