Sukses

Thailand Berencana Kembali Batasi Penjualan Ganja Hanya untuk Keperluan Medis, Pelanggarnya Diancam Penjara 1 Tahun

Pemerintahan baru Thailand di bawah PM Srettha Thavisin sudah dua kali mengupayakan revisi undang-undang soal ganja yang sebelumnya dilegalkan untuk kepentingan rekreasional.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan baru Thailand akan mengubah kebijakan penggunaan ganja untuk kepentingan rekreasi yang telah berlaku selama 18 bulan terakhir. Undang-undang yang mendekriminalisasi ganja itu akan diperketat dengan hanya diperbolehkan untuk kepentingan medis saja.

Draf revisi undang-undang telah dirilis pada Selasa, 9 Januari 2023 oleh Kementerian Kesehatan Thailand. Rancangan undang-undang sebelumnya gagal mendapatkan persetujuan parlemen pada November 2023.

Dalam draf yang diperbarui, mereka yang melanggar terancam denda atau pidana penjara hingga satu tahun atau dijerat dengan keduanya. Merokok ganja di depan umum tetap ilegal bahkan di bawah undang-undang yang dilonggarkan, namun undang-undang baru yang diusulkan akan melarang iklan dan kampanye pemasaran untuk tunas dan ekstrak ganja, serta produk ganja lainnya.

Mengutip CNN, Kamis (11/1/2024), isi rancangan itu sejalan dengan janji Perdana Menteri Srettha Thavisin pada September 2023 bahwa pemerintahan barunya akan 'memperbaiki' undang-undang tentang ganja dalam enam bulan ke depan. Thavisin sangat vokal dalam melarang penggunaan ganja untuk rekreasi dan menyatakan dalam beberapa wawancara media bahwa penyalahgunaan narkoba adalah 'masalah besar bagi Thailand'.

Thailand menjadi negara pertama di Asia yang sepenuhnya mendekriminalisasi ganja pada Juni 2022, sebuah langkah yang telah dilakukan selama bertahun-tahun dan jarang terjadi di wilayah yang banyak negara menerapkan hukuman penjara yang lama dan bahkan hukuman mati bagi orang-orang yang terbukti memiliki, mengonsumsi, atau memperdagangkan ganja.

Hong Kong misalnya, bahkan cannabidoil non-psikoaktif (CBD) dilarang. Sementara, Singapura menerapkan hukuman mati bagi penyelundup narkoba, dan warganya yang bepergian ke Thailand diperingatkan bahwa mereka masih dapat dituntut jika mereka kembali ke negaranya jika mereka merokok ganja di luar negeri.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bisnis Bertema Ganja Bermunculan di Thailand

Ganja untuk keperluan medis sudah dilegalkan Thailand sejak 2018, namun dekriminalisasi pada tahun 2022 mengambil langkah lebih jauh, sehingga menanam dan memperdagangkan ganja dan produk turunannya tidak lagi merupakan kejahatan, atau menggunakan bagian mana pun dari tanaman tersebut untuk mengobati penyakit.

Sejak itu, ribuan apotek ganja serta bisnis bertema ganja lainnya seperti kafe ganja, spa ganja, dan perawatan kecantikan bermunculan. Kota-kota seperti Chiang Mai dan ibu kota Bangkok bahkan telah mengadakan festival ganja, dan dekriminalisasi telah menjadi daya tarik utama bagi wisatawan.

Namun, Anutin Charnvirakul, mantan menteri kesehatan yang sangat melobi legalisasi ganja di negaranya, sebelumnya mengatakan kepada CNN bahwa niatnya bukanlah untuk mengizinkan warga Thailand dan wisatawan merokok ganja di tempat umum.

"Thailand akan mempromosikan kebijakan ganja untuk tujuan medis. Tidak pernah sekalipun kami berpikir untuk menganjurkan masyarakat menggunakan ganja untuk rekreasi – atau menggunakannya dengan cara yang dapat mengganggu orang lain," kata Anutin.

"Kami [selalu] menekankan penggunaan ekstraksi dan bahan mentah ganja untuk tujuan medis dan kesehatan."

3 dari 4 halaman

Langkah Pemerintah Dinilai Telat

Para pendukung undang-undang legalisasi berpendapat bahwa booming ganja di Thailand telah membantu banyak masyarakat Thailand, mulai dari petani hingga pemilik usaha kecil dan pekerja di balik meja. Pengusaha ganja sebelumnya mengatakan kepada CNN bahwa mereka sangat menentang segala peraturan yang akan merugikan industri bernilai miliaran dolar yang sedang berkembang.

Future Cannabis Network, sebuah kelompok advokasi di Thailand, menyatakan kekecewaannya atas tindakan pemerintah dan menekankan pentingnya 'keterlibatan masyarakat'.

Kitty Chopaka, seorang pengusaha ganja yang berbasis di Bangkok yang telah mendorong legalisasi ganja selama bertahun-tahun, menyebutnya sebagai reaksi spontan dari pemerintah dan mengatakan bahwa hal tersebut 'bukanlah hal yang tidak terduga'. "Tetapi apa pun yang terjadi dengan peraturan ganja yang berlaku, sekarang sudah terlambat bagi ganja untuk kembali diklasifikasikan sebagai narkotika."

Ada pula cerita lain soal ganja yang datang dari seorang turis Singapura yang pergi berlibur ke Thailand bersama suami, ibu mertua, dan dua anaknya. Mereka menikmati semangkuk mi kuah hangat di sebuah hotel di Chiang Rai dengan daun yang dikiranya sebagai kangkung.

4 dari 4 halaman

Cerita Turis Tak Sengaja Konsumsi Daun Ganja

Melansir Says, Selasa, 27 September 2022, setelah merasa "terhipnotis" makanan yang dimakan, wanita itu membawa keluarganya lagi ke restoran yang sama untuk sarapan keesokan harinya. Ia melihat gambar mi kuah di menu dan baru menyadari bahwa kangkung unik dalam hidangan yang dipesan sebenarnya adalah daun ganja, lapor The Straits Times.

Menurut wanita itu, ganja direbus dalam sup seperti sayuran lainnya, dan ia salah mengidentifikasinya sebagai kangkung. Di sisi lain, orang Singapura dianggap melanggar hukum saat mengonsumsi ganja di luar negeri.

Pada Juli 2022, Biro Narkotika Pusat Singapura (CNB) memperingatkan masyarakat untuk tidak mengonsumsi ganja atau zat ilegal lain saat bepergian ke luar negeri. "(Berdasarkan) Undang-Undang Penyalahgunaan Narkoba, setiap warga negara Singapura atau penduduk tetap yang diketahui mengonsumsi obat-obatan terlarang di luar Singapura juga akan bertanggung jawab atas pelanggaran konsumsi obat-obatan," kata CNB.

Mereka menambahkan bahwa warga Singapura yang dihukum karena konsumsi narkoba dapat menghadapi hukuman hingga 10 tahun penjara dan denda 20 ribu dolar Singapura (sekitar Rp210 juta). Thailand adalah negara Asia Tenggara pertama yang melegalkan ganja medis pada 2018.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini