Sukses

HEADLINE: Potensi Sengketa Hasil Pilpres 2019, Tak Ada Pilihan Selain ke MK?

Kubu Prabowo mengklaim terjadi kecurangan dalam Pilpres 2019. Namun, mereka tak akan menggugat lewat MK. Alasannya?

Liputan6.com, Jakarta - Rekapitulasi nasional Pemilu 2019 Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendekati batas akhir. Rabu, 22 Mei 2019 nanti, rekapitulasi dirampungkan. Tiga hari berikutnya, KPU akan menetapkan hasil Pemilu 2019 baik pilpres maupun pileg.

Tak semua pihak menerima hasil tersebut. Negara pun memfasilitasi pihak-pihak yang keberatan dengan hasil perhitungan pemilu untuk mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Namun, pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memilih tak menempuh jalur itu. 

Kendati belum final, sikap BPN sampai hari ini, kemungkinan besar tidak akan membawa hasil pilpres ke MK. Paslon 02 akan membawa perkara itu ke Bawaslu.

Mereka berkaca pada Pilpres 2014, saat gugatan dan bukti yang dibawa Prabowo ditolak MK.

"Saya kira itu tadi jawabannya. Kemungkinan besar tidak akan ke MK, dengan catatan dari pemilu yang lalu. Jadi kita kembalikan ke masyarakat saja," kata Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Fadli Zon, di DPR, Jakarta, Jumat 17 Mei 2019.

Toh, kata dia, jalur ini dinilai tidak melanggar undang-undang. 

"Kami melakukan penolakan ini dengan cara-cara konstitusional, bukan dengan cara makar seperti narasi yang dibangun selama ini oleh kubu yang tidak bertanggung jawab," kata Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga Uno, Andre Rosiade, kepada Liputan6.com, Jumat. 

Kubu paslon 01 Jokowi-Ma'ruf Amin kemudian mempertanyakan sikap Prabowo. Sebab, tiga partai pengusung Prabowo-Sandi yakni Gerindra, Demokrat dan PAN, ikut dalam panitia khusus pembahasan RUU Pemilu yang dipimpin Lukman Edi. Perwakilan dari tiga partai itu bahkan duduk sebagai wakil ketua.

Wakil Ketua TKN, Arsul Sani menuturkan, jika ditarik ke belakang pada Juli 2017, Gerindra bahkan aktif dalam rapat pembahasannya. Pasal mengenai penyelesaian sengketa hasil pemilu pun diputuskan secara aklamasi. Tidak ada voting. 

"Yang dari Gerindra adalah Reza Patria. Jadi Gerindra ikut aktif memimpin rapat-rapat Pansus RUU Pemilu, termasuk ketika membicarakan bab tentang penyelesaian sengketa, di antara tentang penyelesaian sengketa hasil pemilu. Pasal-pasal dalam bab ini diputus dengan aklamasi, tidak dengan voting. Artinya semua sepakat, MK tempat untuk memeriksa dan mengadili sengketa hasil pemilu," kata Arsul kepada Liputan6.com.

Menurut dia, tak ada keraguan sedikitpun dari Gerindra soal imparsialitas dan independensi MK. "Oleh karena itu, kalau sekarang enggak percaya dengan MK dan merasa sia-sia kalau sengketa tersebut dibawa ke sana (MK), ya maka tentu ini akan jadi bahan tertawaan rakyat," lanjut dia.

MK Jalan Satu-satunya?

Mantan Ketua MK, Mahfud MD menjelaskan, tidak ada masalah ketika peserta Pilpres 2019 tidak mau menggunakan jalur gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, langkah selain MK, tidak akan memiliki efek ke hasil pemilu.

"Ya tidak apa-apa, kalau tak mau ke MK secara hukum selesai 25 Mei dan tak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali hukum. Misalnya, saat ditetapkan mereka tak datang, tak mau tanda tangan berita acara, ya selesai pemilu. Hukumnya, selesai tak ada masalah," tutur Mahfud saat ditemui di kediaman Megawati Soekarnoputri, Jakarta, Jumat 17 Mei 2019.

Oleh karena itu, sambung dia, jika tidak puas dengan hasil rekapitulasi KPU, bawa lah ke MK. Sesuai dengan ketentuan gugatan sengketa Pilpres dan Pileg 2019 ditunggu hingga 25 Mei nanti.

"Tanggal 2-28 Juni diputus. Apapun (putusannya) sudah selesai, tak ada jalan lain," kata Mahfud.

Dia yakin, masyarakat masih percaya kepada MK. Menurut dia, yang membangun opini MK tidak bisa dipercaya hanyalah segelintir orang yang sedang emosional.

"Siapa bilang tidak dipercaya? MK dipercaya rakyat. Yang tak percaya kan provokator yang sedikit jumlahnya atau orang yang sedang emosional dan jumlahnya sedikit kalau misal tak ke MK, ya selesai," tandas Mahfud.

Sementara, Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas menuturkan, Bawaslu bisa menangani dugaan kecurangan, selama pemilu masih dalam tahapan penghitungan suara. Jika KPU sudah menetapkan, artinya pihak yang bersangkutan harus melayangkan gugatan ke MK.

"Para pihak bisa mempermasalahkan itu. Tapi siapa yang menuduh, dia harus membuktikan. Tuduhan semacam ini biasanya bisa langsung ditangani Bawaslu, di setiap tahapan penghitungan. Tapi bisa juga dibawa lebih lanjut ke MK," kata Sirojudin kepada Liputan6.com.

MK Jamin Transparan

Juru Bicara MK, Fajar Laksono mengatakan, membawa atau tidak membawa perkara sengketa hasil pemilu, termasuk dalil dugaan kecurangan pemilu ke MK, merupakan hak peserta pemilu. Yang pasti, menurut UUD 1945, sudah ada mekanisme yang mengatur sengketa tersebut. Pada aturannya, MK merupakan lembaga negara yang berwenang memutus sengketa hasil pemilu.

"Menurut UUD 1945, perihal sengketa hasil pemilu sudah disediakan mekanismenya dan MK merupakan lembaga negara yang diberikan kewenangan memutus sengketa hasil pemilu, sekali lagi, termasuk jika di dalam permohonan itu ada dalil kecurangan yang arahnya mencederai nilai-nilai demokrasi dalam pemilu," kata Fajar ketika dihubungi Liputan6.com.

Dia pun menjamin peradilan di MK transparan. Publik bisa memantau peradilannya, apalagi memang dibuka untuk umum.

"Jadi yang diperlukan adalah argumentasi, saksi, alat bukti yang mampu meyakinkan, bukan sekedar klaim atau asumsi. Silakan publik melihat kembali penanganan perkara sengketa pilpres tahun-tahun sebelumnya, melalui proses persidangan yang terbuka, jelas, MK tak mungkin bisa memenangkan pihak yang memang seharusnya kalah atau sebaliknya, mengalahkan pihak yang seharusnya menang," tegas Fajar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Prabowo Tak Percaya Diri?

Kubu Prabowo beberapa kali menyebut telah terjadi kecurangan yang 'terstruktur, sistematis, dan masif' dalam Pemilu 2019. Inilah yang mendasari sikap mereka yang bakal menolak hasil rekapitulasi KPU.

Direktur Riset Populi Center Usep S Ahyar menilai, klaim kubu Prabowo tersebut mesti dikritis. Seharusnya, ketika mempermasalahkan pilpres, sikapnya ke pileg pun harus sama.

"Dan kalau memang mengkritisi kecurangan ya pileg juga sama kalau begitu, tapi ini kok pilpres saja yang dipermasalahkan," kata Usep.

Menurut dia, argumentasi kubu Prabowo, lemah tentang dugaan kecurangan tersebut. Dia pun tak yakin Prabowo optimistis bakal menang di MK.

"Mereka enggak percaya diri akan menang di MK, karena memang bangunan argumentasinya lemah atau tidak kokoh, termasuk hitungan tim IT yang mereka jadikan dasar. Kedua, selisih angka kemenangn 01 terlalu jauh, sekitar 10-12 persen dan jika terjadi pemungutan ulang atau terbukti curang di beberapa tempat, akan susah membalik keadaan," kata Usep kepada Liputan6.com, Jumat 17 Mei 2019.

"Ketiga, ingin menjaga logika tuduhan biar tetap konsisten dengan tuduhan kecurangan terstruktur, masif, sistematis dan brutal yang melibatkan seluruh komponen negara, sehingga tuntutan menganulir hasil pemilu menjadi logis," lanjut dia.

Pada dasarnya, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun mengatakan, penolakan hasil pemilu dari kontestan merupakan hak politik yang diperbolehkan oleh UU Pemilu. Apalagi jika yang bersangkutan memiliki data yang kuat soal dugaan kecurangan itu.

Akan tetapi, seperti kata Mahfud, menolak hasil pemilu tanpa melalui MK tidak memiliki dampak pada pelantikan. Tetapi jika memperkarakan melalui jalur konstitusi, maka KPU akan menunda pelantikan, menunggu MK akan bersidang sekitar 14 Juni 2019 dan membacakan putusannya pada 28 Juni 2019.

Hal ini sesuai dengan UU Pemilu No 7 tahun 2017. "Pasal 475 dijelaskan tentang tata cara pengajuan perkara hasil pilpres dalam lima ayat. Di antaranya ayat (1) menyebutkan, dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada MK dalam waktu paling lama tiga hari setelah penetapan hasil pemilu oleh KPU," Ubedilah ketika dihubungi Liputan6.com.

Hanya, dia khawatir, penolakan ini dapat berdampak pada lemahnya legitimasi hasil pemilu.

"Jika BPN terus menolak tanpa ke MK, maka dampaknya tentu secara politik dan psikologi politik hasil pemilu legitimasinya lemah, meski mungkin KPU akan jalan terus sesuai jadwal yang telah ditetapkannya. Jadi secara formal pemilu dinyatakan sah secara politik. Tetapi legitimasinya mengalami persoalan serius di hadapan publik rakyat Indonesia maupun dunia internasional," kata dia.

Pada sisi lain, militansi pendukung Prabowo akan meningkat untuk meyakini dan memperjuangkan pasangan Prabowo-Sandi sepanjang pemerintahan Jokowi. Tentunya, lanjut dia, situasi seperti ini bisa berdampak serius pada pemerintahan lima tahun ke depan.

"Jika BPN tidak membawanya ke MK maka dapat diasumsikan bahwa mereka sudah tidak percaya dengan MK sebagai mahkamah akhir penegak konstitusi dalam perkara politik. Ini artinya keterbelahan politik akan terus terjadi hingga pemilu berikutnya tahun 2024 dan karenanya pemerintahan akan sulit bekerja efektif atau akan selalu ada semacam gangguan politik," tutur Ubedilah.

3 dari 3 halaman

Tahapan Pengajuan Sengketa Pemilu di MK

Pada Rabu 15 Mei 2019 malam, KPU telah merampungkan 26 dari total 34 provinsi di seluruh Indonesia. Rekapitulasi nasional yang dilakukan KPU RI sejak Jumat 11 Mei 2019 lalu.

Targetnya, rekapitulasi suara Pemilu 2019 tingkat nasional rampung pada 22 Mei nanti.

Setelah rekapitulasi tingkat nasional dan penetapan hasil penghitungan suara Pileg dan Pilpres tingkat nasional selesai, KPU menunggu laporan sengketa hasil pemilu yang ditetapkan KPU pada 25 Mei. Sengketa hasil pemilu itu dapat diajukan ke ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh para kontestan yang tidak puas.

Berikut ini tahapan sengketa Pemilu 2019 di MK mulai dari tahap pengajuan permohonan hingga putusan:

1. Pengajuan permohonan

Berdasarkan Peraturan MK nomor 5 tahun 2018 tentang tahapan, kegiatan, dan jadwal penanganan perkara perselisihan hasil pemilu, tahapan dan kegiatan penanganan perkara meliputi sebelas tahapan.

Tahapan pertama adalah pengajuan permohonan pemohon yang dimulai pada 23 hingga 25 Mei untuk sengketa Pemilu Presiden. Sementara untuk sengketa Pemilu Legislatif pada 8 Mei hingga 25 Juni.

2. Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan

Setelah pengajuan permohonan, tahap selanjutnya adalah pemeriksaan kelengkapan permohonan pemohon kemudian dilanjutkan dengan perbaikan kelengkapan permohonan pemohon.

"Selanjutnya pencatatan permohonan pemohon Buku Registrasi Perkara Konstitusi untuk Pemilu Presiden dilaksanakan pada 11 Juni, sementara untuk Pemilu Legislatif ada 1 Juli," jelas Kepala Biro Humas dan Protokol Mahkamah Konstitusi (MK), Heru Setiawan, seperti dilansir Antara.

3. Sidang Pertama

Tahap selanjutnya penyampaian salinan permohonan dan pemberitahuan sidang pertama kepada pihak pemohon, pihak terkait, dan Bawaslu. Penyampaian masih dilakukan pada 11 Juni 2019.

Tahap selanjutnya adalah Sidang pendahuluan untuk Pemilu Presiden diagendakan digelar pada 14 Juni, sementara Pemilu Legislatif pada 9 Juli hingga 12 Juli 2019.

4. Sidang Pemeriksaan Saksi

Selanjutnya, pada tanggal 17 Juni sampai 21 Juni 2019 dijadwalkan pemeriksaan saksi dan alat bukti untuk Pemilu Presiden. Sedangkan untuk Pileg diagendakan pada 13 Juni-30 Juni 2019.

Kemudian, hakim konstitusi akan menggelar rapat permusyawaratan hakim pada 24-27 Juni 2019.

5. Pembacaan Putusan

Setelah hakim konstitusi selesai menggelar rapat permusyawaratan hakim, pada 28 Juni 2019 adalah sidang pengucapan putusan untuk perkara Pemilu Presiden (Pilpres), sementara untuk Pemilu Legislatif (Pileg) pada 6 Agustus hingga 9 Agustus.

Kemudian pada 18 Juni sampai 2 Juli 2019 tahap terakhir yakni penyerahan salinan putusan untuk Pemilihan umun presiden dan wakil presiden.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.