Sukses

Kembali Turun ke Jalan pada 20 Mei 2023, Women's March Jakarta Suarakan 9 Tuntutan Rakyat

Women's March Jakarta bakal kembali turun ke jalan, tepatnya pada 20 Mei 2023 dan berjalan dari IRTI Monas dan berakhir di Patung Merak Monas di Pintu Barat Daya. Aksi ini sebagai wujud untuk membawa suara-suara yang terbungkam dan terkubur agar muncul ke permukaan.

Liputan6.com, Jakarta - Women's March Jakarta bakal kembali turun ke jalan, tepatnya pada 20 Mei 2023 dan berjalan dari IRTI Monas dan berakhir di Patung Merak Monas di Pintu Barat Daya. Aksi ini sebagai wujud untuk membawa suara-suara yang terbungkam dan terkubur agar muncul ke permukaan.

Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Women's March Jakarta 2023 akan menggaungkan 9 tuntutan rakyat. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan pada April 2022 yang dianggap menjadi sebuah peluang baik dalam perjalanan Indonesia menuju kesetaraan gender, tetapi sayangnya disahkannya UU TPKS tidak secara langsung dapat menyelesaikan masalah ketimpangan gender yang masih kita alami di Indonesia.

Memasuki 2023 pula, kekerasan berbasis gender (KBG) di Indonesia yang sangatberdampak kepada perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) bagi 2022 menyebutkan ada sebanyak 339.782 perempuan di Indonesia yang mengalami KBG.

Angka ini adalah jumlah kasus terbanyak dalam 10 tahun catatan KOMNAS Perempuan dan hampir dua kali lipat jumlah kasus dari 2013. Terjadi pula banyak kasus pembunuhan perempuan pada tahun-tahun terakhir ini. PerkumpulanLintas Feminis Jakarta pada 2022 meluncurkan Catatan Femisida (Pembunuhan Perempuan) yang memperlihatkan bahwa realita pengalaman hidup perempuan di Indonesia masih sangat jauh dari kata aman. Pada 2022 saja, setidaknya 289 perempuan, termasuk transpuan dan anak perempuan, dibunuh di Indonesia karena identitas mereka sebagai perempuan.

Koordinator Perubahan Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta Dian Novita menekankan, "Disahkannya UU TPKS tidak akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan tanpa adanya peraturan pelaksana yang membantu penegak dan perangkat hukum lainnya untuk melaksanakan UU TPKS secara menyeluruh."

Riska Carolina dari Konsorsium CRM menambahkan, "Pemerintah juga harus dapat mengajak masyarakat untuk ikut menghentikan stigma dan diskriminasi terhadap perempuan dengan ragam identitas, kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya. Maka dari itu, perlu adanya legislasi anti-diskriminasi yang komprehensif untuk melindungi seluruh kelompok rentan di Indonesia."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja Jadi Pukulan Keras

Senada dengan Riska, Echa Waode dari Arus Pelangi mengatakan, "Perda-perda diskriminatif yang khususnya ditujukan untuk mendiskriminasi kelompok marjinal dan minoritas harus dibatalkan. Pemerintah seharusnya membentuk legislasi anti-diskriminasi yang komprehensif, bukan sebaliknya. Sikap ini justru menghancurkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan."

Disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 juga merupakan pukulan keras bagi masyarakat Indonesia. Kebutuhan masyarakat Indonesia yang pada saat itu berjuang di tengah pandemi COVID-19 dikesampingkan oleh pemerintah. Dampak Pandemi COVID-19 terhadap pekerja perempuan, termasuk buruh perempuan dan pekerja rumah tangga (PRT), masih terasa hingga sekarang.

"Tidak adanya perjanjian kerjasama yang formal antara pekerja dan pemberi kerja, mengakibatkan kerentanan PRT terhadap eksploitasi dan kekerasan. Banyak perempuan PRT yang menjadi korban dari kondisi kerja yang tidak layak, menjadi rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan perbudakan modern," kata Lita Anggraini, Koordinator Jala PRT.

Lita menambahkan, "Sudah belasan tahun kami melakukan advokasi untuk disahkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), namun hingga saat ini pemerintah masih belum melakukannya. Kami mendesak RUU PPRT bisa dibahas dan disahkan dalam masa sidang bulan Mei-Juni ini."

3 dari 4 halaman

Perlindungan Belum Komprehensif

Stigma dan ekspektasi sosial yang diberikan kepada perempuan juga mengakibatkan timbulnya beban ganda bagi perempuan. Namun pada saat yang sama, perlindungan sosial yang diberikan negara kepada perempuan belum komprehensif dan menyeluruh.

"Penting bagi pemerintah untuk memastikan berjalannya perlindungan sosial yang komprehensif, adil gender dan inklusif, dan dilengkapi dengan alokasi anggaran yang memadai. Akses pada pelayanan kesehatan yang adil gender dan inklusif, termasuk fasilitas dan anggaran bagi terselenggaranya jaminan pelayanan kesehatan seperti visum gratis, pengobatan ARV, konseling kespro, layanan aborsi bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya, dan pelayanan kesehatan jiwa bagi semua perempuan dan kelompok marginal, rentan minoritas lainnya, termasuk anak, juga harus diberikan sesuai dengan prinsip HAM yang universal," terang Igna, dari Yayasan IPAS Indonesia.

Igna menambahkan, "Maka dari itu, perlu bagi pemerintah untuk mendengarkan suara perempuan khususnya dalam membahas RUU Kesehatan. Pemerintah perlu mengintegrasikan prinsip layanan yang berpusat pada pasien dan komprehensif yang berlandaskan perspektif HAM dan gender."

4 dari 4 halaman

9 Tuntutan Rakyat

Direktur Program dari Lintas Feminis Jakarta Anindya Restuviani menyebut, aksi ini bertujuan untuk menantang struktur kekuasaan patriarki dan menciptakan ruang bagi suara perempuan untuk didengar dan dihormati dalam ajang kontestasi politik di Indonesia. "Tema Women's March 2023 adalah SUDAHI BUNGKAM, LAWAN! adalah semboyan yang mendorong semua perempuan, kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya untuk turun ke jalan, merapatkan barisan dan menggaungkan perubahan," lanjutnya.

Aksi Women’s March Jakarta 2023 akan membawa Nawatura, yang merupakan 9 Tuntutan Rakyat, yakni:

  1. Meningkatkan keterwakilan politik perempuan dengan membuka dan memudahkan akses perempuan dan kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya untuk berpartisipasi dalam politik.
  2. Segera mengesahkan seluruh kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan, diskriminasi, stigma, represi atau dampak buruk program pembangunan terhadap perempuan.
  3. Mencabut dan/atau membatalkan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya baik di tingkat lokal maupun nasional.
  4. Menghentikan praktik-praktik berbahaya (harmful practices) terhadap perempuan, anak perempuan, dan kelompok minoritas gender dan seksual.
  5. Mendorong kurikulum pendidikan yang komprehensif, adil gender dan inklusif, termasuk melalui jaminan bagi anak perempuan untuk mendapatkan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, karakteristik seks, ras, suku, agama, kepercayaan, status kesehatan (fisik dan psikis), status sosial, dan lainnya; serta memajukan pendidikan, pemberdayaan dan akses yang inklusif bagi anak-anak perempuan dengan disabilitas, anak dengan HIV/AIDS, anak narapidana, dan anak pengguna napza.
  6. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk melindungi perempuan, kelompok minoritas,rentan dan marginal.
  7. Memastikan berjalannya perlindungan sosial yang komprehensif, adil gender dan inklusif.
  8. Menuntut Pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalusecara berkeadilan dan berpusat pada pemenuhan hak-hak korban.
  9. Mendorong pemerintah sebagai chairperson ASEAN 2023 untuk turut aktif dalampenyelesaian konflik di wilayah ASEAN/Asia Tenggara dan memberikan perlindunganpada para pencari suaka/pengungsi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini