Sukses

Jadi Tersangka KPK, Bupati Lombok Barat Dicegah ke Luar Negeri

Bupati Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Zaini Arony dicegah ke luar negeri untuk masa 6 bulan ke depan.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Zaini Arony (ZAR) sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan proses permohonan izin kawasan wisata di Lombok Barat. Zaini menjabat Bupati Lombok Barat selama 2 periode, 2009-2014 dan 2014-2019.

Menyusul status tersangka itu, politikus Partai Golkar itu pun dicegah bepergian ke luar negeri. KPK mengirim surat pencegahan ke luar negeri ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM sejak 5 Desember 2014.

"Sprindik (surat perintah penyidikan) keluar 5 Desember. Pada waktu yang tidak lama setelah sprindik dikeluarkan, KPK juga sudah mengirim surat cegah ke Imigrasi atas nama ZAR agar tidak bepergian ke luar," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi SP di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (12/12/2014).

Johan menjelaskan, Zaini dicegah ke luar negeri untuk masa 6 bulan ke depan. Tujuannya untuk memudahkan penyidikan, agar ketika dilakukan pemeriksaan terkait kasus ini, Zaini tidak sedang berada di luar negeri.

KPK sebelumnya menetapkan Bupati Lombok Barat, Zaini Arony sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan‎ terkait proses permohonan izin pengembangan kawasan wisata di Lombok Barat. Penetapan tersangka politikus Partai Golkar ini setelah KPK menemukan 2 alat bukti yang cukup usai menggelar ekspose pada kasus ini.

‎Johan menjelaskan, Zaini diduga melakukan pemerasan terhadap seorang pengusaha, yang hendak mengembangkan kawasan wisata di Lombok Barat. Namun, Johan tidak mau membeberkan identitas pengusaha dan nama perusahaan yang diperas tersebut.

Kata Johan, Zaini yang menjabat Bupati Lombok Barat selama 2 periode -- 2009-2014 dan 2014-2019‎ -- itu diduga telah melakukan pemerasan beberapa kali. Sebab, uang yang diduga diterima Zaini mencapai sekitar Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar.

Zaini dijerat dengan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 421 KUHP Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (Rmn/Ans)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.