Sukses

Dorong Transisi Energi, PLN Bali Fokus Ubah Mindset Warga

Setelah sempat diterpa pandemi COVID-19 yang secara drastis menurunkan kebutuhan energi listrik di Bali, kondisi bisnis Perusahaan Listrik Negara (PLN) Bali telah pulih kembali.

Liputan6.com, Denpasar - Setelah sempat diterpa pandemi COVID-19 yang secara drastis menurunkan kebutuhan energi listrik di Bali, kondisi bisnis Perusahaan Listrik Negara (PLN) Bali telah pulih kembali.  

Kini PLN Bali pun sudah dapat berkonsentrasi pada masalah transisi energi sebagai agenda untuk mengatasi perubahan iklim. General Manager PLN Unit Distribusi Bali I Wayan Udayana menyebut, beban puncak terakhir bahkan sudah melampaui situasi sebelum pandemi.

“Tercapai pada 12 Oktober 2023 di malam hari hingga 1007 MW,” sebutnya dalam wawancara Selasa (17/10/2023). 

Sebelumnya, beban puncak tertinggi adalah pada tahun 2020 yakni mencapai 980 MW. Terkait beban puncak itu, Udayana menyebut, daya listrik yang dimiliki PLN Bali masih cukup handal karena masih ada cadangan sebesar 400 MW atau sekitar 30 persen dari daya listrik sebesar 1400 MW yang dimiliki. 

“Karena itu kita tidak khawatir kalau ada penambahan kebutuhan, termasuk untuk transisi energi,” sebutnya. 

Dalam skema transisi energi itu, PLN pun memiliki perhatian pada sisi hilir alias pola konsumsi energi. Khususnya pada lifestyle atau gaya hidup masyarakat dan pada sektor transportasi. Pemakaian alat rumah tangga berbasis energi listrik seperti kompor listrik mejadi bagian yang penting. Demikian pula dengan Electric Vihacle (EV) atau motor listrik.

“Ini ingin kita dorong ekosistemnya, di mana peran kami terutama dalam penyediaan EV Charging untuk masyakat,” katanya. 

Di sisi lain yang lebih penting, kata dia, adalah perubahan mindset masyarakat untuk melihat manfaat yang lebih besar dari penggunaan energi ini dari sisi  lingkungan dana kesehatan.

“Kalau di Bali, ini juga akan mendukung pariwisata yang berkualitas,” tegasnya. 

Tantangan lainnya adalah harga peralatan listrik yang dianggap masih lebih mahal.

“Dalam soal ini memang diperlukan regulasi dari pemerintah sehingga dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat,” ujarnya.

 

Bila gaya hidup masyarakat telah semakin massif, dia yakin bahwa harga jual peralatan listrik maupun EV akan menurun.  Sementara dari sisi hulu atau penyediaan pembangkit, menurutnya, PLN terus mengembangkan berbagai alternatif dengan memanfaatkan energi primer yang ada. Pembangunan Pembangkit Listrik Tanaga Surya (PLTS) direncanakan hingga 2030 bisa mencapai  150 MW. 

“Ini umumnya di Bali Timur dan Bali barat karena membutuhkan area yang luas, sementara di Bali Selatan sangat mahal harga tanahnya,” katanya.

Jenis energi primer lain yang sudah dimanfaatkan adalah energi mikro hidro dalam jumlah yang masih terbatas. Untuk mewujudkan transisi energi, pihaknya berharap dapat berkolaborasi dengan semua komponen masyarakat.

“Selama ini, kerjasama itulah yang sudah kita bangun untuk mengatasi masalah-masalah di Bali,” ujarnya. 

Dia mencontohkan upaya untuk mengurangi resiko gangguan listrik dari budaya permainan layang-layang di Bali. PLN kemudian menggandeng Majelis Desa Adat dan Pemprov Bali untuk mengeluarkan imbauan untuk tidak memainkan layang-layang pada saat ada pertemuan-pertemuan internasional di Bali seperti G20.

Ternyata imbauan ini cukup ampuh dan ditaati oleh warga. Untuk mendukung kolaborasi itu, PLN Bali juga melakukan penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) di bidang pendidikan, UMKM dan lingkungan.

“Ini sebagai bentuk tanggung jawab sosial kami, khususnya kepada warga yang berada di lingkungan sekitar kami,” jelasnya. 

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.