Sukses

Pujan Karo: Silaturahim Bersama Leluhur

Setiap tahun Penganut Hindu Tengger tenggelam dalam keheningan merayakan Hari Raya Pujan Karo dengan mempersiapkan sesaji, melakukan perenungan, mengenang arwah para leluhur Tengger.

Liputan6.com, Probolinggo: Saat awan mengapung di punggung gunung, Karo mengapung di langit Bromo. Inilah bulan kedua dalam kalender Saka, moment emas Suku Tengger setelah ritual Kasada.

Penganut Hindu Tengger setiap tahunnya tenggelam dalam keheningan kilas balik di hari ke-15 Karo. Warga pun sibuk meyambut Hari Raya Karo dengan mempersiapkan sesaji di rumah. Saat ini memang bulan renungan, periode refleksi, mengenang arwah para leluhur Tengger.

Ratusan warga desa bergerak ke titik prosesi merayakan hari raya atau Pujan Karo tahun 1973 Saka. Mereka berjalan beriringan membawa sesaji menuju kantor desa. Bagi masyarakat Tengger, mengingat leluhur, tak bisa lepas dari segala isi jagat raya.

Prosesi dimulai saat sesepuh membaca kisah proses penciptaan alam atau Pawedalan Zakat. Sesepuh mencoba mengetuk ingatan mereka yang hadir akan pentingnya isi bumi, termasuk pula hewan yang disimbolisasikan dengan tanduk kerbau.

Pada titik inilah Sodoran dimulai, tarian klasik religius yang hanya bisa ditampilkan saat Pujan Karo. Tarian ini bermakna sebagai gambaran proses terciptanya manusia proses agung yang dipenuhi ritme kelembutan maha kuasa. Ritual ini bukan cuma untuk mereka yang hidup, sebab moyang Tengger juga hadir, berbaur menjadi satu. Mereka mensyukuri bersama segala anugerah yang tercurah dari sang maha pemberi.

Perayaan Hari Raya Karo tak cuma sehari, sebab rangkaian prosesi ini juga menjadi ajang reuni mereka yang masih hidup dengan arwah para leluhur. Warga tengger di tanah Bromo percaya menghormati Giri Kusuma dan Ni Buring Wulanjar, cikal bakal atau pendahulu Suku Tengger amatlah penting. Maka tak ada yang sia-sia bagi mereka yang menggelar prosesi Karo selama dua pekan lebih.

Marnoto misalnya, bersama keluarga, Ia menjadi salah satu contoh warga yang sibuk ketika Hari Raya Karo tiba. Ia menyiapkan sesaji sebagai sesembahan, bermunajat agar nikmat dilimpahkan sang Hyang Widi Yasa. Pada saat bersamaan, pemuka agama Tengger atau dukun melakukan Sesandhing atau Santi, menyambangi rumah warga untuk memanjat doa. Dari dua ribu rumah lebih, tak ada satu pun yang terlewatinya, termasuk rumah Marnoto.

Marnoto langsung melakukan Tetamping yakni meletakkan sesaji yang telah didoakan ke setiap tempat yang diyakini akan memancing berkah. Ia juga menaruh sesembahan di tempat suci atau Punden, memohon maaf atas segala kekeliruan kepada para leluhur. Ketika prosesi ini usai, warga pun saling berkunjung untuk mempererat tali silaturahim seraya melupakan setiap titik noda kesalahpahaman.

Hari Raya Karo adalah milik masyarakat Tengger. Kendati demikian, yang telah tiada tak akan pernah dilupakan. Mereka berbondong-bondong ke makam yang menjadi bagian penting prosesi Karo. Mereka percaya kehidupan adalah roda yang pada akhirnya akan berhenti berputar, berujung pada ketiadaan.

Meski memeluk agama Hindu, warga Tengger tak menjalani ritual Ngaben, mengkremasi jenazah, layaknya umat Hindu di Bali. Mereka meyakini menguburkan jenazah di tanah adalah celah terbaik menuju keabadian. Para peziarah menabur bunga di makam kerabat dan merapalkan doa-doa.

"Saat itulah, kami juga mengenang kerabat seraya memohon agar sang kuasa mengampuni segala dosa," ujar Kepala Dukun Tengger, Mujiono.

Ketika batas akhir Hari Raya Karo sampai, masyarakat Tengger pun kembali suci, terlahir kembali seperti bayi. Kini tiba saatnya menggelar Ujung-ujungan, sebuah atraksi saling pecut warga Tengger. Tak ada yang berpura-pura, mereka hanya memiliki peraturan sederhana, masing-masing bergantian saling cambuk dengan menggunakan rotan.

Peserta Restu sangat paham ujung-ujungan bukanlah sandiwara. Sabetan yang dilakukan sesungguhnya benar-benar melukai. Tapi ia tak peduli, sebab ini adalah pembelajaran saling meghargai lewat rasa sakit. Selain sebagai hiburan, atraksi ini memang sarat nilai. Jika tak ingin disakiti, jangan pernah sekalipun melukai. Sebab perih luka itu tak cuma di kulit tapi juga bisa bersemayam di hati.(ADI/ULF)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.