Sukses

Kidung Kaluhun Talaga Manggung, Seni Debus Asli Majalengka

Alunan gendang, gong, dan seruling berpadu membentuk komposisi golempang mempertebal semangat. Dua orang berpelindung kepala bersiap di medan laga.

Liputan6.com, Majalengka - Asap kemenyan mengepul. Doa dan mantra dalam bahasa sunda kuno dipanjatkan. Ini jadi penanda pertunjukkan debus segera dimulai.

Salah seorang pemain debus kesurupan. Prosesi ritual guna meminta izin kepada leluhur. Beradu nyali dengan ular jadi pembuka pertunjukkan. Sang pawang menggoda berbalas serangan berkali-kali dari ular ijo ekor merah, reptil berbisa mematikan.

Kali ini giliran raja ular yang menantang. Nihil serangan, king kobra ini seperti terhipnotis dan menari nari di tubuh sang pawang. Pertunjukkan belum selesai, berbagai atraksi berbahaya lainnya dipertontonkan. Sejumlah benda tajam ditusuk dan disayat-sayat ke badan. Namun tak ada luka sedikit pun pada atraksi debus klasik ini.

Inilah pembeda aksi debus di Majalengka. Silat ujungan saling memukul menggunakan bilah rotan menjadi aksi yang dinanti penonton. Kesan menakutkan luntur dalam keseharian Dedi Ahdiat, pendiri Padepoka Ciraga Braja Manggala salah satu pelestari kesenian debus di Majalengka.

Cerita mengalir indah dengan lantunan sunda. Inilah Gaok, seni tutur khas Majalengka. Baris kata dari naskah kuno Talaga Manggung berkisah tentang Kerajaan Talaga yang tak terpisahkan dari sejarah Tatar Parahyangan. Dedi tak ketinggalan berupaya menyingkap asal muasal Majalengka. Bukan berdasar naskah, melainkan mengorek informasi dalam dimensi metafisika.

Aneka benda kuno menguatkan cerita bahwa pernah berdiri kerajaan di Majalengka. Guci, Gamelan, hingga artefak batu menyimpan cerita tentang Kerajaan Talaga. Berbagai koleksi benda pusaka juga masih terjaga. Begitupun dengan rotan yang bukan sembarang rotan. Ini menjadi bukti seni ujungan, seni bela diri paling pupuler di masa Kerajaan Telaga.

Bukan sebatas cerita tanpa bukti, komunitas Majalengka baheula menelusuri jejak-jejak kerajaan yang berdiri pada abad 15 masehi ini. Nana Rohmana dan kawan-kawan secara swadaya konsisten menggali bukti sejarah sejak empat tahun silam. Dari sawah hingga kaki bukit komunitas pecinta sejarah ini menjelajah demi merangkai serpihan kisah.

Kisah berdasarkan lisan juga bukti dari puluhan benda bersejarah di bumi Majalengka. Pagi belum terlalu terik, muda mudi ini bergegas dengan segala tetek bengek keperluan. Hari di pengujung pekan jadi momen berlatih rutin bagi para anggota padepokan pencak silat ujungan bunilaya kuda putih. Doa beserta harap tak lupa dipanjatkan.

Semangat bahu-membahu terpancar dari peralatan dan perlengkapan yang diusung. Maklumlah, tempat berlatih harus ditempuh satu kilometer berjalan kaki dari padepokan. Desa Cengal, Kabupaten Majalengka tiga abad silam dikenal sebagai wilayah para jawara. Jadi barometer seni bela diri di barat tatar sunda.

Alunan gendang, gong, dan seruling berpadu membentuk komposisi golempang mempertebal semangat. Dua orang berpelindung kepala bersiap di medan laga. Tak ketinggalan rotan sebagai senjata. Dahulu, ujung rotan dibubuhi racun yang berguna untuk melumpuhkan lawan. Berpondasi pada silat merupakan dasar kemampuan pemain ujungan.

Satu per satu anggota padepokan uji tanding yang terdiri dari tiga hingga lima ronde. Seni bela diri tradisi yang identik dengan masyarakat agraris kota angin di kaki Gunung Ciremai. Sempat dilarang karena berujung tarung bebas di jalanan, seni bela diri ujungan kini kembali menjadi primadona. Seni pertunjukan yang jadi penghibur kaum petani kota angin.