Sukses

Cerita Uji Nyali Sang Jurnalis Menembus Tapal Batas

Jika salah sedikit, motor bisa masuk jurang. Saya juga melewati jembatan tipis sebanyak 20 buah, yang hanya pas untuk ukuran ban sepeda motor.

Liputan6.com, Entikong - Tak butuh waktu lama untuk berpikir saat saya ditawari untuk meliput kegiatan TNI-AD ke perbatasan Indonesia-Malaysia di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Langsung saja saat itu saya katakan "Siap" dan "Mau" kepada meja redaksi Liputan6.com, Selasa 23 Oktober 2018.

Ini adalah kali pertamanya saya mendapatkan penugasan luar kota ke daerah tapal perbatasan. Penasaran, bahagia, bingung, antusias, itulah perasaan yang berkecamuk di hati saya. Lebih dari itu, saya tak sabar untuk segera menapaki kaki di tapal batas.

"Kapan lagi saya bisa melihat wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Kesempatan yang enggak boleh disia-siakan ini," pikir saya dalam hati.

Jujur, saya pun deg-degan saat menerima penugasan ini. Bukan karena nyali ciut, namun saya sudah tak sabar menulis reportase serta melihat langsung kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan.

Hari yang saya nanti pun tiba, Minggu 28 Oktober 2018 sore, saya bersama rombongan, yang terdiri dari 4 perwakilan media dan 2 orang Dispenad bertolak ke Kalimantan Barat. Saya hanya membawa satu tas ransel yang berisi pakaian dan keperluan lain untuk empat hari ke depan selama di Kalimantan Barat.

Selama di Kota Khatulistiwa itu, saya mengunjungi dusun-dusun yang terisolasi, salah satunya adalah Dusun Gun Tembawang yang berada di Kecamatan Entikong. Menariknya, dusun tersebut berada di paling ujung Kalbar dan berbatasan langsung dengan Malaysia.

Medan yang harus dilalui untuk menembus tapal batas Indonesia. (Liputan6.com/Lizsa Egeham)

Bagi saya, perjalanan menembus dusun Gun Tembawang bukanlah hal mudah. Butuh, waktu tiga hingga empat jam. Saya memulai perjalanan ke dusun itu dengan menaiki mobil selama satu jam dari Kecamatan Entikong menuju Desa Mangkau.

Dari Desa Mangkau, saya masih harus melanjutkan perjalanan menggunakan speedboat melewati Sungai Sekayam. Jangan bayangkan speedboat besar, perahu ini hanya cukup diisi enam hingga tujuh orang, dengan mesin kecil di bagian belakang.

Hati saya pun was-was saat gelombang sungai datang. Lantaran tingginya ombak, perahu yang saya tumpangi ini pun teroleng-oleng dan pakaian saya basah tersembur air yang masuk ke dalam perahu. Catatan penting, jika bukan orang ahli, perahu ini bisa menabrak batu bahkan terbalik.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Naik Motor Trail

Setelah satu jam melewati sungai, tibalah saya di Desa Palapasang, Kecamatan Entikong di pemberhentian untuk menuju Dusun Gun Tembawang.

Kali ini, untuk menembus dusun itu, saya menaiki motor trail ditumpangi salah satu anggota TNI Satgas Yonif 511/DY yang bertugas di pos perbatasan. Jalan yang kami lalui adalah tanah merah yang bercampur kerikil.

"Kalau disini akses jalannya cuma motor saja," kata prajurit TNI itu.

Saya cukup terkejut dengan keliahannya membawa motor. Betapa tidak, saat para rombongan lain jatuh terperosok berkali-kali karena jalan yang jelek serta medan yang sulit, saya sama sekali tidak jatuh. Hebat sekali dia, saya berkata dalam hati. Saya pun selalu mengingatkannya untuk berhati-hati saat penurunan dan pendakian jalan.

Di perjalanan pun saya dan prajurit TNI itu sempat berbincang tentang kehidupan masyarakat di perbatasan. Menurut dia, masyarakat Gun Tembawang yang mayoritas petani lebih memilih untuk menjual hasil panennya ke Malaysia daripada ke Entikong.

"Masyarakat sini kalau jual hasil panen atau belanja lebih ke Malaysia, karena kan lebih dekat daripada ke kota. Disini kalau belanja juga ga pake rupiah, pakainya (mata uang) ringgit," katanya.

Pria asal Kalimantan Barat itu juga mengingatkan saya bahwa di dusun perbatasan itu hanya ada sinyal untuk telepon saja. Sinyal itu, kata dia, juga hilang timbul.

Motor trail menjadi moda transportasi utama untuk menembus daerah tapal batas Indonesia. (Liputan6.com/Lizsa Egeham)

"Kalau sinyal buat telepon Telkomsel aja yang ada. Ada tempatnya di pos, kalau (telepon) engga di sana enggak bisa atau kalau pindah tempat lagi telepon langsung terputus," terang dia.

Hujan pun turun saat saya baru setengah perjalanan menuju Dusun Gun Tembawang. Setelah meneduh, saya dan rombongan lain tetap melanjutkan perjalanan. Jalan dan medan menuju dusun perbatasan itu pun semakin sulit untuk dilalui.

Tak jarang, motor-motor tak bisa lewat dan harus didorong saat menanjak cukup tinggi. Bahkan, saya harus berjalan saat ada jalan menanjak dengan kemiringannya hampir 25 hingga 30 derajat. Sepanjang perjalanan, saya selalu berpesan kepada prajurit TNI itu untuk hati-hati setiap ada penurunan yang licin dan berlumpur.

Selain itu, apabila salah sedikit, motor bisa masuk jurang. Saya juga melewati jembatan tipis sebanyak 20 buah, yang hanya pas untuk ukuran ban sepeda motor. Sungguh, upaya yang luar biasa untuk mencapai tapal batas.

Selama berjibaku dengan lumpur dan bebatuan kurang lebih dua jam, saya akhirnya sampai di Desa Gun Tembawang. Salah satu rekan media yang pergi dengan saya bernama Josupriyanto mengaku terkejut dengan medan yang berat untuk menembus ke dusun itu.

"Saya juga jatuh saat melalui jalanan yang turun di situ. Jalanan di sana berlubang dan di daerah gunung jadi kanan kiri itu jurang. Untungnya enggak sampai tergelincir sampai ke dasar jurang hanya sampai di pinggir," ujar dia.

 

Saksikan tayangan video menarik ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.