Sukses

Hati-Hati, Kesepian Bisa Bikin Otak Manusia Menyusut

Studi terakhir tentang kesepian menambah daftar panjang bahaya membiarkan kesepian bagi kesehatan manusia. Sementara, epidemi kesepian dan isolasi sosial sangat jarang diperhatikan.

Liputan6.com, Jakarta - Jangan abaikan perasaan kesepian. Pasalnya, kondisi itu ternyata menimbulkan masalah kesehatan yang signifikan. Dokter ahli bedah Dr. Vivek Murthy menyatakan pada Mei 2023 bahwa 'epidemi kesepian dan isolasi telah menjadi krisis kesehatan masyarakat yang kurang dperhatikan'.

Studi terbaru menemukan bahwa jumlah dan frekuensi kontak sosial pada orang dewasa yang sehat berhubungan dengan volume otak manusia. Orang-orang dengan kontak sosial yang lebih sedikit memiliki ukuran otak yang lebih kecil, sedangkan orang-orang yang paling banyak terkoneksi dengan orang lain.

Secara spesifik, lobus temporal, lobus oksipital, cingulum, hippocampus, dan amigdala menjadi lebih kecil pada orang yang kurang interaksi sosial, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan bulan lalu di jurnal Neurology.

"Isolasi sosial telah dikaitkan dengan … kematian dini, peningkatan risiko penyakit jantung koroner dan stroke, peningkatan pelaporan gejala depresi, serta peningkatan risiko demensia," tulis Dr. Alexa Walter dan Dr. Danielle Sandsmark dari University of Pennsylvania dalam tulisan editorial yang menyertainya, dikutip dari New York Post, Rabu (2/8/2023).

Untuk memahami dampak kontak sosial terhadap kesehatan otak, peneliti dari Universitas Kyushu Jepang mempelajari 8.896 pria dan wanita lanjut usia dan membandingkan pemindaian otak MRI mereka. Peserta penelitian juga ditanyai seberapa sering mereka berhubungan dengan teman atau kerabat yang tidak tinggal bersama mereka (setiap hari, beberapa kali seminggu, beberapa kali sebulan, atau jarang).

Orang-orang dengan kontak sosial paling sedikit memiliki volume otak keseluruhan yang secara signifikan lebih rendah daripada mereka yang paling banyak berinteraksi sosial. Selain itu, orang yang terisolasi secara sosial memiliki lebih banyak lesi materi putih, yakni area kerusakan di otak, daripada orang yang sering melakukan kontak sosial.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Perpanjang Daftar Riset tentang Efek Kesepian

Penulis studi, Toshiharu Ninomiya kepada Neuroscience News mengakui bahwa penelitian itu memiliki cuplikan waktu dan tidak menentukan bahwa isolasi sosial menyebabkan atrofi otak. Namun, ada kesimpulan penting terkait interaksi sosial.

"Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa mengekspos orang tua ke kelompok yang merangsang secara sosial menghentikan atau bahkan membalikkan penurunan volume otak dan meningkatkan keterampilan berpikir dan memori," kata Ninomiya.

Penelitian ini menambah jumlah penelitian yang mengonfirmasi bahwa kesepian adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius di seluruh dunia. Pada Juli 2023, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa penderita diabetes yang kesepian lebih rentan terhadap penyakit kardiovaskular daripada populasi umum. Faktanya, isolasi ditemukan lebih berpengaruh pada pasien diabetes daripada depresi, merokok, aktivitas fisik atau diet.

Sebuah studi yang dirilis pada bulan Juni merekomendasikan kemungkinan hubungan antara penderita kanker yang memiliki kelompok pendukung yang kuat dan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Diketahui pula bahwa efek isolasi sosial tidak hanya dialami orang lanjut usia atau orang sakit, tetapi juga Gen Z. Sekitar delapan dari 10 melaporkan merasa terisolasi, dua kali lipat dari warga lanjut usia.

3 dari 4 halaman

Bangun Koneksi Sosial

"Mengingat konsekuensi kesehatan yang signifikan dari kesepian dan isolasi, kita harus memprioritaskan membangun hubungan sosial dengan cara yang sama seperti kita memprioritaskan masalah kesehatan masyarakat kritis lainnya seperti tembakau, obesitas, dan gangguan penggunaan zat," kata Murthy.

"Bersama-sama, kita dapat membangun negara yang lebih sehat, lebih tangguh, tidak terlalu kesepian, dan lebih terhubung."

Pemerintah Korea Selatan lebih dulu bertindak mengatasi kesepian yang dihadapi warganya. Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga Korea Selatan mengumumkan bahwa mulai April 2023 meluncurkan sebesar 650 ribu won atau sekitar Rp7,4 juta per bulan untuk para pemuda yang kesepian. Biaya tersebut dikeluarkan dalam upaya untuk mendukung 'stabilitas psikologis dan emosional serta pertumbuhan yang sehat'.

Sekitar 3,1 persen orang Korea berusia 19 hingga 39 tahun adalah 'anak muda kesepian yang tertutup'. Mereka didefinisikan sebagai tinggal di "ruang terbatas, dalam keadaan terputus dari luar selama lebih dari jangka waktu tertentu, dan mengalami kesulitan nyata dalam hidup. kehidupan normal", menurut laporan kementerian, mengutip Institut Korea untuk Urusan Kesehatan dan Sosial.

4 dari 4 halaman

Perlindungan bagi Pemuda Korea Kesepian

Dikutip dari CNN, Jumat, 14 April 2023, diperkirakan sekitar 338.000 orang di seluruh negeri mengalami kesepian, dengan 40 persen di antaranya mulai terisolasi sejak masa remaja, menurut kementerian. Berbagai faktor dianggap berperan, termasuk kesulitan keuangan, penyakit mental, masalah keluarga atau tantangan kesehatan.

Langkah-langkah baru ini secara khusus menargetkan kaum muda sebagai bagian dari Undang-Undang Dukungan Kesejahteraan Pemuda yang lebih besar. Tujuannya adalah untuk mendukung orang-orang yang dikucilkan dari masyarakat, serta kaum muda tanpa wali atau perlindungan sekolah yang berisiko menjadi nakal.

Tunjangan bulanan akan tersedia untuk anak muda penyendiri berusia 9 hingga 24 tahun yang tinggal di rumah tangga berpenghasilan di bawah rata-rata pendapatan nasional, yakni sekitar 5,4 juta won (sekitar Rp61 juta) per bulan, untuk rumah tangga yang terdiri dari empat orang.

Para pemuda dapat mendaftar untuk program tersebut di pusat kesejahteraan administratif setempat; wali, konselor, atau guru mereka juga dapat mengajukan permohonan atas nama mereka.

"Pemuda yang tertutup dapat memiliki pertumbuhan fisik yang lebih lambat karena gaya hidup yang tidak teratur dan nutrisi yang tidak seimbang, dan kemungkinan besar akan menghadapi kesulitan mental seperti depresi karena kehilangan peran sosial dan adaptasi yang tertunda," kata kementerian tersebut, menekankan pentingnya 'dukungan aktif'.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.