Sukses

Cerita Akhir Pekan: Beda Kisah Mudik Dulu dan Kini

Mudik Lebaran tak semata perjalanan menuju rumah, tapi juga menyimpan memori dalam proses dan dinamikanya.

Liputan6.com, Jakarta - Mudik dan Lebaran bisa dikatakan sebagai dua hal tak terpisahkan. Satu sama lain kian identik dan sudah sebegitu lama jadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Walau ada saja 'dramanya', orang tetap pulang ke kampung halaman demi berkumpul dengan keluarga di Hari Raya.

Edy Suherli, seorang pegawai swasta, jadi salah seorang pemudik di setiap Lebaran. Ia pun berbagi kisah tentang perbedaan ketika mudik ke kampung halaman di Palembang dahulu dan kini.

Sekitar dua dekade silam atau akhir era 90-an, Edy yang bekerja di Jakarta memilih mudik menggunakan moda transportasi darat, yaitu bus. Belasan jam ia tempuh demi bertemu keluarga di Sumatera Selatan.

"Dulu pas 1999, saya mudik pakai bus yang harganya sekitar Rp 200 ribu-an. Bus berangkat jam 1 siang dan sampai jam 6 pagi," ungkap Edy pada Liputan6.com, Kamis, 23 Mei 2019.

Mudik jadi momen Edy untuk melepas rindu dengan keluarga di Empat Lawang, Sumatera Selatan, kampung halamannya. Saat 1999, Edy yang baru bekerja tidak memiliki jatah cuti sehingga ia hanya memanfaatkan waktu libur.

Edy mengakui mudik setelah berkeluarga jauh lebih menyenangkan ketimbang dulu masih sendiri. "Sejak berkeluarga, saya memilih mudik dengan mobil pribadi karena lebih hemat, bisa silaturahmi, dan jalan-jalan. Kampung saya 6-7 jam dari kota Palembang," ungkap Edy.

Mudik dengan mobil sendiri dirasa begitu fleksibel karena ketika lelah, ia dan keluarga dapat istirahat lebih dulu. "Dulu kan ikut jadwal bus, kalau sekarang dari Jakarta jam 11 malam sampai Merak jam 3 pagi dan di Bakauheni sudah subuh. Jalan pagi lebih enak ke Palembang," tambahnya.

Edy dan keluarga biasanya akan sampai di Palembang sekitar magrib. Ia lantas tidak langsung melanjutkan perjalanan ke Empat Lawang, melainkan menginap dulu di Palembang.

"Kalau naik mobil dari Jakarta hanya dua kali isi bensin full tank sekitar Rp 275 ribu-Rp 300 ribu ditambah Rp 375 ribu untuk ongkos menyebrang di kapal," jelas Edy.

Naik mobil saat mudik bukannya tanpa hambatan dan duka. Edy berkisah, ia dan keluarga mengalami kejadian yang benar-benar tak dilupakan sekitar 4-5 tahun lalu.

"Saat itu dari Jakarta ke Merak jam 2 subuh, pas keluar tol mau ke Merak 18 jam kemudian baru naik kapal karena sangat padat. Makanya, menyiasatinya dengan menghindari peak season (di momen mudik) supaya kendaraan tidak numpuk," tambah Edy.

Tonton Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Beda Mudik Dulu dan Kini

Perbedaan mudik dulu dan sekarang juga dirasakan Nanda Fitri Supriyani. Perempuan yang bekerja sebagai karyawan swasta di Jakarta ini mengatakan, mudik di sekian tahun lalu lebih ribet, terutama soal mempersiapkan moda transportasi. Ia sendiri bergantian setiap tahun untuk pulang kampung ke Kuningan, Jawa Barat, dan Makassar, Sulawesi Selatan.

"Misal, waktu kecil gue pernah ke Kuningan naik kereta dan itu dari Stasiun Cirebon harus cari angkot, jarang dan nggak nyaman pokoknya. Sekarang transportasinya sudah membaik jadi nggak se-nggak nyaman dulu," katanya pada Liputan6.com, lewat pesan singkat, Kamis, 23 Mei 2019.

Nelangsa mudik, yakni macet panjang juga pernah dirasakan Nanda. "Gue lupa waktu umur berapa gitu yang sempat macet parah, kayak cuma tiga kilo(meter) sampai berjam-jam. Nah, itu tuh gue sempat jadi males balik ke Kuningan, mending ke Makassar cepat," ceritanya.

Tapi, itu dulu, sejak ada jalurTtol Cipali, waktu perjalanan terpangkas jauh. "Pertama kali coba (lewat) Tol Cipali, gue sekeluarga shocked. Kayak sudah nyiapin bekal, air minum, gue bahkan bawa bantal, buku, stok film yang banyak, download webtoon yang banyak, sampai charge powerbank penuh," kata Nanda.

"Eh ternyata berangkat jam 9 (pagi) sampai rumah di sana jam 12 atau jam 1-an (siang) gitu," tambahnya. Nanda dan keluarga biasa mudik sebelum Lebaran dan tahun ini berencana pulang ke Kuningan, Jawa Barat. "Maksimal (mudik) H-2 pokoknya," tuturnya.

3 dari 3 halaman

Perjalanan Mudik dengan Kereta Api Puluhan Tahun Lalu

Kenangan berbeda akan mudik disimpan rapat Lanny Kusumastuti. Pulang ke Solo, Jawa Tengah, perempuan yang bekerja sebagai pegawai swasta ini sempat merasakan sesak gerbong kereta selama berjam-jam sekitar 22 tahun lalu.

"Pernah banget ngerasain yang namanya mudik naik kereta ekonomi jubel-jubelan sama pedagang, duduk di lantai kereta, tidur pakai koran, sampai satu gerbong sama ayam jago yang dibawa pemudik. Waktu itu sih risih ya, sekarang ngingetnya jadi lucu," ceritanya lewat pesan singkat pada Liputan6.com, Kamis, 23 Mei 2019.

Kalau soal kemudahan dan kesulitan, sambung Lanny, tentu sekarang lebih mudah. "Beli tiket kereta, bus, atau pesawat nggak perlu datang ke loket, semua tinggal klik, ditambah ada banyak penawaran diskon, itu sangat menguntungkan," ujarnya.

"Cuma ya sekarang harus cepat-cepatan. Kalau mau mudik harus mikirin minimal 3 bulan sebelumnya," tambah Lanny. Mudik tahun ini, kata Lanny, banyak plus-minusnya, di tengah harga tiket pesawat yang mahal banget.

"Orang jadi banyak beralih ke moda transportasi lain. Kalau yang milih buat naik kendaraan pribadi sekarang bisa lebih mudah dan nyaman kayaknya karena infrastuktur tol lebih mumpuni, "tuturnya.

Mudik sekarang bagi Lanny tidak lagi sama karena si mbah sudah menghadap Sang Kuasa. "Lebih seru dulu pastinya, kangen kumpul lengkap bareng keluarga besar," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.