Sukses

Pesan Mengerikan Anak pada Ibunya Saat Pesawat Singapore Airlines Alami Turbulensi Hebat

Saat menerima pesan anaknya dari dalam pesawat Singapore Airlines yang mengalami turbulence hebat, si ibu mengaku sedang dalam perjalanan menuju Bali.

Liputan6.com, Jakarta - Seorang ibu mengungkap momen traumatis saat menerima pesan teks dari putranya yang berada di dalam penerbangan Singapore Airlines yang terkena turbulence (turbulensi)hebat. Josh Barker adalah salah satu dari 211 penumpang pesawat Boeing tersebut.

Melansir news.com.au, Rabu, 22 Mei 2024, saat turbulensi melanda, penumpang pesawat itu mengkhawatirkan kemungkinan terburuk, dan mengirim pesan singkat pada ibunya pada Selasa, 21 Mei 2024 pukul 9.10. Pesan itu berbunyi, "Saya tidak ingin menakut-nakuti ibu, tapi saya sedang dalam penerbangan gila."

"Pesawat melakukan pendaratan darurat… Aku cinta kalian semua," imbuhnya. Berbicara pada BBC, ibu Barker, Alison, mengatakan, ia langsung ketakutan saat menerima pesan tersebut. "Saya tidak tahu apa yang terjadi," katanya sambil menambahkan bahwa ia sedang dalam perjalanan ke Bali.

Ia menyambung, "Kami tidak tahu apakah dia selamat, itu sangat menegangkan. Itu adalah dua jam terlama dalam hidup saya. Itu mengerikan, sangat menakutkan."

Ibu Barker mengatakan, meski putranya beruntung bisa selamat dari cobaan tersebut, ia masih "sangat kesakitan" karena menderita luka di giginya. Ia khawatir bahwa pengalaman tersebut akan berdampak jangka panjang. 

Sementara itu, rekaman yang mengejutkan telah mengungkap dampak dahsyat dari turbulensi di dalam kabin pesawat, ketika seorang pilot mengungkap teori yang meresahkan tentang insiden "sangat signifikan" tersebut. Rekaman dari dalam pesawat Singapore Airlines menunjukkan skala kehancuran. Seluruh bagian langit-langit area persiapan makanan hancur dengan puing-puing bergelantungan, puing-puing berserakan di seluruh lorong, serta banyak noda darah terlihat di bagian atas kabin dan loker di atas kepala.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Insiden Disebut Sangat Signifikan

Video dan gambar lain yang diambil di dalam pesawat menunjukkan penumpang dan awak pesawat mengalami pendarahan dan ketakutan saat menunggu untuk mendarat. Saat itu, beberapa panel langit-langit rusak dan masker gas menggantung.

Tim Atkinson, seorang konsultan penerbangan dan mantan penyelidik kecelakaan pesawat, mengatakan pada BBC bahwa ukuran pesawat yang besar membuat insiden tersebut "sangat signifikan." "Pesawat kecil lebih rentan terhadap turbulensi parah dan tabrakan yang mengakibatkan cedera, bahkan kematian," katanya.

Atkinson mengklaim turbulensi jadi lebih umum dan parah karena perubahan iklim. Kebanyakan turbulensi terjadi di awan dan cukup ringan, namun bisa lebih parah di awan besar seperti awan badai kumulonimbus.

Jenis turbulensi lain, yang disebut "clear air turbulence," yang biasanya terjadi pada ketinggian sekitar 40 ribu sampai 60 ribu kaki, sulit dideteksi dan dapat menyebabkan keadaan darurat. Berbicara pada Sky News, Atkinson mengatakan "cukup jelas" bahwa penerbangan Singapore Airlines "mengalami turbulensi atmosfer."

Ia mencatat daerah tersebut, yang disebut Zona Konvergensi Intertropis, "terkenal di kalangan pilot. "Saya yakin, para penumpang (juga mengetahui area tersebut) karena turbulensinya," sebut dia.

3 dari 4 halaman

Dipengaruhi Perubahan Iklim?

Atkinson berkata, "Terlepas dari antisipasi yang sangat hati-hati, ada turbulensi di depan yang tidak dapat diidentifikasi, dan akibat yang tidak menguntungkan dari pertemuan tersebut adalah cedera dan, sangat jarang, kematian." Ia juga mencatat bahwa semakin besar pesawat, "semakin buruk gangguan kelancaran atmosfer, sehingga menimbulkan masalah besar."

Para ilmuwan telah lama memperingatkan bahwa perubahan iklim kemungkinan akan meningkatkan turbulensi yang tidak terlihat oleh radar. Sebuah studi pada 2023 menemukan, durasi tahunan "turbulensi udara jernih" meningkat 17 persen dari tahun 1979 hingga 2020, dengan kasus paling parah meningkat lebih dari 50 persen.

Berbicara pada Fox News, Kapten Shem Malmquist, seorang pilot dan instruktur di Florida Institute of Technology College of Aeronautics, mengemukakan teori lain. "Saya memiliki banyak pengalaman menerbangkan Boeing 777 di Teluk Benggala, tepatnya di wilayah tempat terjadinya hal ini," katanya.

Malmquist mengatakan, hal itu mungkin disebabkan kecepatan tinggi pesawat, dan "biasanya lebih dekat ke kutub, secara relatif." Ia menduga hal itu mungkin juga disebabkan penerbangan yang dekat dengan badai petir. "Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah ketika terbang di atas wilayah Teluk Benggala, perairan tropisnya hangat, badai petir tidak terjadi seperti yang terjadi di belahan dunia lain," katanya.

4 dari 4 halaman

Diduga Terjebak di Badai Petir

Malmquist menjelaskan, "Sebagian besar pelatihan pilot didasarkan pada jenis badai petir yang kita lihat di Amerika Utara. Namun, badai petir di wilayah lautan yang hangat memiliki manifestasi yang sangat berbeda, dan karena itu, cara pilot dilatih, bahkan beberapa algoritme radar otomatis, dapat melewatkannya dan tidak menggambarkan badai tersebut."

Analisis data awal oleh layanan pelacakan penerbangan Flightradar24 menunjukkan bahwa penerbangan tersebut mengalami turbulensi ekstrem selama lebih dari satu menit di ketinggian sekitar 37 ribu kaki di atas Myanmar. Pesawat disebut naik dan turun dengan hebat selama beberapa kali.

Pesawat kemudian melakukan penurunan tajam dan terkendali, lalu mengalihkan penerbangan ke Bangkok. Analisis CNN Weather juga menemukan bahwa kemungkinan besar penerbangan tersebut berada dalam badai petir yang naik mendadak di wilayah selatan Myanmar.

Badai petir tropis yang biasa terjadi sepanjang tahun itu dapat terjadi dengan cepat pada sore hari saat daratan memanas. Karenanya, kondisi cuaca tersebut mungkin tidak terdeteksi radar pada tahap awal, kata lembaga penyiaran tersebut.

"Mengenai kejadian sebenarnya, masih terlalu dini untuk mengatakannya," kata pakar keselamatan ruang angkasa yang berbasis di AS, Anthony Brickhouse, pada AFP. "Tapi menurut saya, penumpang terlalu santai di dalam pesawat komersial. Saat kapten mematikan tanda sabuk pengaman, orang-orang benar-benar melepaskan sabuk pengamannya."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini