Sukses

Makin Banyak Kidfluencer di Sosial Media, Studi: Rawan Eksploitasi Anak

Semakin banyak anak-anak yang menjadi kidfluencer di berbagai platform sosial media. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya risiko eksploitasi anak.

Liputan6.com, Jakarta - Semakin banyak orang tua yang menjadikan anak-anaknya sebagai influencer (pemengaruh) di media sosial berbayar (kid-fluencer) tanpa memedulikan risiko eksploitasi anak, sebut sebuah penelitian baru Edith Cowan University (ECU) dikutip dari situs berita ECU.

Makalah terbaru Dr Catherine Archer yang diterbitkan dalam M/C Journal menjelaskan kekhawatiran terkait dengan meningkatnya popularitas 'kidfluencer' dan menyerukan lebih banyak peraturan dan undang-undang yang dibutuhkan untuk mengatasi isu ini.

Archer mengatakan bahwa promosi mainan melalui media sosial yang berkembang pesat membuat para penjual menggunakan anak-anak untuk membujuk anak-anak lain dan orang tuanya demi membeli mainan yang dipromosikan.

"Seringkali, berbagai merek bekerja sama dengan anak-anak selebriti guna memaksimalkan daya jual," ujar Archer dari Edith Cowan University, dalam pernyataannya.

"Studi yang kami lakukan menggarisbawahi kekhawatiran utama mengenai masalah privasi, komodifikasi, serta pemasaran mainan yang digenderisasi kepada anak-anak secara diam-diam melalui iklan berbayar (paid advertisement)."

Dalam makalahnya, Archer berpendapat bahwa berkembangnya media sosial membantu para penjual menjangkau anak-anak setiap harinya. Dia mencatat jumlah anak-anak yang memiliki tablet sendiri meningkat dari kurang dari 1 persen pada 2011 menjadi 42 persen pada 2017.

"Dikarenakan sosial media telah menjadi sarana terbaik untuk mempromosikan berbagai merek anak, pemasaran mainan anak-anak sekarang bergantung pada bisa tidaknya para penjual menemukan influencer media sosial yang tepat, dan kebanyakan influencer yang dipilih adalah anak-anak itu sendiri," Archer menjelaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Maraknya Kidfluencer di Instagram

Sebagian besar platform media sosial, seperti TikTok dan Instagram, memang mengharuskan penggunanya berusia minimal 13 tahun.

Akan tetapi, entah dengan memalsukan umur atau menggunakan identitas orangtuanya, sebuah laporan dari Business Insider yang berbasis di Amerika Serikat pada 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 40 persen anak yang berusia kurang dari itu berhasil masuk dan dapat mengakses konten-konten yang dibagikan di dalamnya.

Melihat maraknya bentuk promosi mainan anak melalui Instagram, Archer meneliti unggahan "kidfluencer" asal Australia yang masih berusia 11 tahun, Pixie Curtis, serta adiknya, Hunter Curtis, yang baru menginjak usia 8 tahun.

Akun mereka dikelola oleh ibunya, Roxy Jacenko, mantan direktur hubungan masyarakat perusahaan bernama Sweaty Betty. Namun, Jacenko yang kini merupakan direktur perusahaan bernama Ministry of Talent mengatakan kepada The Post bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang penelitian ini.

Baik Pixie dan Hunter telah memiliki ribuan pengikut di Instagramnya. Dikutip dari situs berita ECU, Pixie telah memiliki akun instagram sejak sebelum dia berusia 2 tahun.

Sementara saudara laki-lakinya, Hunter, sudah dibuatkan akun bahkan sejak usianya baru 1 tahun. 

3 dari 4 halaman

Bahaya Promosi Barang melalui Kidfluencer

Archer menganalisis unggahan kedua anak itu mulai dari Maret hingga Juli 2022, dan mencatat berbagai tagar yang digunakan dan merek mainan yang disebutkan.

Hasilnya menunjukkan adanya dua hal yang menonjol, yaitu promosi mainan yang digenderisasi serta unggahan yang mengaburkan batas antara barang untuk anak-anak dan orang dewasa.

Melihat hal itu, Archer menyerukan bahwa promosi mainan semacam ini dapat membingungkan konsumen, terutama anak-anak.

"'Kidfluencer' mengaburkan batas antara mainan tradisional dengan barang-barang orang dewasa," katanya.

Produk high-end orang dewasa seperti make-up, mobil, dan pakaian dipromosikan secara diam-diam bersamaan dengan mainan yang lebih tradisional, jelasnya.

Lebih lanjut, Archer juga menyoroti kekhawatiran akan seksualisasi influencer gadis muda di Instagram.

"Pemasaran mainan yang digenderisasi serta meningkatnya fokus terhadap penampilan pada anak perempuan melalui Instagram dapat berbahaya bagi nilai diri anak-anak. Selain itu, ada kekhawatiran mengenai komodifikasi masa kanak-kanak yang berkelanjutan," sebut Archer.

4 dari 4 halaman

Tak Hanya Instagram, Banyak Kidfluencer yang Aktif di Youtube

Selain Instagram, YouTube juga menjadi media favorit bagi sebagian besar anak-anak, bahkan lebih dari televisi. Menurut data dari e-Safety pada 2018, sebanyak 80 persen anak-anak berusia 8 hingga 12 tahun dan 86 persen remaja menggunakan situs ini.

Archer mengatakan bahwa sekarang ini, praktik promosi mainan melalui video ulasan yang dilakukan para kid-fluencer di YouTube adalah hal yang umum. Kendati demikian, dia mengkhawatirkan iklan yang disamarkan sebagai hiburan untuk anak-anak.

"Perlu dilakukan lebih banyak penelitian, dan mungkin cara yang baik untuk memulai adalah dengan berbicara kepada anak-anak tentang pandangan mereka tentang konten yang ditontonnya—biasanya berupa iklan komersial yang disamarkan sebagai konten lucu."

Selaras dengan pendapat yang dikemukakan Archer, sebuah studi lain pada 2020 menemukan bahwa influencer anak di YouTube diam-diam mempromosikan junk food kepada para penonton.

Setelah menganalisis 418 video dari lima YouTuber usia 3 hingga 14 tahun yang paling terkenal, para peneliti menemukan bahwa kurang dari setengahnya menampilkan beberapa jenis produk makanan atau minuman. 90 persen dari video tersebut menunjukkan makanan cepat saji dari merek terkemuka.

 

(Adelina Wahyu Martanti)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini