Sukses

Antara Kantong dan Apresiasi Wastra, Bagaimana Menjembataninya?

Wastra Indonesia sebaiknya tidak dipandang semata sebagai komoditas. Namun, bukan berarti tidak ada trik membeli kain tradisional sesuai bujet masing-masing.

Liputan6.com, Jakarta - Keroyokan memberdayakan ekosistem wastra Indonesia nyatanya masih harus terus diupayakan dengan berbagai cara. Pendekatannya tidak semata melekat, namun juga menyeluruh dan penuh pemahaman. Apalagi, ada berbagai jenis wastra Indonesia yang harus disentuh, termasuk tenun.

Menurut founder sekaligus CEO Tobatenun, Kerri Na Basaria, ketertarikan pada wastra tenun masih sangat niche dan belum menyeluruh terhadap masyarakat luas. "Walau komunitas pecinta wastra sangat kuat dan kehadirannya sangat terlihat, nyatanya masih tetap sangat segmented," katanya melalui pesan pada Liputan6.com, Rabu, 31 Mei 2023.

Ia menyambung, "Perubahan itu ada sedikit demi sedikit, tapi perjalanan panjang (pengenalan wastra tenun) masih butuh trial and error dalam pendekatan." Apresiasi publik, katanya, berdekatan dengan pengetahuan yang lebih dalam tentang seni dan budaya.

"Sayangnya, seni wastra lebih sering dilirik sebagai sarana ekonomi atau komoditas daripada suatu bentuk identitas masyarakat adat, di mana kain-kain tersebut berasal," tuturnya. "Penerangan dan edukasi publik sangat diperlukan untuk apresiasi wastra di luar dari estetika suatu kain."

Jalur ini juga disandung dilema antara kantong dan apresiasi wastra, dalam hal ini dengan cara membeli. Pasalnya, dengan segala kekompleksan produksi sampai distribusinya, tidak jarang kain tradisional dibanderol dengan harga tinggi, membuatnya jadi barang yang tidak bisa dijangkau semua kalangan.

Namun di sisi lain, praktik perdagangan yang adil dengan memberikan harga sepadan pada sehelai wastra juga haram ditinggalkan. Ini senada dengan pendapat Kerri.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Upah yang Layak untuk Perajin Wastra

Kerri berkata, "Perajin patut mendapat upah yang sesuai dan layak, karena satu kain (tenun Batak) bisa memakan (waktu pengerjaan) satu sampai dua bulan. Dalam edukasi dan penerangan, konsumen juga bisa kembali mengerti value dalam kerajinan tangan yang tidak bisa dibandingkan dengan produksi massal menggunakan mesin."

Pengertian slow fashion vs. fast fashion pun perlu diterapkan, sebut Kerri. Namun demikian, bukan berarti semua keputusan dikembalikan pada masyarakat, dalam hal ini para konsumen wastra Indonesia. Solusi untuk menjembatinya juga mesti diinisiasi para produsen.

Sayangnya, menurut Kerri, sementara produk yang lebih aksesibel secara harga sebenarnya tersedia, itu tetap tidak bisa bersaing dengan barang pabrikan yang diproduksi secara massal. Ia berbagi, "Beberapa strategi bisa dilakukan untuk memastikan harga (produk wastra) lebih terjangkau."

"Salah satunya menggunakan kain perca dari masa produksi atau trial tenun untuk diolah jadi produk turunan yang memiliki spirit inovasi dan mencoba meminimasi limbah tekstil," sambungnya.

3 dari 4 halaman

Nilai Budaya yang Tidak Terhitung

Pada dasarnya, Kerri berkata bahwa seni wastra memang diperuntukkan bagi semua kalangan, tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi. "Semua seharusnya dapat menikmati dan mengapresiasi seni wastra," ucapnya.

"Tapi, di masyarakat konsumtif di mana semua hasil tangan diberi nilai moneter, ada kesulitan dan ketidakcocokan antara harga yang sesuai untuk suatu pekerjaan tangan dan harga yang dapat dijangkau semua kalangan."

"Bahan baku yang mahal, waktu pekerjaan yang lama, dan overhead costs lain yang tidak selalu kuantitatif jadi kendala dalam menyediakan produk dengan range harga lebih terjangkau," ia menyambung.

Tobatenun sendiri punya beberapa indikator dalam menentukan harga produk wastra tenun Batak produksi mereka. Ini mulai dari bahan baku dengan kualitas baik, proses pewarnaan alam, masa produksi, research and development, sampai pertimbangan dana untuk program sosial.

"Membeli produk memang jadi salah satu cara termudah untuk mengapresiasi perajin," kata Kerri. "Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat adat pun tergantung dengan kondisi sosio-ekonomi, dan dukungan finansial jadi pengharapan bagi mereka yang ingin maju dan berkembang."

Bersama praktik itu, Kerri juga ingin mengingatkan bahwa nilai budaya adalah nilai yang tidak bisa dihitung. "Wastra adalah seni, dan seni adalah refleksi dan ekspresi dari kemanusiaan sepanjang zaman. Untuk menghargainya, seseorang harus mengerti dan ingin belajar tentang nilai-nilai budaya tersebut, serta terus membuatnya relevan," tandasnya.

4 dari 4 halaman

Tips Belanja Kain Indonesia

Dyan, seorang karyawan swasta di Jakarta yang gemar memadupadankan pemakaian wastra dalam penampilan kesehariannya, punya trik sendiri dalam berbelanja kain tradisional. "Sebenarnya gerakan berkain yang ramai di media sosial itu juga membantu kita menemukan produsen (wastra) yang mematok harga beragam," katanya melalui pesan, Sabtu, 3 Juni 2023.

Ia menyambung, "Saya bahkan pernah beli kain seharga Rp150 ribu, dan kualitasnya tetap bagus, walau memang tidak bisa disandingkan dengan yang harganya berjuta-juta (rupiah). Yang penting, harus beli yang asli, yang memang memberdayakan perajin."

"Mungkin memang agak effort, tapi boleh banget tanya-tanya dulu sebelum beli. Pastikan apa yang dibeli itu bermanfaat bagi perajin. Dalam kasus kain batik, misalnya, jangan sampai beli yang print, karena itu menyalahi hakikat batik sebagai proses," tuturnya.

Jika kain batik tulis harganya masih dianggap terlalu mahal, sebut Dyan, alternatifnya adalah membeli kain batik cap. "Memang harus mengedukasi diri sendiri, supaya kenal dan punya banyak pilihan (dalam membeli wastra Indonesia)," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.