Sukses

Syahrul Yasin Limpo Disebut Minta Perlindungan LPSK, KPK Harap Bukan Modus Hambat Proses Hukum

KPK sangat yakin seharusnya tak mungkin juga misalnya seorang pelaku utama dalam sebuah kontruksi rangkaian dugaan korupsi akan mendapatkan perlindungan hukum.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri tidak ambil pusing, terkait rencana Syahrul Yasin Limpo alias SYL yang hendak meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengenai kasus hukum di Kementerian Pertanian (Kementan).

“Siapa pun tentu berhak mengajukan hal tersebut kepada LPSK. Nanti di sana akan dinilai apakah layak atau tidaknya seseorang dengan status saksi atau korban mendapatkan hak semacam itu,” kata Ali melalui pesan singkat, Senin (9/10/2023).

Ali berpikir positif. Menurut dia, rencana SYL menyambangi LPSK tidak dimaknai dengan sebuah tindakan yang menghambat proses hukum. Sebab, kasus terkait sudah naik ke tingkat penyidikan yang artinya sudah mengantongi sosok tersangka.

“KPK berharap hal ini bukan bagian dari modus untuk menghambat atau menghindari proses penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang sedang berproses di KPK,” jelas Ali.

Ali percaya, proes perlindungan diberikan LPSK memiliki aturan yang harus dipatuhi dan KPK memastikan syarat dan ketentuan mereka yang dapat dilindungi adalah semata demi kepentingan proses hukum, terutama ketika sosok tersebut berstatus sebagai saksi atau korban bukan sebagai pelaku. 

“Sama seperti dalam pemberian status justice collaborator, kami sangat yakin seharusnya tak mungkin juga misalnya seorang pelaku utama dalam sebuah kontruksi rangkaian dugaan korupsi akan mendapatkan perlindungan hukum,” Ali menandasi.

Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut tiga cluster kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). Penyidikan kasus korupsi terbagi atas tiga cluster dan menyeret nama Syahrul Yasin Limpo yang dikabarkan sudah berstatus sebagai tersangka.

Korupsi tiga cluster itu diduga dilakukan Syahrul Yasin Limpo. Ketiga cluster tersebut adalah, satu; pemerasan dalam jabatan, dua; penerimaan gratifikasi, dan tiga; tindak pidana pencucian uang (TPPU). 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Jokowi Diminta Jernih Sikapi Kasus Hukum Syahrul Yasin Limpo di KPK

Pemerhati Hukum dari Lembaga Transformasi Hukum Indonesia Wiliyus Prayietno mewanti, jangan sampai ada momentum perlawanan dari pihak berperkara. Apalagi di sisi lain, ada aduan masyarakat terkait dugaan pemerasan pemimpin KPK yang tengah ditangani Kepolisian.

“Jangan sampai menjadi momentum perlawanan pelaku tindak pidana korupsi salah satu bentuknya adalah membenturkan antara aparat penegak hukum,” ujar Wiliyus, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Senin (9/10/2023).

Wiliyus menilai, tindakan membenturkan atau the corruptor strike back adalah cara para pelaku tindak pidana korupsi untuk menyerang aparat penegak hukum dari beragam pola dan gaya.

Perlawanan pelaku tindak pidana korupsi diperkirakan akan menggunakan seluruh kekuatan dan kemampuan melalui berbagai akses yang dimiliki, baik akses politik, ekonomi, maupun akses lain.

“Perlawanan balik dari koruptor itu dilakukan dengan segala dan segenap  kekuatan dan beragam cara, termasuk melalui jaringannya untuk melemahkan bahkan bukan mustahil berusaha menihilkan proses penanganan perkara tindak pidana korupsi yang sedang di tangani oleh KPK" ujar Wiliyus.

Mengantisipasi hal itu, Wiliyus menyarankan agar Presiden Jokowi dapat jernih dalam bersikap. Caranya dengan meminta Menko Polhukam Mahfud Md memanggil Ketua KPK dan Kapolri agar kedua institusi penegak hukum itu tidak terjebak dalam agenda serangan balik koruptor.

“Saya mohon Presiden Jokowi untuk segera bertindak tegas dimana saat ini serangan balik koruptor kepada aparat penegak hukum dengan mengadu domba ada di depan mata," ucap Wiliyus menandasi

3 dari 4 halaman

Jokowi Ogah Komentari Polemik Kasus SYL dan KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan sudah menetapkan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). Syahrul Yasin Limpo pun mengajukan surat pendunduran diri sebabai mentan buntut kasus hukum tersebut.

Belakangan muncul dugaan pemerasan yang dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri terhadap Syahrul Yasin Limpo terkait penanganan kasus korupsi di Kementan. Kasus dugaan pemerasan ini bahkan sudah naik penyidikan di Polda Metro Jaya.

 Menanggapi hal itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku tidak mau berkomentar lebih jauh. Menuruti dia, polemik Mentan Syahrul Yasin Limpo dan KPK ada di dalam ranah hukum. Sebagai kepala negara, dirinya tidak mau mengintervensi proses hukum.

“Saya kalau komentar nanti saya ada yang bilang mengintervensi,” kata Jokowi kepada awak media di Istora Senayan Jakarta, Sabtu (7/10/2023).

Jokowi mengaku, akan mempelajari silang sengkarut antara Mentan Syahrul Yasin Limpo dengan KPK terebih dahulu. Sebab sementara ini dirinya mengaku belum mengatahui secara mendetail kasus yang tengah bergulir.

“Saya belum tahu permasalahannya secara detail. Saya belum mendapatkan informasi secara detail. Karena masalahnya masih simpang siur,” kata presiden dua periode ini. 

4 dari 4 halaman

Naik Penyidikan

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak menyatakan status penanganan pengusutan kasus dugaan pemerasan dalam jabatan terhadap Syahrul Yasin Limpo (SYL) naik ke tingkat penyidikan.

Syahrul Yasin Limpo diduga diperas oleh Ketua KPK Komjen Pol (Purn) Firli Bahuri berkaitan dengan penanganan kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan).

Ade Safri mengatakan, sebelum akhirnya ditingkatkan ke penyidikan, pihaknya sudah lebih dahulu melakukan gelar perkara pada Jumat, 6 Oktober 2023 kemarin.

"Pada Jumat tanggal 6 Oktober 2023 telah dilaksanakan gelar perkara untuk kepentingan peningkatan status penyelidikan ke tahap penyidikan dalam dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji oleh pegawa negeri atau penyelenggara negara terkait penanganan masalah hukum di Kementan RI pada sekira kurun waktu tahun 2020 hingga 2023," ujar Ade Safri di Polda Metro Jaya, Sabtu (7/10/2023).

Ade Safri mengatakan pihaknya menggunakan Pasal 12 huruf e atau pasal 12 huruf B, atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 65 KUHP.

Ade menyebut, dengan ditingkatkannya status penanganan perkara ke penyidikan, maka pihaknya akan segera menerbitkan surat perintah penyidikan untuk mengumpulkan bukti lanjutan berkaitan dengan kasus ini.

"Selanjutnya akan diterbitkan sprint penyidikan untuk lakukan serangkaian tindakan penyidikan menurut cara yang diatur undang-undang guna mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangknya," kata Ade.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini