Sukses

Pendidihan Global, Peringatan akan Perubahan Iklim yang Ekstrem?

Sekjen PBB António Guterres menyebut saat ini dunia berada pada masa pendidihan global, bukan lagi pemanasan global.

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pekan terakhir, Gaby memilih transportasi umum menuju kantornya. Dari rumahnya di wilayah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, dia menggunakan KRL Commuter Line berangkat ke kantornya, di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Padahal, sebelumnya, dia lebih sering membonceng motor suaminya.

Ibu tiga anak itu mengaku tak kuat dengan panasnya Jakarta ketika berangkat kerja di siang hari. Gaby pun jadi semakin banyak minum air dingin karena suhu panas beberapa pekan terakhir.

"Enak naik kereta, langsung ojek sampai kantor bisa langsung ngadem. Enggak kuat di jalan naik motor, karena panasnya nyelekit enggak kaya biasanya," kata Gaby kepada Liputan6.com.

Bahkan, dia mengaku beberapa kali merasa dehidrasi karena suhu yang semakin panas kala siang hari.

Hal yang sama juga dirasakan Diyah. Biasanya dia memang ke kantor sekitar pukul 10.00 WIB dari Stasiun Bekasi. Seringkali air minum yang dibawanya dari rumah, sudah berkurang banyak meskipun belum sampai kantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. 

"Padahal biasanya air itu baru diminum kalau sampai kantor. Tapi gara-gara panas akhir-akhir ini di Stasiun Bekasi udah mau habis setengahnya. Panasnya enggak nanggung-nanggung, beberapa kali sering langsung pusing, mungkin karena dehidrasi," ucap dia kepada Liputan6.com.

Gelombang Panas Landa Dunia

Kenaikan suhu panas tak hanya dirasakan di beberapa daerah di Indonesia. Di berbagai negara bahkan, telah terjadi gelombang panas. Misalnya, di Korea Selatan (Korsel) yang mencatat 23 kematian terkait gelombang panas, lebih dari tiga kali lipat dibanding tahun lalu. Demikian diumumkan pihak berwenang di Korsel pada Rabu (2/8/2023).

Sementara peringatan cuaca panas pemerintah bertahan pada level tertinggi. Jambore Pramuka Dunia ke-25, yang saat ini diadakan di Area Reklamasi Saemangeum di pantai barat daya Korsel, telah melaporkan 400 kasus penyakit terkait suhu panas. 

Awal Juli lalu, wilayah Beijing, Tiongkok, juga mengalami gelombang panas. Cuaca panas di wilayah Beijing dilaporkan mencapai 35 derajat celcius. Sebelumnya, media pemerintah Tiongkok, Global Times, menyebutkan suhu di Beijing bahkan mencapai 40 derajat celcius di akhir Juni lalu. 

Akibat gelombang panas tersebut, suhu panas di Beijing mencapai yang tertinggi sejak pencatatan suhu dimulai ada 1961. Namun, wilayah Beijing di utara ternyata dilanda banjir.

Selanjutnya, Italia juga mengeluarkan peringatan risiko kesehatan ekstrem di 16 kota, termasuk Roma dan Florence, akhir pekan ini menyusul gelombang panas yang membakar Eropa.

Ilmuwan iklim di Badan Antariksa Eropa (ESA) mengatakan, panas ekstrem bisa mencapai 48 derajat Celsius di Sisilia dan Sardinia, dan berpotensi menjadi suhu terpanas yang pernah tercatat di Eropa.

ESA memperingatkan, gelombang panas yang menerjang Eropa baru saja dimulai. Selain Italia, Spanyol, Prancis, Jerman, Yunani, dan Polandia diperkirakan turut menderita cuaca ekstrem.

Bahkan Amerika Selatan, yang seharusnya tengah mengalami musim dingin, juga mengalami gelombang panas luar biasa di sejumlah bagiannya. Fenomena tersebut diyakini para ilmuwan merupakan dampak dari perubahan iklim, yang diperparah oleh El Nino.

Ibu kota Argentina, Buenos Aires, mencatat rekor  terpanas dalam 117 tahun, pada 1 Agustus lalu. Juru bicara biro cuaca Argentina, Cindy Fernandez mengatakan bahwa negaranya menghadapi tahun dengan panas ekstrem.

"Suhu pada musim dingin jauh dari skala - tidak hanya di wilayah tengah di mana Buenos Aires berada, namun juga di wilayah utara yang berbatasan dengan Bolivia dan Paraguay, di mana suhu mencapai antara 37 derajat Celcius dan 39 derajat Celcius pekan ini," ujar Cindy seperti dilansir The Guardian. Di Chile, suhu panas pun menuju 40 derajat Celcius.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mengenal Apa Itu Istilah Pendidihan Global?

Beberapa pekan lalu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) António Guterres, juga menyebut saat ini dunia berada pada masa pendidihan global, bukan lagi pemanasan global.

"Perubahan iklim sudah ada di sini. Itu menakutkan. Dan ini baru permulaan. Kita masih mungkin membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius dan menghindari perubahan iklim yang paling buruk. Tapi hanya dengan aksi yang dramatis dan langsung," kata Guterres yang dikutip dari laman PBB.

Pernyataan Guterres tersebut sebagai bentuk respons laporan para ilmuwan yang menyebut Juli 2023 menjadi bulan terpanas sepanjang sejarah. Hal ini berdasar data terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia/World Meteorological Organization (WMO) dan Layanan Perubahan Iklim Copernicus Komisi Eropa/European Commission's Copernicus Climate Change Service (C3S).

Guterres berharap dunia dapat lepas dari sektor bahan bakar fosil sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar. Selain itu, dia juga mendesak perusahaan-perusahaan, kota-kota, hingga lembaga-lembaga keuangan untuk menghadiri Konferensi Ambisi Iklim dengan membawa rencana perubahan yang kredibel.

"Tak ada lagi greenwashing. Tak ada lagi penipuan. Dan tak ada lagi distorsi terang-terangan terhadap hukum antimonopoli untuk menyabotase aliansi nol emisi," jelas Guterres.

Istilah pendidihan global menjadi hal yang baru di masyarakat. Pengamat iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dodo Gunawan menyebut pernyataan António Guterres merupakan penegasan terkait pemanasan global yang sudah pada tahap memprihatinkan. 

Sebab, Perjanjian Iklim Paris (Paris Climate Agreement) yang disetujui pada 2015 berusaha membatasi pemanasan global hingga jauh di bawah 2 celcius, tapi lebih baik pada 1,5 celcius sampai akhir abad ini untuk memerangi perubahan iklim.

"Itu perumpamaan yang sudah sangat mengkhawatirkan terkait dengan pemanasan global. Kondisinya sudah bisa dilihat situasi yang ada saat ini. Saya catat sampai bulan Mei, itu semua sudah mencapai rapor tertinggi," kata Dodo kepada Liputan6.com.

Dia menjelaskan, pada tahun 2023, pemanasan global digambarkan terjadi saat memasuki El Nino. Hal tersebut seperti halnya yang terjadi pada saat 2019. Kondisi saat ini kata dia, merupakan salah satu dampak dari adanya peningkatan suhu panas. Atau selisih anomali suhu udara rata-rata tahunan terus mengalami peningkatan.

"Termasuk wilayah Indonesia. Analisis suhu, ada tren kecenderungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu seperti halnya peningkatan global. Di samping itu tentu selain ada tren kenaikan suhu meningkat, ada fluktuasi dari waktu ke waktu musim ke musim," dia menjelaskan.

Pendidihan Global Bentuk Peringatan

Hal yang sama juga disampaikan ahli cuaca dari Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Deni Septiadi. Dia menyebut istilah pendidihan global yang disampaikan Guterres merupakan bentuk peringatan kepada semua pihak bahwa kondisi iklim yang sedang tidak baik-baik saja. 

"Secara global terjadi peningkatan yang esktrem, kemudian tentu saja semua orang harus mulai memikirkan bagaimana kondisi potensi perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi sekarang ini," kata Deni kepada Liputan6.com

Karena hal itu, dia mendorong semua pihak harus dapat menurunkan berbagai sektor yang dapat menyumbangkan emisi gas rumah kaca. Namun, Deni menilai, di zaman modern banyak pembangunan yang seringkali lupa untuk memperhatikan karakteristik ataupun kondisi lingkungan wilayah tersebut.

"Jadi lingkungan rusak itu indikasi dari potensi dari perubahan iklim. Tidak ada lahan terbuka hijau karena memang lahan sudah tertutupi aspal dan bangunan dan sebagainya. Ini indikasi ruangan yang ada itu sudah sulit untuk menghasilkan, yang mampu meredam gas rumah kaca tadi," papar dia.

Selain itu, Deni juga menyoroti terkait kebijakan penggunaan kendaraan listrik yang dapat mencegah potensi peningkatan gas rumah kaca. Yaitu terkait berbagai komponen yang digunakan.

"Tapi memang komponen-komponennya jadi pertanyaan para peneliti karena industri baterai. Memang salah satunya, perlu juga untuk dipertimbangkan dalam menjaga kondisi lingkungan yang benar bebas emisi karbon tadi," ujar Deni.

3 dari 4 halaman

Pendidihan Global Akibat Percepatan Perubahan Iklim Secara Cepat?

Penyumbang emisi gas rumah kaca secara global dihasilkan dari berbagai sektor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2020, sektor energi memberikan kontribusi penyumbang terbesar. 

Kemudian disusul dari sektor IPPU (proses dan produksi industri), pertanian, FOLU (kehutanan dan penggunaan lahan), kebakaran hutan, dan limbah.

Peneliti ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin menyatakan, istilah pendidihan global merupakan bentuk politis yang diharapkan agar ada dukungan kuat semua pihak terkait bumi yang semakin memanas. Sebagai ilmuwan, dia mengaku kaget dengan percepatan perubahan iklim yang semaki menggila dalam waktu singkat.

"Bahwa fakta-fakta tentang bumi yang memanas semakin terakselerasi dan cukup mengagetkan ilmuwan. Karena kami membangun berbagai model prediksi dan proyeksi tentang perubahan iklim itu perubahannya kecil. Dan 1,5 derajat Celcius itu diprediksi atau diproyeksi paling akan tercapai 2050, tapi ternyata 1,35 derajat Celcius saja sudah di titik (tahun) 2023," Erma kepada Liputan6.com.

Sebab dampak yang akan ditimbulkan yaitu akan terjadi sejumlah bencana alam salah satunya banjir bandang yang dapat merusak infrastruktur yang ada. Bahkan, korban yang yang terdampak diprediksi juga akan lebih banyak dari sebelumnya.

 

Selain itu, perubahan iklim ekstrem nantinya dapat mengganggu berbagai sektor yang ada. Mulai dari tatanan sosial hingga perekonomian.

Karena hal itu, dia mendorong semua pihak untuk melakukan perubahan agar tidak semakin tinggi pemanasan bumi secara global. Atau untuk menekan sedemikian mungkin laju karbondioksida (CO2). Salah satunya yaitu dengan gerakan penanaman pohon di berbagai wilayah agar dapat mengganti CO2 menjadi oksigen (O2).

Erma menyebut pohon merupakan solusi yang paling murah dan memiliki peran untuk peredaman di lingkungan masing-masing.  "Karena memang faktanya si pemanasan itu adalah hasil dari proses terperangkap-nya radiasi matahari itu karena banyaknya CO2 yang ada di atmosfer, si rumah kaca itu. Itu kan harus kita redam, kita kurangi. Itu upaya-upaya kecil," ucapnya.

Selain itu dia juga mendorong pemerintah agar segera memetakan daerah-daerah kering, terancam banjir, hingga wilayah yang mudah tenggelam. Erma juga meminta agar ada pembaharuan terkait kebijakan atau regulasi yang jelas dan keseriusan pemerintah terkait perubahan iklim dan menjadikan sebagai isu bersama. 

Sebab selama ini, Erma menilai perubahan iklim hanya dipandang sebagai gangguan untuk perekonomian yang ada di Indonesia. Padahal perubahan iklim harus diatasi bersama layaknya negara maju yang fokus melakukan berbagai perubahan. 

"Upaya kita untuk membangun infrastruktur, membangun perekonomian, kan akan musnah begitu saja kalau terjadi banjir yang luar biasa besar. Itu berapa kerugian yang bisa dihasilkan, ketika dia sudah tidak bisa diatasi," papar dia.

 

4 dari 4 halaman

Berbagai Langkah Strategis untuk Atasi Krisis Iklim

Erma menilai sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia masih tertinggal jauh dibanding berbagai negara lainnya. Untuk sektor energi belum ada eksplorasi yang bisa diperbarui. Misalnya terkait konversi secara serius terhadap energi dari alam. 

Dia mencontohkan, berbagai negara yang sudah mulai beralih menggunakan panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal tersebut menurut Erma karena kurangnya dukungan pemerintah karena anggaran yang tidak sedikit.

"Jadi konversi energi ke energi alam gitu ya, dan itu masih menjadi PR juga. Sehingga saya tidak tahu sampai kapan kita akan bertahan dengan minyak bumi ini, batu bara. Itu kan dua sumber energi yang menghasilkan CO2 terbesar itu," Erma menandaskan.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Uli Arta Siagian mengaku setuju dengan pernyataan Guterres terkait era pendidihan global. Sebab situasi saat ini masuk dalam kategori Kriss iklim yang lebih parah dibandingkan beberapa tahun yang lalu. 

Krisis iklim kata Uli tak hanya menyebabkan gelombang panas saja. Tetapi juga berbagai bencana alam lainnya seperti banjir hingga longsor. Kemudian terjadinya musim yang tidak menentu.

Sektor pertanian juga menjadi salah satu yang akan berdampak. Bahkan krisis iklim dapat mengakibatkan situasi gagal panen di berbagai wilayah yang kering. 

"Selanjutnya kebakaran hutan dan lahan. Kalau dia semakin kering situasinya, semakin panas, maka ini akan memicu percepatan dan perluasan kebakaran hutan dan lahan. Kita tahu sekarang titik-titik api kan mulai banyak ditemukan di beberapa wilayah," kata Uli kepada Liputan6.com.

Bahkan wilayah rentan kebakaran hutan dan lahan rata-rata berada di wilayah-wilayah konsensi perusahaan. Untuk itu WALHI meminta kepada pemerintah agar segera melakukan sejumlah langkah strategis agar perlahan dapat keluar dari krisis iklim. Situasi krisis iklim saat ini kata Uli merupakan bentuk akumulasi dari pilihan ekonomi yang sangat ekstraktif. 

"Misalnya pertambangan, lalu pembangkitan listrik batu bara, energinya, terus kemudian membuka hutan dan lahan untuk sawit dan aktivitas lainnya. Nah itu kemudian harus dilihat sebagai sesuatu yang penting untuk diubah," ucapnya.

Evaluasi Sejumlah Perizinan 

Seharusnya pemerintah dapat melindungi hutan-hutan tersisa untuk dapat dipertahankan fungsinya sebagai penyerap karbon. Atau tidak lagi melakukan deforestasi atau kemudian memberikan hutan menjadi izin-izin konvensi.

Langkah selanjutnya yaitu mulai berhenti membongkar fosil dari tanah. Artinya harus mulai berhenti mengekstraksi batu bara atau membuka lagi konsensi-konsensi nikel yang baru.

"Nah yang selanjutnya, menurut kami penting untuk kemudian pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh perizinan. Karena banyak sekali kemudian praktik-praktik atau izin-izin yang ada sekarang, itu dia melakukan banyak pelanggaran," ujar Uli.

Untuk langkah pendek Uli meminta agar pemerintah dapat cepat menangani sejumlah permasalahan yang ada saat ini. Mulai dari kekeringan hingga kebakaran lahan dan hutan.

Lalu memastikan kembali wilayah-wilayah yang gagal panen untuk mendapatkan akses terhadap pangan dan air bersih yang mudah.

"Itu langkah mitigasi, langkah pendek gitu untuk bisa diambil pemerintah dalam setidaknya sampai kalau prediksinya panas itu sampai awal 2024, maka itu juga harus dilakukan sampai awal 2024 sembari kemudian tadi, melakukan langkah tadi dengan mengevaluasi izin, tidak lagi menerbitkan izin-izin baru di wilayah-wilayah penting," Uli menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.