Sukses

HEADLINE: Vonis Ringan dan Bebas Terdakwa Tragedi Kanjuruhan, Penuhi Keadilan 135 Korban Tewas?

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan vonis ringan hingga bebas terhadap lima terdakwa di Tragedi Kanjuruhan yang telah menewaskan 135 orang. Putusan jadi kontroversi karena dinilai mengabaikan perspektif korban.

Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan vonis ringan hingga bebas terhadap lima terdakwa di Tragedi Kanjuruhan yang telah menewaskan 135 orang. Putusan jadi kontroversi karena dinilai mengabaikan perspektif korban.

Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya menjatuhkan vonis bebas terhadap dua anggota Polres Malang. Mereka adalah mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi.

Hakim menilai keduanya tidak bersalah dan memerintahkan kedua terdakwa dibebaskan dari tahanan.

Sebelumnya, Majelis Hakim juga terlebih dahulu memberikan vonis ringan terhadap tiga terdakwa lainnya. Mereka adalah Danki 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan dengan pidana 1,5 tahun penjara dari tuntutan jaksa selama 3 tahun penjara.

Selain itu Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris dan Security Officer saat pertandingan Arema FC vs Persebaya Suko Sutrisno yang masing-masing hanya divonis 1,5 tahun dan 1 tahun penjara. Padahal dalam tuntutannya jaksa telah meminta majelis hakim untuk menjatuhi hukuman pidana selama 6 tahun penjara terhadap keduanya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai proses hukum atas Tragedi Kanjuruhan gagal memenuhi rasa keadilan para korban.

"Vonis itu mengabaikan rasa dan perspektif korban serta masyarakat yang peduli kepada Tragedi Kanjuruhan dan menanti realisasi janji pemerintah. Apalagi pihak berwenang sempat berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat. Vonis itu menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia terutama ketika orang kecil menjadi korban," kata Usman kepada Liputan6.com, Senin (20/3/2023).

Amnesty International mendesak pemerintah serta otoritas berwenang lainnya seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian untuk memastikan akuntabilitas seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan.

"Termasuk mereka yang berada di tataran komando, guna memberikan keadilan bagi korban dan memutus rantai impunitas. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui peradilan yang adil, imparsial, terbuka dan independen."

Usman menjelaskan, kasus ini sekali lagi menunjukkan pola kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakar kuat dan luas oleh aparat keamanan di Indonesia.

"Kasus tragis ini harus menjadi momen untuk memperbaiki kesalahan dan mengubah haluan, bukan mengulangi kesalahan yang sama. Kurangnya akuntabilitas juga mengirimkan pesan berbahaya kepada aparat keamanan bahwa mereka dapat bertindak dengan bebas dan tanpa konsekuensi hukum," sambungnya.

Hal senada dikatakan Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Ia menilai putusan tidak adil dan benar-benar mengabaikan perspektif korban.

"Sama sekali tidak mempertimbangkan kerugian dan kematian para korban karena melepaskan dan menghukum ringan para pihak yang bertanggung jawab. Kurang menangkap rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat in casu korban atau dalam kasus ini," kata Fickar kepada Liputan6.com, Senin (20/3/2023).

Fickar menilai, kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum bisa semakin berkurang dengan adanya vonis ini. Ia juga mendorong Komisi Yudisial untuk memeriksa para hakim.

"Menurunkan kredibilitas peradilan dan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap peradilan. KY secara normatif perlu untuk mengkritisi dan meneliti putusan ini apakah ada faktor ekonomi mempengaruhinya," tambah dia.

Rasa Keadilan Masyarakat Terkoyak

Anggota Komis III DPR, Didik Mukrianto, mengaku heran dengan putusan Pengadilan Negeri Surabaya. Ia menegaskan seharusnya polisi bertanggung jawab atas jatuhnya ratusan korban jiwa.

“Ada yang aneh dengan penegakan hukum kita. Ada yang tidak adil jika dalam tragedi Kanjuruhan yang telah memakan banyak korban jiwa, tidak ditemukan siapa yang bersalah. Harus ada yang bertanggung jawab,” kata Didik kepada Liputan6.com, Jumat (17/3/2023).

Politikus Demokrat itu menyebut wajar bila rasa keadilan masyarakat terkoyak. Sebab, menurutnya harus ada orang yang bersalah dan bertanggung jawab atas tragedi tersebut.

“Kalau tidak ada yang bertanggung jawab, tentu akan mengoyak rasa keadilan publik,” kata dia.

Didik mengingatkan faktanya banyak korban baik jiwa maupun yang dirawat di rumah sakit. Ia meyakini pasti ada kesalahan dan pihak yang harus bertanggung jawab atas korban ratusan jiwa di tragedi tersebut.

“Putusan bebas ini justru membuat tanda tanya kita semua, apakah penyidiknya yang kurang cermat dalam melakukan penyidikan. Apakah jaksa penuntut yang juga tidak tepat dalam membuat dakwaan dan pembuktian? Dan apakah hakim memang kurang memperhatikan dan mempertimbangkan substansi dan keadilan dalam putusannya?,” ungkapnya.

Didik lantas meminta jaksa mengajukan banding atas putusan tersebut. “Lebih bijak bagi jaksa kecuali mengajukan banding atas putusan hakim tersebut. Dan ada baiknya Komisi Yudisial bisa memberikan atensi terhadap putusan tersebut,” pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Ketua PBNU: Prinsip Keadilan Tidak Terpenuhi

Vonis ringan terdakwa tragedi Kanjuruhan menuai sorotan banyak pihak. Salah satunya, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Alissa Wahid.

Putri Gus Dur ini menilai vonis ringan yang dijatuhkan majelis hakim dalam kasus tragedi Kanjuruhan mencederai rasa keadilan pada keluarga korban.

"Prinsip keadilan tidak terpenuhi oleh vonis majelis hakim kemarin. Hukuman pertama itu, kecil 1 tahun 5 bulan. Lalu yang dua dibebaskan," katanya, dikutip dari NU Online, Sabtu (18/3/2023).

Alissa mempertanyakan upaya polisi lepas tanggung jawab dalam tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur yang menewaskan lebih dari 130 orang.

"Itu 130 nyawa yang hilang, siapa yang harus bertanggung jawab? Harus ada yang bertanggung jawab karena ini bukan bencana alam tapi bencana manusia. Buatan manusia berarti ada penanggung jawab pengelolaan situasi," tegasnya.

Alissa mengungkapkan dampak yang terjadi jika penegak hukum lolos dari tanggung jawab yang seharusnya dilakukan.

"Aparat penegak hukumnya merasa semakin kuat, ah apa pun yang terjadi kami enggak akan kenapa-kenapa kok. Jadi rasa tanggung jawab terhadap situasi kondisi itu kemudian bisa menjadi sangat kurang bagi aparat hukumnya, ketika tidak dimintai pertanggungjawaban," tutur Alissa Wahid.

"Walaupun kita sadar tidak ada niat atau iktikad jahat, tapi ada yang bertanggung jawab dan harus menerima konsekuensi dari kelalaian dan kecerobohannya. Ini yang kemudian tidak terwakili dalam keputusan pengadilan," imbuhnya.

Alissa menilai kondisi yang terjadi pada masyarakat dampak dari vonis majelis terhadap terdakwa sudah mulai terlihat dari media sosial.

"Kalau dilihat dari media sosial saja pandangan warga itu sudah sangat miring. Banyak yang berkomentar sudah nggak ada, sudah tidak punya, sudah rendah, bukan semakin mengurangi lagi memang sudah minus," kata Alissa.

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian itu pun membeberkan sejumlah konsekuensi yang terjadi jika kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum berkurang, di antaranya masyarakat main hakim sendiri. Ia mencontohkan kasus penganiayaan yang dilakukan anak eks-pejabat pajak Mario Dandy kepada David Ozora.

"Nah ketika main hakim sendiri apalagi punya backingan dia tahu akan selamat seperti kasus Mario Dandy. Ini loh bentuk ketidakpercayaan hukum, demokrasi hanya bisa dengan nomokrasi," ucapnya.

Apabila penegakan hukum di negeri ini sudah tidak bisa dipercaya, kata Alissa, siapa lagi yang dapat dipercaya untuk menegakkan keadilan. "Dari rakyat hanya bisa dilaksanakan, diwujudkan kalau ada kedaulatan hukum, kalau ada kepercayaan kepada hukum," ucap Alissa.

3 dari 5 halaman

Komnas HAM Minta Jaksa Ajukan Banding

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM )meminta jaksa penuntut umum (JPU) melakukan upaya hukum lain seperti banding ataupun kasasi atas putusan para terdakwa perkara tragedi Kanjuruhan yang divonis ringan hingga bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya.

"Komnas HAM meminta dan mendorong Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melakukan upaya hukum lain seperti banding dan kasasi agar putusan tersebut dapat diperiksa ulang," kata Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Uli Parulian Sihombing.

"Tragedi Kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan Malang harus menjadi pengingat dan momentum bagi seluruh pemangku kepentingan agar mengarusutamakan hak asasi manusia dalam setiap pengambilan tindakan dan kebijakan," katanya.

"Hal ini guna menghindari tindakan-tindakan kekerasan yang dapat membahayakan nyawa manusia serta memastikan kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan," tambah dia.

Adapun, Uli menyampaikan dorongan bagi jaksa agar mengajukan kasasi adalah sebagai harapan guna memastikan keadilan tercapai bagi para korban dan keluarga korban.

"Komnas HAM berharap putusan kasasi ini nantinya dapat mengakomodasi restitusi, kompensasi serta rehabilitasi terhadap korban dan keluarganya," jelasnya.

Meski demikian, Uli menyampaikan pihaknya tetap menghormati proses hukum dan independensi kekuasaan kehakiman sebagaimana Pasal 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

Uli mengatakan putusan tersebut belum memberikan rasa keadilan bagi para korban dan keluarga mereka yang kehilangan nyawa serta mengalami luka-luka dalam tragedi tersebut. Dimana telah ada fakta menunjukkan ratusan orang tewas dalam tragedi tersebut.

"Peran para terdakwa dalam pengendalian massa hingga penembakan gas air mata yang menyebabkan kepanikan penonton yang berujung 135 orang meninggal dunia," ucap Uli.

Dia pun membeberkan tiga fakta di lapangan yang menjadi faktor penyebab jatuhnya ratusan korban jiwa dalam tragedi Kanjuruhan. Pertama adanya situasi lapangan stadion yang bisa dikendalikan dan dikuasai hingga pukul 22:08:56 WIB.

"Namun aparat memilih untuk mengeluarkan tembakan gas air mata," tuturnya.

Kemudian, lanjut Uli, fakta kedua yakni penembakan gas air mata yang dilakukan secara beruntun dalam jumlah banyak dan tidak ada upaya untuk menahan diri dari aparat kepolisian kala itu.

"Dengan menghentikan tembakan meskipun para penonton sebagian besar sudah keluar dari lapangan karena panik," jelasnya.

Termasuk, Uli mengungkap fakta ketiga adalah penembakan gas air mata tidak hanya sekedar menghalau penonton dari lapangan namun turut diarahkan untuk mengejar penonton dan ditembakkan ke arah tribun penonton.

"Terutama pada tribun 13 sehingga menambahkan kepanikan penonton dan membuat arus berdesakan untuk keluar stadion dari berbagai pintu dengan mata perih, kulit panas, dan dada terasa sesak," jelasnya

Padahal, Uli menilai ketiga terdakwa anggota polisi, mantan kepala Satuan Samapta AKP Bambang Sidik Achmadi dan mantan kepala Bagian Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, dan Danki 3 Brimob Polda Jatim Hasdarmawan bisa untuk mencegah tembakan gas air mata.

"Ketiga terdakwa mempunyai kapasitas untuk mencegah penembakan gas air mata, menghentikan penembakan yang sudah terjadi, serta mengendalikan lapangan dan para personel keamanan agar tidak melakukan tindakan yang berlebihan (excessive use of force) namun hal tersebut tidak dilakukan," ujarnya.

4 dari 5 halaman

Respons Mabes Polri

Terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan AKP Bambang Sidik Achmadi dinyatakan bebas dan tidak bersalah, pada sidang yang digelar pada Kamis 16 Maret 2023 di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur. Mabes Polri mengaku akan menghormati putusan pengadilan.

"Prinsipnya kami menghormati putusan pengadilan," kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi.

Terkait itu, Dedi menegaskan Polri sepenuhnya menghormati putusan dari majelis hakim. Karena perkara tersebut sudah masuk ranah pengadilan setelah berkas perkara sudah diserahkan Polri.

"Iya itu sudah masuk ranah pengadilan," tuturnya.

Sementara Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan keputusan hakim tersebut merupakan kewenangan yudikatif dan harus dihormati.

“(Putusan) kasus Kanjuruhan adalah kewenangan yudikatif, itu memang kewenangan pengadilan,” kata Ma’ruf.

Apabila ada pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan vonis tersebut, menurut Wapres, mereka dapat melakukan banding.

“Kalau nanti masyarakat merasa bahwa itu dianggap kurang memenuhi rasa keadilan, mungkin masyarakat bisa melakukan semacam upaya-upaya berikutnya, dan masih ada saya kira banding, bahkan juga mungkin kasasi,” terangnya.

Ma’ruf menegaskan bahwa pemerintah sebagai lembaga eksekutif tidak dapat mengintervensi putusan pengadilan.

“Karena itu, biar berjalan melalui proses konstitusional dan sesuai aturan yang ada,” pintanya.

5 dari 5 halaman

Keluarga Korban Kecewa

Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak) menyatakan bahwa keluarga korban Tragedi Kanjuruhan kecewa dengan vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya terhadap tiga orang terdakwa dari kepolisian.

Ketua Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan Imam Hidayat mengatakan, dengan vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim itu, menunjukkan tidak adanya keadilan bagi para korban meninggal dunia pada peristiwa Tragedi Kanjuruhan.

"Keluarga sudah menyatakan tidak puas, kecewa, tidak ada keadilan di sini. Tidak ada keadilan yang didapatkan oleh keluarga korban, apalagi ada yang (divonis) bebas," ucap Imam seperti dilansir Antara.

Imam menjelaskan, pihaknya dan keluarga korban khususnya yang diwakili oleh Tatak sejak awal telah menolak laporan model A Kanjuruhan yang disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya tersebut.

Menurutnya, pada laporan model A yang disidangkan di luar Kabupaten Malang tersebut, dinilai banyak kejanggalan. Kejanggalan tersebut, juga terlihat pada vonis yang dijatuhkan majelis hakim kepada para terdakwa.

"Sejak awal, kita sudah menolak laporan model A yang disidangkan di PN Surabaya, karena banyak kejanggalan," ujarnya.

Ia menambahkan, dalam proses hukum tersebut, hingga kini juga masih belum menyentuh aktor intelektual pada peristiwa yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia pada 1 Oktober 2022 tersebut.

"Kalau boleh usul, bebaskan semua. Mereka tidak terbukti pasal 359 (kelalaian), tapi terbukti bersalah pada pasal 338 (pembunuhan) seperti di laporan model B yang kita masukkan di Polres Malang," ujarnya.

Dalam waktu dekat, lanjutnya, Tatak berencana untuk mendatangi Polres Malang di Kepanjen, Kabupaten Malang untuk menanyakan kelanjutan laporan model B kasus Kanjuruhan yang hingga kini masih ditingkat penyelidikan.

Selain itu, Tatak juga berencana untuk menemui Kapolres Malang dalam waktu dekat untuk memastikan laporan model B kasus Kanjuruhan yang dimana sudah ada lima surat Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), namun masih tak ada hasil.

"Paling lambat seminggu atau dua minggu ini (akan bertemu Kapolres Malang)," katanya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.