Sukses

Pengamat: Politik 'Dajjal' Muncul karena Perubahan Sistem

Masyarakat Indonesia memiliki ciri khas dalam pengambilan keputusan. Rakyat cenderung menentukannya berdasarkan musyawarah mufakat.

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Politik Karyo Wibobo mengatakan, pelontaran diksi "dajjal" dalam komunikasi politik muncul salah satunya karena perubahan sistem.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi bertajuk "Dajjal Politik, Politik Dajjal, Kesatuan dalam Politik" di Menteng, Jakarta, Jumat (21/12/2018) sore.

"Perubahan sistem pemilihan dari tidak langsung (mufakat) menjadi langsung mungkin. Ini merupakan lompatan yang mungkin terlalu cepat untuk indonesia," katanya.

Dalam konteks perubahan ini, Karyo menilai masyarakat Indonesia belum siap. Kondisi ini mempengaruhi perilaku politik, elite politik, dan perilaku masyarakat.

Menurut Karyo, masyarakat Indonesia memiliki ciri khas dalam pengambilan keputusan. Mereka cenderung menentukannya berdasarkan musyawarah mufakat.

Persoalan kedua, Karyo menilai transparansi informasi sudah kelewat batas. Banyak informasi tersebar melalui sosial media. "Faktor lain adalah keterbukaan informasi yang kebablasan,"

Karyo menandaskan, pertarungan politik sejauh ini jauh dari kepribadian bangsa Timur yang santun. Yang mendominasi adalah narasi yang berbau sarkastik.

"Pemilu tidak hanya mengedepankan syahwat politik saja, tapi juga edukasi kepada masyarakat," ujar Karyo.

Terlalu Responsif

Karyo dalam pernyataannya juga menyebut elite politik harus sabar dalam mengadapi situasi politik saat ini. Dia menyebutnya sebagai "kesabaran revolusioner".

"Kalau saya diserang dengan kata-kata yang tidak baik, saya tidak mau menyerang balik dengan kata-kata yang tidak baik juga. Saya coba melakukan counter yang lebih edukatif," katanya.

Kalau bersikap responsif, menurut Karyo, akan berpengaruh juga terhadap orang lain. Hal ini disinyalir juga bisa menimbulkan kegaduhan.

Perihal persoalan hukum yang jalan di tempat di antara situasi politik, Karyo menyebut itu sebagai keadaan "serba salah". Dengan keadaan ini, banyak yang perlu dipertimbangkan.

"Terkadang, penegak hukum juga berpikir politis. Karena pada saat kontestasi politik, itu menjadi pertimbangan. Ini problemnya," tandasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bukan Ciri Khas Indonesia

Sementara itu, akademisi Novita Damayanti menjelaskan, kondisi politik saat ini cukup mengkhawatirkan. Situasinya seolah bukan ciri khas Indonesia.

"Kesannya mengarah ke hal-hal yang justru menonjolkan sisi lain dari masyarakat Indonesia," kata Novita.

Novita menyebut, masyarakat Indonesia seolah tidak mengetahui batasan ujaran kebencian. Hal ini lah yang membuat sarkasme merajalela.

"Gimana caranya kita membuat komunikasi kembali seperti adat yang santun, pemilihan kata menjadi pertimbangan," ujar Novita.

Dalam komunikasi politik, Novita menilai saat ini substansi informasi yang disampaikan tidak tersampaikan menyeluruh. Ada maksud yang ditutupi.

"Informasi yang dimaksud sekarang maknanya terselubung," ujar Novita.

Kondisi saat ini, menurut Novita, melontarkan kata kasar sudah menjadi penyampaian lumrah. Hal ini yang perlu diperbaiki bersama.

"Sekarang sudah biasa sekali, memaki-maki menjadi hal yang sudah biasa. Ini yang harus kita luruskan bagaimana caranya," tandasnya.

Kendati demilian, Novita berharap kata-kata yang tidak baik jangan dibalas dengan hal serupa. Dari sisi komunikasi, kita harus menaruh perhatian.

"Bukan berarti kita cuek. Kita juga tidak boleh melakukan pembiaran. Ini harus menjadi perhatian," ujar Novita.

 

(Liputan6.com/Rifqi Aufal Sutisna)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.