Sukses

Cerita Akhir Pekan: Mengulik Fenomena Bule-sentris di Bali

Melihat sudut pandang bule-sentris dari 'korban', saksi, hingga pelaku bisnis di Bali.

Liputan6.com, Jakarta - Gegap-gempita Bali dengan semua pesona yang ditawarkan dalam satu paket lengkap kunjungan, mulai dari 'hedon' di sejauh pesisir barat, julangan karang nan megah di ujung selatan, hingga ke utara yang lebih sepi, siapa tak tergoda?

Bersama serbuan turis, entah dalam atau luar negeri, tak semata pundi uang yang bergerak, pun tak melulu soal decak kagum, tapi juga lusinan masalah. Ya, 'firadus di Bumi' pun nyatanya punya urgensi tersendiri.

Satu di antaranya yang sudah sebegitu lama diwacanakan adalah bule-sentris. "Sikap sih. Perbedaan sikap yang ditunjukkan orang Indonesia terhadap ras yang non-warga negara Indonesia," jelas penulis sekaligus fotografer perjalanan Marrysa Tunjung Sari soal pemahamannya tentang bule-sentris lewat pesan pada Liputan6.com, Jumat, 20 September 2019.

Perempuan yang akrab disapa Sasha ini menambahkan, banyak orang dalam negeri cenderung memperlakukan orang asing, termasuk wisatawan, dengan kadar keramahan mengarah pada perbedaan level strata.

Salah seorang wisatawan dalam negeri yang sempat mengalami kejadian kurang mengenakkan ini adalah Rita. Ia menceritakan, Bali bukanlah daerah baru untuk dikunjungi. Karena bekerja atau liburan, perempuan yang kini menetap di Yogyakarta tersebut sudah cukup sering bolak-balik Pulau Dewata.

"Aku waktu itu memang baru banget selesai meeting. Ke hotel cuma ganti baju seadanya terus ngelengos ke salah satu restoran di wilayah Seminyak. Pas sampai di depan dan mau masuk, tiba-tiba ditanya mau ke mana," ceritanya lewat sambungan telepon, Kamis, 19 September 2019.

Setelah menjawab bila dirinya mau makan di dalam, pihak keamanan restoran meminta izin menggeledah tasnya sembari Rita diberi daftar menu beserta harga yang ditawarkan restoran tersebut.

"Aku belum ngeh kenapa kan karena posisi juga lagi laper banget. Aku ikuti saja kirain memang habis ada apa. Eh, terus ada bule yang berpakaian sama kayak aku, sendal jepitan malah, dibiarin masuk begitu saja, bahkan disapa. Bukan satu, tapi beberapa (bule)," katanya.

"Akhirnya tahu aku lagi diapain, langsung ku ambil tasku, terus ku bilang, 'Saya mampu makan di sini, bahkan bayarin semua orang yang makan sekarang.'. Terus langsung aku pergi dan nggak pernah balik ke sana," sambungnya sembari mengatakan kejadian mengarah pada fenomena bule-sentris ini baru tahun lalu dialami.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sudah dalam Tahap Mengganggu?

Sasha yang belum pernah jadi korban bule-sentris, tapi sempat jadi saksi perlakuan ini menuturkan, bule-sentris sudah dalam tahap mengganggu, Tapi, ini dianggapnya sebagai sikap output akibat sejarah panjang.

"Tanpa kita sadari, kita merasa berada pada strata lebih rendah di bawah mereka. Sebagai seseorang yang pernah kuliah di luar negeri, kuli galian di Australia dan Indonesia ya sama saja. Bedanya hidungnya mancung, mata biru," tambahnya.

Bibit bule-sentris, menurutnya, juga diperlihatkan lewat sikap orang Indonesia terhadap sesama Indonesia dalam berbahasa. "Ketika orang kita salah dalam menggunakan Bahasa Inggris, mereka mencela dan mencari celah. Terlalu medok, salah grammar, bahasa tarzan, dan sebagainya," kata Sasha.

Hal ini membuat banyak orang jadi tidak percaya diri dalam berbahasa Inggris. ⁣⁣"Padahal, jika seorang bule berbahasa indonesia 'Selamat Pagi', kita sudah heboh banget dan kesenangan. Mereka salah bicara pun kita bisa memaklumi," tambahnya.

Ia bercerita, suatu waktu saat selesai mengajar Bahasa Inggris untuk pertama kalinya, beberapa orang asing yang hadir di kelas menyatakan, "Selamat! Kelas sukses! Kamu hebat bisa mengajar dalam bahasa kami, sedangkan kami sulit sekali melakukan hal yang kamu lakukan dalam Bahasa Indonesia.".⁣

"⁣Sebuah kesetaraan dalam cara berkomunikasi yang justru membuat saya mendapat apresiasi.," Sasha mengakui.

3 dari 4 halaman

Sudut Pandang Pelaku Bisnis Kuliner

Ayu Setun, salah satu staf Kopi Pot menuturkan, dirinya memang beberapa kali mendengar cerita para korban bule-sentris. Tapi, itu tak pernah terjadi di tempatnya bekerja di jantung Legian, Kuta, Bali.

"Waktu itu pernah ada, tapi cuma salah paham. Jadi, ada pelanggan lokal pesan minum, disangka kami kurangi isinya karena ia lihat ada tamu luar (negeri) yang dikasih gelas lebih besar. Ia tidak lihat kalau di menu memang ada pilihan isinya," tutur Ayu lewat sambungan telepon, Jumat, 20 September 2019.

Menurut perempuan yang sudah bekerja di Kopi Pot selama 29 tahun tersebut, di sana tak ada perbedaan servis antara tamu lokal maupun mancanegara. Pasal, saat masuk ke Kopi Pot, mereka menganggap para pelanggan sudah setuju dengan harga yang harus dibayarkan.

"Kalau sudah setuju kan berarti tidak perlu khawatir. Mereka bakal membayar sesuai harga tertera di menu. Jadi, mau lokal atau bukan, bayarnya akan sama saja," katarnya.

Pihak restoran yang menyajikan masakan Indonesia, ragam hidangan laut, dan Barat ini menuturkan, mereka selalu berusaha berkomunikasi dengan permintaan dari pelanggan. Juga, memberi tahu bila waktu tunggu akan sedikit lama karena restoran tengah ramai.

"Kalau ada beberapa complain karena merasa pesanannya belum datang, saya pikir masih di tahap wajar. Semua berjalan sesuai SOP yang tidak membeda-bedakan pelanggan di sini," tutup Ayu.

4 dari 4 halaman

Yang Mendesak dari Pariwsata Bali

Sasha beranggapan, dari sekian banyak masalah pariwisata di Bali, over development adalah salah satu yang paling mendesak. "Kalau pulang ke Bali, sering merasa sedih. Banyak bangunan mengambil alih beberapa lokasi yang cantik, hotel-hotel murah dengan paket murah meriahnya," ceritanya.

"Rombongan bus banyak membuat Bali jadi 'pasar'. ⁣⁣Saya sedih dengan unggahan, 'Bali, sebuah surga berlibur yang murah', lalu dengan bangganya diunggah dan dibagikan. Banyak tempat di Indonesia tidak diperuntukkan untuk pariwisata murah karena unik dan hanya ada satu-satunya," tambah perempuan yang memang besar di Bali tersebut.

Sasha kemudian mempertanyakan, apakah kuota gila-gilaan yang diterapkan untuk sistem pariwisata adalah tepat tanpa berpikir sustainability suatu tempat.

"⁣Dulu kita berpikir bahwa pariwisata merupakan cara ekonomi yang tidak merusak. Cara berpikir pariwisata kuota-kuota seperti ini akan dipastikan merusak. Tarian sakral jadi komoditi sehingga bisa dipertunjukkan kapan saja, sawah habis untuk membangun hotel murah, pemandangan cantik Tegalalang tertutup kedai-kedai, polusi, sampah dan masih banyak lagi," paparnya.

"Entah sampai kapan Bali akan bertahan dengan gempuran murah dan kuota. ⁣⁣Susahkah mengatur surga?" tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.