Sukses

Kesiagaan di Balik Ancaman Tsunami

Survei BNPB menyebutkan, ada sekitar 5 juta penduduk yang tinggal di wilayah rawan tsunami.

Liputan6.com, Jakarta - Pagi itu, tepatnya pada Sabtu 15 November pukul 09.31.40 WIB, warga di wilayah Halmahera, Maluku Utara tiba-tiba berhamburan (2134366) ke luar rumah.

Mereka dikagetkan dengan gempa berkekuatan 7,3 skala Richter (SR) dengan kedalaman 10 km. Gempa tersebut berlokasi di 1,94 Lintang Utara - 126,50 Bujur Timur.

Pada pukul 09.31.44 WIB gempa susulan berkekuatan 7,3 SR kembali terjadi dengan kedalaman 48 km di 1,95 Lintang Utara - 126,46 Bujur Timur. Posisinya 137 km Barat Laut Halmahera Barat atau 148 km Tenggara Siautagulandang Biaro, Sulawesi Utara.

Tak hanya itu, gempa susulan juga kembali terjadi pada pukul 09.43.12 WIB dengan kekuatan 5 SR. Atau selisih 12 menit dari gempa kedua, dengan lokasinya 1,99 Lintang Utara - 126,52 Bujur Timur. Atau berada 133 km Barat Laut Halmahera Barat, Maluku Utara, 151 km Tenggara Siautagulandang Biaro, Sulawesi Utara.

Gempa dirasakan sangat kuat di wilayah Sitaro. Guncangan dirasakan selama 5-7 detik. Di Ternate dan Kabupaten Sula, gempa juga dirasakan kuat. Di Manado gempa dirasakan cukup kuat selama 5-7 detik.

"Info dari Halmahera Barat, gempa terasa keras dan di sepanjang pantai pesisir belum ada laporan tsunami hingga 10.45 WIB. Belum ada laporan kerusakan," ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB‎) Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulisnya.

Akibat gempa tersebut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan peringatan potensi tsunami yang meliputi wilayah Maluku Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, dan Papua Barat.

Kendati warga tak perlu khawatir karena ini baru potensi dan belum tentu akan terjadi tsunami. Namun warga harus tetap waspada. BNPB juga mengimbau agar warga menjauhi sekitar pantai.

Selang beberapa menit kemudian, gempa kembali mengguncang wilayah Provinsi Sulawesi Utara bagian selatan, tepatnya di wilayah Bolaang Mongondow. Namun gempa ini tidak berpotensi tsunami.

BMKG mencatat, gempa terjadi pukul 10.08.05 WIB, dengan kekuatan 6,3 skala Richter. Lokasinya 0,39 Lintang Selatan - 124,1 Bujur Timur dengan kedalaman 59 km.

Beberapa hari sebelumnya, atau tepatnya pada 12 November gempa berkekuatan 5,2 skala Richter (SR) juga menggoyang Maluku Tenggara Barat. Gempa ini terjadi pada pukul 04.22 WIB, di 212 km Barat Laut Maluku Tenggara Barat, 6.88 Lintang Selatan, 129.60 Bujur Timur dengan kedalaman 197 km di bawah permukaan air laut. Namun tidak berpotensi tsunami.

Di tengah kepanikan bahaya tsunami, pada pukul 10:31:40 Wita, Kota Manado, Sulawesi Utara diguyur hujan deras. Bahkan, hujan yang mengguyur cukup lama tersebut mengakibatkan sejumlah tempat terendam air. Kepanikan mereka bertambah.

"Hujan yang mengguyur Kota Manado hingga air naik setinggi lutut orang dewasa," kata warga Stenly di Manado, Sabtu 15 November.

Hal senada diungkapkan Syeni. Warga Paal 2 Kota Manado itu mengaku takut karena usai gempa bumi mengguncang, Manado dan sekitarnya diikuti hujan deras.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat menyatakan, ada beberapa tempat yang berpotensi tsunami. Antara lain di wilayah Halmahera, Halmahera Utara, Kepulauan Sula, Maluku Utara, Bolaangmongondow Bagian Selatan, Kepulauan Sangihe.

Lalu Kepulauan Talaud, Minahasa Bagian Selatan, Minahasa Selatan Bagian Selatan, Minahasa-Utara Bagian Selatan, dan Minahasa-Utara Bagian Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo Bagian Utara, Buru, Seram Bagian Barat Maluku. Di Halmahera-Selatan dan Kota-Ternate Maluku Utara juga dalam status Waspada.

Akibat 3 gempa yang melanda Halmahera Barat, Maluku Utara dan 1 gempa mengguncang Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, BNPB menyatakan terjadi tsunami. Namun gelombang tsunami tersebut diprediksi hanya setinggi 1 meter.

"Berdasarkan analisis dari Pacific Disaster Center, tsunami dengan tinggi gelombang 0,3-1 meter akan mencapai beberapa wilayah pesisir Indonesia," kata Sutopo.

Penyebab Gempa

BNPB menyatakan belum ada laporan kerusakan dan tsunami hingga pukul 10.25 WIB. Menjelang sore hari, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) akhirnya mencabut peringatan dini tsunami, karena tsunami berpotensi kecil.

"Yaitu di Jailolo 0,09 meter pukul 09.43 WIB, di Manado 0,03 meter pukul 09.55 WIB, dan di Tobelo 0,01 meter pukul 10.24 WIB," kata Sutopo.

Berdasarkan analisis dari Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI) Irwan Meilano dan Masyhur Irsyam, gempa 7,3 SR terjadi akibat subduksi ganda dari lempeng laut Filipina di timur dan Eurasia di barat pada lempeng Laut Maluku.

Subduksi ganda menghasilkan kompresi barat timur dengan laju 4 cm per tahun. Gempa di 2 provinsi tersebut memiliki mekanisme sesar naik.

Sejarah kegempaan yang pernah terjadi adalah gempa tsunami pada 1932 dengan kekuatan 8,3 SR dan gempa pada 1858 dengan kekuatan 7,4 SR yang juga menghasilkan tsunami.

Pada peta gempa terbaru, wilayah tersebut memiliki percepatan tinggi. Saat ada peringatan dini, maka waktu yang tersedia untuk evakuasi hanya rata-rata 30 menit setelah gempa.

"Sumber tsunami di Indonesia adalah gempa lokal sehingga waktu evakuasi hanya singkat. Jika ada kepanikan adalah hal yang wajar karena masyarakat langsung merasakan guncangan gempa. Masyarakat juga harus segera mencari tempat yang tinggi untuk evakuasi sementara jika ada peringatan tsunami," tutur Sutopo.

Reaksi Jokowi

Gempa yang melanda Provinsi Maluku Utara dan Sulawesi Utara ini langsung mendapat reaksi dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yang tengah melakukan beberapa konferensi tingkat tinggi ke beberapa negara.

Jokowi menanyakan kabar gempa tersebut melalui Kepala BNPB Syamsul Maarif. Laporan pun disampaikan kepada Jokowi bahwa semua sudah tertangani cukup baik, dari mulai penanggulangan hingga proses evakuasi jika terjadi tsunami akibat gempa tersebut.

"Presiden mengatakan, 'Alhamdulillah jika semua sudah tertangani dengan baik dan cepat. Tadi gubernur sudah melaporkan juga kondisi yang ada di lapangan. Jika ada hal-hal yang diperlukan segera saja dikirim bantuan ke masyarakat'," ujar Sutopo mengutip pernyataan Jokowi.

Reaksi juga dilakukan Kementerian Sosial. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa malam harinya langsung mengerahkan 2 tim ke lokasi terdampak gempa. Kedua tim itu dibagi ke-2 tempat, Ternate dan Manado. Pihaknya juga sudah melakukan penanggulangan pertama khususnya untuk para pengungsi.

"Hal-hal yang berkaitan dengan pengungsian yang pertama dapur umum. Kalau sampai 100 ton, itu kewenangan bisa bupati, kalau 200 ton di cadangan pangan nasional ini kewenangan gubernur, kalau lebih itu kewenangan ada di kemensos," jelas mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu.

Saat kejadian, Khofifah kebetulan sedang berada di Makassar. Saat itu juga dia langsung mengkoordinasikan untuk melakukan penanggulangan secara cepat.

"Makassar itu salah satu tempat stok kita, terkait tugas perlindungan karena itu tugas Kemensos. Perlindungan, kebutuhan tenda matras ada di maksaar, saya sedang mengkoordinasikan," tutup Mensos Khofifah.

Perhatian Serius

Sutopo mengatakan, ada sekitar 5 juta penduduk yang tinggal di wilayah rawan tsunami. Sebab Indonesia tergolong wilayah yang rawan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.

"Memang Indonesia rawan tsunami. Ada sekitar 5 juta jiwa penduduk tinggal di daerah rawan sedang-tinggi dari tsunami. Antara 1629-2014 ada 174 tsunami di Indonesia," ujar Sutopo dalam keterangan tertulisnya, Minggu 16 November.

Sutopo mengatakan, berdasarkan survai saat gempa 8,5 SR dan tsunami di Aceh pada 11 April 2012, rata-rata 79% masyarakat keluar rumah saat gempa dan 21% tetap berada di rumah, 63% tidak mendengar sirine tsunami, 75% masyarakat evakuasi dengan membawa kendaraan sehingga macet, dan 71% masyarakat belum pernah ikut latihan.

"Kita masih ingat tsunami di Flores pada 12 Desember 1992 menyebabkan 2.150 orang tewas dan hilang. Begitu juga tsunami di Banyuwangi pada 1994, juga menelan 238 korban jiwa. Di Biak pada 1996 menyebabkan 60 orang tewas dan 134 orang hilang," papar Sutopo.

"Mega tsunami di Aceh pada 2004 menyebabkan 283.000 orang tewas dan hilang, dan di Pangandaran pada 2006 ada 600 orang tewas," imbuh dia.

Sebelum terjadi tsunami, ada istilah golden time atau waktu yang tersedia untuk evakuasi yang rata-rata hanya memiliki waktu sekitar 30 menit setelah gempa bumi. Ini jika sumber gempanya lokal berada di sekitar Indonesia.

"Tapi jika gempanya jauh, seperti saat tsunami di Sendai Jepang pada 2011, waktunya bisa sekitar 5 jam. Dengan waktu 30 menit itu, pasti terjadi kepanikan. Itu berlaku universal. Di Jepang pun masyarakat juga panik," ujar dia.
 
Di sisi lain, infrastruktur peringatan dini tsunami masih terbatas. Dari 4.500 Km panjang pantai yang rawan tsunami hanya ada 38 sirine tsunami dari kebutuhan 1.000 sirine. Shelter evakuasi hanya ada sekitar 50 unit dari kebutuhan 2.500 unit.
 
"Ini adalah fakta. Tsunami harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan pemda guna melindungi masyarakat dari ancaman tsunami," tandas Sutopo.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini