Sukses

Perlawanan Jokowi Setelah Kalah di Meja Kasasi soal Kebakaran Hutan

MA menolak kasasi yang diajukan Jokowi dkk terkait kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalimantan pada 2015. Dengan begitu, Jokowi dan enam tergugat lainnya dinyatakan bersalah.

Namun pemerintah tidak tinggal diam menyikapi putusan MA yang diketok pada Selasa 16 Juli 2019 lalu. Pemerintahan Jokowi akan melakukan perlawanan hukum melalui Peninjauan Kembali (PK) ke MA.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Jaksa Agung HM Prasetyo selaku pengacara negara. Sebagai Tergugat II, Menteri LHK akan menunggu salinan putusan kasasi dari MA.

"Kita akan melakukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Dan saya akan koordinasi kepada Jaksa Agung sebagai pengacara negara, jadi kita akan lakukan," kata Siti Nurbaya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu 20 Juli 2019.

Siti mengatakan, akan mempelajari dokumen tersebut bersama beberapa pihak yang digugat. Dia juga mengklaim sudah mempunyai analisis tentang apa saja yang digugat.

"Ya saya harus lihat dulu dokumennya. Tapi walaupun seperti itu, kita punya analisis tentang apa-apa yang digugat, sebab tahun lalu kan ketika mereka menang di pengadilan tinggi kan, juga kita tahu juga," kata Siti.

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyatakan, pihaknya akan membela Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan melakukan PK atas putusan MA. Jaksa Agung akan mencarikan novum atau bukti baru terkait kasus Karhutla di Kalimantan.

"Kita akan cari novum hal-hal yang baru yang bisa kita sampaikan. Sehingga nanti dicerna dengan baik oleh pihak pemutus, MA diharapkan putusannya akan berbeda," kata Prasetyo di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (21/7/2019).

Dalam pengajuan PK, Jaksa Agung akan berkoordinasi dengan beberapa pihak terkait. Termasuk juga dengan kejaksaan-kejaksaan di bawahnya.

"Karena jaksa adalah pengacara negara dan kita tentunya akan mewakili negara di dalam," ujarnya.

Prasetyo menegaskan, apa yang ia lakukan bukan untuk membantu Jokowi secara pribadi. Tapi yang ia bela yakni Jokowi sebagai pemimpin negara.

"Pak Jokowi kan digugat bukan sebagai pribadi, tapi sebagai pemimpin negara. Nah kita harus tampil sebagai pengacara kepala negara dan pemerintahan," ucapnya menjelaskan.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Desak Pemerintah Kooperatif

Koalisi masyarakat peduli lingkungan mendesak pemerintah menjalankan putusan kasasi MA terkait kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan.

Arie Rompas, penggugat sekaligus aktivis dari Greenpeace Indonesia, mengingatkan pemerintah harus menunjukkan sikap kooperatif terhadap putusan hukum dalam kasus kebakaran hutan.

"Kami sarankan bagaimana hal-hal yang sifatnya urgent hari ini harus segera dieksekusi. Seharusnya pemerintah menunjukan komitmen dan menjalankan putusan ini, karena kami yakin pemerintah patuh atas hukum," ujar Arie dalam konferensi pers di Kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jakarta, Minggu (21/7/2019).

Ia juga mengingatkan agar putusan kasasi tidak dianggap sebagai ajang menang atau kalah bagi pemerintah. Sehingga jika kalah, pemerintah akan mengakukan Peninjauan Kembali (PK).

Arie menilai, jika pemerintah melakukan PK maka sama saja mengkhianati amanat undang-undang. Apalagi pemerintah sudah tiga kali kalah dalam kasus kebakaran hutan ini.

Di tingkat peradilan pertama, pemerintah kalah di Pengadilan Negeri Palangkaraya. Langkah hukum kembali diambil di tingkat banding, namun lagi-lagi pemerintah kalah. Terakhir, pemerintah mengajukan kasasi ke MA dan ditolak.

"Jangan sebatas melakukan PK, ini kemenangan pemerintah juga. Saat ini, Kalimantan Tengah diselimuti kabut asap. Kami catat dari 1 Juli sampai 8 Juli ada 25 titik api dan kalau itu dibiarkan akan terus bertambah," kata Arie menandaskan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati menuntut agar pemerintah membangun rumah sakit khusus paru dan dampak asap akibat kebakaran hutan. Hal ini menyusul ditolaknya permohonan kasasi pemerintah oleh MA.

"Tergugat (pemerintah) melakukan upaya yang menjamin keselamatan warga dari dampak kebakaran hutan dan lahan dengan mendirikan rumah sakit khusus paru dan dampak asap, membebaskan biaya korban asap, serta menyediakan tempat dan mekanisme evakuasi bagi korban dampak asap," ujar Nur, Jakarta, Minggu (21/7/2019).

Nur menegaskan bukan tanpa sebab ada tuntutan pendirian rumah sakit. Selama ini, pemerintah dianggap tidak merasa ada tanggung jawab atau beban terhadap masyarakat yang berobat. Padahal, menurut Nur, biaya akomodasi masyarakat terdampak asap merupakan tanggung jawab pemerintah.

"Selama ini merasa tidak terlalu terbebani karena biaya mengungsi dibayar masyarakat sendiri. Kalau semua masyarakat jadi korban bencana mengganti ongkos-ongkosnya mungkin membuat pemerintah berfikir," tandasnya.

Selain mendirikan rumah sakit, pemerintah juga diminta melakukan pengkajian dan evaluasi atas sejumlah izin lahan. Sekiranya, perlu ada reduksi izin jika penggunaan lahan berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.

3 dari 3 halaman

Perjalanan Kasus

Pada 16 Juli 2019, majelis hakim Mahkamah Agung yang terdiri dari hakim I Gusti Agung Sumanatha (ketua) dengan anggota Pri Pambudi Teguh dan Nurul Emiyah menolak pemohon Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kalimantan Tengah atas termohon Arie Rompas dan kawan-kawan dalam nomor perkara 3555 K/PDT/2018.

"Inti pokok yang seharusnya disimpulkan adalah kewajiban negara dalam melindungi warga negaranya, sehingga wajib segera menanggulangi dan menghentikan bencana alam/kebakaran hutan yang mengancam jiwa raga dan harta benda warganya, di mana gugatan a quo demi kepentingan umum, diharapkan negara segera melakukan upaya dan atau tindakan yang diperlukan," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah.

Dilansir Antara, kasus bermula saat terjadi kebakaran hebat pada 2015. Salah satu yang dilanda yaitu Kalimantan. Sekelompok masyarakat menggugat negara, mereka adalah Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin dan Mariaty.

Mereka menggugat Presiden RI (Tergugat I), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (Tergugat II), Menteri Pertanian RI (Tergugat III), Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional RI (Tergugat IV), Menteri Kesehatan RI (Tergugat V), Gubernur Kalimantan Tengah (Tergugat VI), dan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah (Tergugat VII).

Pada 22 Maret 2017, Pengadilan Negeri Palangkaraya memutuskan:

  1. Melakukan peninjauan ulang dan merevisi izin-izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan yang telah terbakar maupun belum terbakar berdasarkan pemenuhan kriteria penerbitan izin serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;
  2. Melakukan penegakan hukum lingkungan perdata, pidana maupun administrasi atas perusahan-perusahaan yang lahannya terjadi kebakaran;
  3. Membuat roadmap (peta jalan) pencegahan dini, penanggulangan dan pemulihan korban kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lingkungan;

Menghukum Presiden RI, Menteri LHK, Menteri Kesehatan dan Gubernur Kalimantan Tengah untuk:

  1. Mendirikan rumah sakit khusus paru dan penyakit lain akibat pencemaran udara asap di Provinsi Kalimantan Tengah yang dapat diakses gratis bagi korban asap;
  2. Memerintahkan seluruh rumah sakit daerah yang berada di wilayah provinsi Kalimantan Tengah membebaskan biaya pengobatan bagi masyarakat yang terkena dampak kabut asap di Provinsi Kalimantan Tengah;
  3. Membuat tempat evakuasi ruang bebas pencemaran guna antisipasi potensi kebakaran hutan dan lahan yang berakibat pencemaran udara asap;
  4. Menyiapkan petunjuk teknis evakuasi dan bekerjasama dengan lembaga lain untuk memastikan evakuasi berjalan lancar;

Menghukum Presiden RI, Menteri LHK, Gubernur Kalimantan Tengah untuk membuat:

  1. Peta kerawanan kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;
  2. Kebijakan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;
  3. Menghukum Menteri KLHK untuk segera melakukan revisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 41 Tahun 2011 tentang Standar Fasilitasi Sarana Dan Prasarana Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model;

Menghukum Menteri KLHK dan Gubernur Kalimantan Tengah untuk:

  1. Mengumumkan kepada publik lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya;
  2. Mengembangkan sistem keterbukaan informasi kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;
  3. Mengumumkan dana jaminan lingkungan hidup dan dana penanggulangan yang berasal perusahaan – perusahaan yang lahannya terbakar;
  4. Mengumumkan dana investasi pelestarian hutan dari perusahaan-perusahaan pemegang izin kehutanan;

Menghukum Gubernur Kalimantan Tengah untuk:

  1. Membuat tim khusus pencegahan dini kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang berbasis pada wilayah desa yang beranggotakan masyarakat lokal, untuk itu
  2. Mengalokasikan dana untuk operasional dan program tim;
  3. Melakukan pelatihan dan koordinasi secara berkala minimal setiap 4 bulan dalam satu tahun;
  4. Menyediakan peralatan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan;
  5. Menjadikan tim tersebut sebagai sumber informasi pencegahan dini dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah;
  6. Segera menyusun dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) bersama DPRD Kalimantan Tengah yang mengatur tentang Perlindungan Kawasan Lindung seperti diamanatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Atas putusan itu, Jokowi dkk tidak terima dan mengajukan banding. Namun Pengadilan Tinggi Palangkaraya menolak gugatan banding itu dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya pada 19 September 2017.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.