Sukses

Narkoba di Balik Penelantaran 5 Anak di Cibubur

Kelima kakak beradik itu mengalami kondisi traumatik yang sangat akut. Bahkan mereka takut bertemu orangtuanya dan sembunyi di kolong meja.

Liputan6.com, Jakarta - Puluhan bocah larut mendengar kisah kuda pemberani dari pendongeng Kampung Dongeng, Kak Iki Yosan. Di antara puluhan anak itu, terlihat bocah D dan 4 saudarinya menyimak serius. Bocah-bocah itu tampak ceria, meski tanpa ayah bunda dan saudara dekat yang menemani mereka di Safe House SOS Desa Taruna Indonesia, Jalan Karya Bhakti, Cibubur, Jakarta Timur.

Kecuali AL, gadis kecil yang baru berusia 5 tahun itu hanya termenung di pangkuan pria berkuncir kuda, Arist Merdeka Sirait. Entah apa yang tengah dipikirkannya. Namun Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka terus membujuk gadis kecil itu agar mau berbaur dengan anak-anak yang lain.

Al merupakan adik D (8 tahun). Keduanya bersama 3 saudari mereka yang lain, L dan C (kembar umur 10 tahun), DN (4 tahun) menghuni Safe House SOS sejak Kamis 14 Mei 2015. Mereka diboyong ke rumah perlindungan anak itu oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) setelah diketahui ditelantarkan oleh orang tuanya, UP dan NS.   

Kelimanya kini tengah menjalani pemulihan psikologi akibat trauma mendalam yang dialami mereka. "Anak-anak itu adalah aset besar yang harus dilindungi, bahkan negara juga. Kasus penelantaran itu merupakan kesalahan besar," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise saat mengunjungi anak-anak malang itu di Safe House, Senin 18 Mei 2015.

Kisah pilu kehidupan bocah D dan 4 saudarinya diketahui publik, setelah seorang tetangga mereka mem-posting di media sosial dan melapor ke polisi dan KPAI tentang bocah D yang ditelantarkan orangtuanya. Selama sebulan, bocah D dilaporkan luntang lantung di sekitar tempat tinggalnya, kawasan perumahan Citra Gran Cibubur, Jawa Barat, karena tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah oleh orangtuanya.

Saat polisi, KPAI, dan petugas dari Kementerian Sosial mendobrak rumah orangtua D, polisi menemukan 4 anak perempuan lainnya yang juga ditelantarkan. "Darah daging sendiri ditelantarkan, itu sangat tidak terpuji sama sekali. Harus dihukum sesuai hukum yang berlaku," ucap Yohana geram.

Akibat perlakuan keras dan ditelantarkan sejak lama, Arist mengungkapkan, kelima kakak beradik itu mengalami kondisi traumatik yang sangat akut. Bahkan, kelima bocah itu saat ini takut bertemu orangtuanya. Perilaku mereka pun, lanjut Arist, menunjukkan ketakutan yang berlebihan.

"Takut dia bertemu orangtuanya. Ketika ada psikolog saja awalnya masih sembunyi di kolong meja. Makanya sekarang masih dibina psikologisnya," tutur dia.

Untuk menghilangkan trauma dan  memulihkan kondisi psikologi mereka, kelima anak tersebut dibaurkan dengan anak-anak yang lain. Mereka juga dikenalkan lagi dengan permainan dan lingkungan anak-anak karena telah lama tidak mengalami keceriaan yang seyogianya didapat bocah seusia mereka.

"Supaya cepat pulih lewat sosialisasi dengan anak seusianya. Sudah dikenalkan juga sama sekolah sekitar sini, sekalipun nggak belajar di sana," pungkas Arist.

Gara-gara Sabu

Suami istri tertangkap saat pesta sabu. Keduanya merupakan pegawai di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Liputan6.com/Bima Firmansyah)

Berbeda dengan kondisi anak-anaknya yang dibanjiri perhatian oleh banyak pihak, UP dan NS kini harus bersiap menerima hukuman akibat perbuatan keji yang telah mereka perbuat pada anak-anaknya.

Pasangan suami istri itu telah ditetapkan sebagai tersangka kasus kepemilikan dan penggunaan narkoba. Barang buktinya, narkoba jenis sabu seberat 0,58 gram yang ditemukan di rumah mereka di Citra Gran, Cibubur, saat digerebek polisi pekan lalu.

Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Pol Eko Daniyanto mengatakan, kedua pasutri tersebut menjadi tersangka sejak Minggu 17 Mei 2015. Keduanya juga telah ditahan setelah status tersangka resmi dikeluarkan polisi.

"Kami sudah melakukan (penahanan), sudah saya teken surat (penahanannya)," ucap Eko. Dia mengaku belum mengetahui secara pasti alasan UP dan NS menggunakan narkoba jenis sabu. Namun ia menduga, penggunaan sabu ini berdampak pada tindakan penelantaran anak yang dilakukan keduanya.

Dengan demikian, keduanya bakal dikenakan Pasal 112 dan114 subsider 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun penjara.

Berdasarkan hasil tes, urine orangtua 5 anak itu positif mengandung afetamin dan metaphetamin. Artinya positif menggunakan narkotika jenis sabu.

"Pada Jumat 15 Mei 2015 pukul 12.00 WIB, kita periksa urinenya. Ada 6 item yang kita tes, dua-duanya positif afetamin dan metaphetamin. Artinya memang sesuai dengan barang bukti yang didapatkan," ujar Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya Kombes Pol Musyafak.

Untuk membuktikan suami-istri itu menggunakan barang haram tersebut, polisi tak hanya melakukan tes urine tapi juga akan menguji darah kedua tersangka. Nantinya, hasil tes tersebut akan dikirim ke Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri untuk keperluan legalitas projusticia.

Kendati hanya sebagai pengguna narkoba dan bukan pengedar, UP dan NS yang mengaku menggunakan narkoba sejak 6 bulan lalu, akan tetap diproses secara hukum, meski nanti ada permintaan dari keluarga untuk merehabilitasi keduanya. "Kalau semua direhab tanpa ada proses, mohon maaf, jangankan 3 bulan, 1 tahun (direhab) tidak mungkin sembuh," jelas Kombes Pol Eko.

Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya, Kombes Pol Musyafak, menjelaskan rehabilitasi yang kebanyakan diperuntukkan bagi tersangka kasus narkotika adalah rehabilitasi secara medis. Karena itu, rehabilitasi tidak semata-mata hanya menempatkan tersangka narkotika ke tempat penampungan rehabilitasi.

"Rehab medis ada dua, yakni rawat jalan dan rawat inap. Kalau dinilai dari tim assessment, dia addict atau tidak. Lalu jika pemakai pemula, harus rawat jalan. Jadi bukan berarti direhab langsung dibawa ke Lido. Tidak seperti itu. Ada proses," papar Musyafak.

Hak Asuh Dicabut

Pasutri UP dan NS tidak hanya akan menjalani hukuman pidana. Keduanya kemungkinan juga akan kehilangan hak asuh atas ke-5 anak mereka. Menteri Yohana telah mengatakan mendukung upaya pengalihan hak asuh kelima bocah itu ke keluarga dekat mereka.

"Iya saya mendorong untuk itu. Bagaimana nanti agar diserahkan atau dialihkan hak asuhnya kepada keluarga besar atau keluarga dekat," ujar Yohana di Safe House SOS Desa Taruna Indonesia.

Meski demikian, pengalihan hak asuh anak tetap harus melewati serangkaian prosedur dan pemeriksaan yang ketat. Banyak aspek yang akan dinilai untuk menentukan layak atau tidaknya sebuah keluarga mengurus anak terlantar.

Hak asuh UP dan NS terhadap 5 anaknya kemungkinan besar akan dicabut karena dari pengakuan yang diperoleh Arist Merdeka Sirait, dua anak pertama yakni kembar L dan C (10 tahun), kelahirannya ternyata tidak diinginkan oleh orangtuanya.

"Itu yang kembar kelahirannya tidak diinginkan oleh orangtuanya, terutama ibunya. Makanya dititipkan ke mertuanya," ungkap Arist.

Dua anak perempuan itu, ujar Arist, setelah dilahirkan langsung diserahkan ke kakek neneknya. Padahal saat mereka lahir, neneknya sudah berusia 70 tahun. Setelah saudara kembar itu dikembalikan, hubungan keluarga menjadi terputus dan keluarga dilarang mengunjungi rumah di kompleks Citra Gran.

Kenyataan inilah yang menggugah Arist untuk mencabut hak asuh UP dan NS dan mengalihkan hak asuh anak-anak itu ke keluarga besar mereka. Arist mengupayakan hal itu bisa dilakukan, agar kelima anak tersebut tidak lagi bersama orangtuanya yang dinilai memiliki perilaku menyimpang.

Tak ingin kasus penelantaran anak kembali terjadi, Menteri Yohana berencana membentuk satuan tugas (satgas) untuk menangani kasus anak telantar.

"Satgas apalah nanti dicarikan namanya yang tepat. Agar penanganan ini cepat. Kasihan anak-anak lain yang mengalami hal serupa," ujar Yohana di safe house SOS, Cibubur, Jakarta Timur, Senin (18/5/2015).

Menurut Yohana, satgas tersebut nanti akan melibatkan pihak-pihak terkait. "Semua pihak yang terkait kita libatkan. Di sini sudah ada KPAI, ada Kemensos, nanti juga perlu Polwan, ibu-ibu PKK, bahkan ibu Bhayangkari juga," ucap menteri asal Papua itu.

Tak hanya itu, lanjut Yohana, pemuka agama, pemuka adat juga akan dilibatkan. "Karena mereka yang bersinggungan langsung dengan masyarakat dan memantau isu sosial di sekitar." (Sun/Ans)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini