Liputan6.com, Jakarta - Penyusunan aturan turunan UU Kesehatan terus didesak agar membuka pintu seluas-luasnya terhadap partisipasi publik dan pemangku kepentingan terkait untuk memberikan masukan. Imbauan ini cukup beralasan karena pada awal penyusunan UU Kesehatan juga menghasilkan sejumlah pasal yang multitafsir dan menimbulkan polemik di publik, misalnya pasal zat adiktif berupa produk tembakau.
Menurut pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiyansah, keterlibatan industri tembakau memiliki peran yang penting dalam penyusunan aturan turunan terkait produk tembakau pada UU Kesehatan ini. Pasalnya, mereka adalah pihak yang akan berdampak secara langsung dari aturan tersebut.
Dia menjelaskan, jika ingin mengurangi resistensi publik, tentu yang pertama harus dilakukan adalah melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk industri tembakau, terhadap perumusan aturan turunan ini.
Advertisement
Soal partisipasi publik, melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022, Presiden Jokowi telah mengamanatkan bahwa partisipasi masyarakat diperlukan dalam pembuatan undang-undang. Termasuk dalam proses perencanaan, persiapan, pembahasan, pengesahan atau keputusan, dan diundangkan. Seperti diketahui bersama, Kemenkes sendiri berencana menjadikan 108 Peraturan Pemerintah (PP) yang terpisah menjadi hanya satu PP, termasuk soal aturan tembakau.
Baca Juga
“Kemenkes bisa membaginya ke beberapa klaster dan menempatkannya dengan tepat, dengan pembagian klaster tersebut, aturan ini akan lebih mudah dipahami karena publik dapat melihat dari sisi kemanfaatan dan kepentingannya tidak dirugikan,” ujarnya.
Sampai dengan saat ini Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan sektor penyumbang penerimaan negara terbesar lewat cukai. Kontribusi ini diperkuat melalui keberhasilan menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, jika industri ini semakin ditekan melalui regulasi yang eksesif, maka akan ada beberapa daerah yang merugi, penerimaan negara dapat berkurang, bahkan ada risiko meningkatnya jumlah pengangguran.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Kebijakan Publik DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Danang Girindrawardana meminta sebaiknya pemerintah dapat bersikap lebih bijak dengan tidak menyerahkan semua aturan IHT ini kepada Kemenkes.
Dikutip dari data Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang terserap dalam industri rokok sebanyak 5,98 juta orang yang terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri dan 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan.