Sukses

Hukum Badal Haji, Ada 2 Pendapat Berbeda

Hukum badal haji ada pendapat yang membolehkan dan tidak membolehkan.

Liputan6.com, Jakarta - Badal haji adalah ibadah haji yang digantikan oleh orang lain karena alasan tertentu. Hukum badal haji ada dua pendapat berbeda di kalangan mayoritas ulama. Ada pendapat yang membolehkan dan tidak membolehkan.

Pendapat yang membolehkan hukum badal haji didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang menunjukkan bahwa seseorang dapat melaksanakan haji atas nama orang lain, seperti orang tua yang telah meninggal dan memiliki hutang yang harus segera dilunasi.

Mereka dengan pendapat ini menyatakan bahwa melaksanakan haji atas nama orang lain adalah tindakan baik dan bermanfaat, serta memenuhi hak Allah. Di sisi lain, pendapat yang tidak membolehkan hukum badal haji merujuk pada ayat Al-Qur'an surat An-Najm ayat 39 yang menyatakan bahwa manusia hanya akan memperoleh hasil dari apa yang telah mereka usahakan.

Penganut pendapat kedua berargumen bahwa ibadah haji adalah kewajiban individu yang tidak dapat digantikan oleh orang lain. Mereka berpendapat bahwa badal haji bertentangan dengan prinsip kepastian ayat-ayat Al-Qur'an yang lebih tinggi daripada hadis-hadis yang membolehkannya.

Agar lebih memahami, berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang hukum badal haji, Senin (22/5/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pendapat Pertama

Pendapat pertama, hukum badal haji boleh. Diperbolehkannya badal haji merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sebagai berikut:

Ada seorang wanita dari daerah Juhainah datang ke Nabi SAW, kemudian ia berkata, “Sesungguhnya ibuku telah bernazar untuk haji, akan tetapi sebelum sempat melaksanakannya ia meninggal dunia. Apakah saya harus menghajikannya?”

Rasulullah SAW bersabda, “Ya, hajikanlah ia. Karena bagaimana menurutmu seandainya ibumu mempunyai utang bukanlah engkau harus melunasinya? Tunaikanlah hak Allah, sesungguhnya hak Allah itu lebih berhak untuk dipenuhi.”

Hadis riwayat Bukhari dan Muslim ini menyoroti pertanyaan seorang wanita dari daerah Juhainah yang menghadap Nabi Muhammad SAW. Wanita tersebut menyampaikan bahwa ibunya bernazar untuk menjalankan ibadah haji, namun sebelum ia dapat melaksanakannya, ibu tersebut meninggal dunia. Wanita itu bertanya apakah ia harus menjalankan haji atas nama ibunya.

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Nabi Muhammad SAW memberikan fatwa yang membuat hukum badal haji diperbolehkan. Beliau menjawab wanita tersebut dengan mengatakan bahwa ia harus menjalankan haji atas nama ibunya.

Nabi menjelaskan dengan analogi bahwa jika ibu seseorang yang memiliki hutang, maka anak tersebut bertanggung jawab untuk melunasinya. Demikian pula, Nabi menyatakan bahwa memenuhi hak Allah adalah lebih utama.

Pendukung pendapat yang membolehkan hukum badal haji menganggap hadis ini sebagai bukti sahih yang menunjukkan bahwa badal haji adalah halal dalam agama Islam. Mereka berpendapat bahwa menghormati nazar seseorang yang meninggal dunia dengan melaksanakan ibadah haji atas nama mereka adalah tindakan yang baik dan bermanfaat.

Selain itu, mereka yang membolehkan hukum badal haji berargumen bahwa tujuan utama dari ibadah haji adalah memenuhi kewajiban individu terhadap Allah SWT. Jika seseorang tidak dapat menjalankan haji karena alasan tertentu, seperti keterbatasan fisik atau keterbatasan finansial, maka mereka dapat memanfaatkan konsep badal haji untuk melaksanakan ibadah tersebut atas nama orang lain.

Namun, perlu dicatat bahwa ada juga pendapat yang tidak membolehkan hukum badal haji. Beberapa ulama berpendapat bahwa ibadah haji adalah kewajiban individu yang tidak dapat digantikan oleh orang lain. Mereka berargumen bahwa setiap individu harus melaksanakan ibadah haji secara langsung jika mampu.

3 dari 3 halaman

Pendapat Kedua

Pendapat kedua yang tidak membolehkan badal haji merujuk pada ayat Al-Qur'an surat An-Najm ayat 39 yang menyatakan bahwa manusia hanya akan memperoleh apa yang telah mereka usahakan. Mereka berpendapat bahwa ibadah haji adalah kewajiban individu yang tidak dapat digantikan oleh orang lain.

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ  

“dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya,” (QS. An-Najm ayat 39)

Menurut pendapat kedua, hadis-hadis yang memperbolehkan hukum badal haji (yang memiliki tingkat kepastian yang rendah) dianggap tidak dapat diamalkan secara mutlak karena dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki kepastian yang lebih tinggi.

Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Qur'an memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi daripada hadis-hadis yang bersifat zhanni (bersifat menduga atau berdasarkan dugaan). Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an harus diutamakan dalam menentukan hukum agama.

Pendukung pendapat kedua ini berargumen bahwa hadis-hadis yang membolehkan hukum badal haji bersifat zhanni, yang artinya kebenarannya tidak dapat dipastikan dengan tingkat kepastian yang tinggi. Oleh karena itu, hadis-hadis tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk membolehkan badal haji.

Ada juga pandangan bahwa hadis-hadis yang memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi, seperti hadis mutawatir (yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi dengan cara yang sangat kuat), dapat mentakhsis (mengkhususkan/mengecualikan) ayat-ayat Al-Qur'an.

“Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan) bahwa Nabi saw mendengar seseorang berkata labbaik (aku datang memenuhi panggilanmu) dari (untuk) Syubrumah. Nabi saw bertanya: Siapakah Syubrumah itu? Orang itu menjawab: Saudaraku atau kerabatku, lalu Nabi saw bertanya: Apakah kamu sudah berhaji untuk dirimu? Ia menjawab: Belum. Lalu Nabi bersabda: Berhajilah untuk dirimu (terlebih dahulu) kemudian kamu berhaji untuk Syubrumah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, menjelaskan bahwa hukum badal haji memungkinkan seorang anak yang telah melaksanakan ibadah haji untuk menggantikan haji bagi orang tuanya yang telah meninggal.

Namun, jika anak tersebut belum melaksanakan haji, ia dapat langsung menggantikan porsi haji orang tuanya tanpa perlu mendaftar dan tindakan ini tidak dianggap sebagai badal haji bagi orang tuanya.

Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) pun kini telah menerapkan kebijakan baru mengenai badal haji atau pelaksanaan penggantian ibadah haji. Calon haji yang meninggal dunia sebelum masuk asrama dapat digantikan keberangkatannya oleh keluarga atau ahli waris secara langsung.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.