Sukses

Tak Tersedia Dokter, Banyak Pasien Suspek Campak di Papua Tengah

Kendala tak ada dokter, banyak temuan pasien suspek campak di Papua Tengah.

Liputan6.com, Jakarta - Temuan pasien suspek campak meningkat di Provinsi Papua Tengah. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) per 10 Maret 2023 mencatat, kasus campak di Papua Tengah menjadi 469 kasus. Sebelumnya, tercatat 397 kasus campak di Papua Tengah (data per 3 Maret 2023).

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi menuturkan, penanganan campak di Papua Tengah masih terkendala akses dan medan yang sulit dijangkau masyarakat dan dokter maupun tenaga kesehatan (nakes).

Sebagaimana informasi dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, di daerah-daerah pelosok tertentu malah tidak tersedia dokter dan nakes di Puskesmas.  Tak ayal, pengobatan suspek campak yang melanda anak-anak juga terhambat. 

“Saat ini, Puskesmas yang ada di Provinsi Papua Tengah, khususnya di Kabupaten/Kota yang jauh (Kabupaten Puncak, Kabupaten Intan Jaya, dan Kabupaten Puncak Pegunungan) masih kurang atau tidak tersedia tenaga dokter ataupun tenaga kesehatan lain,” tutur Nadia saat dihubungi Health Liputan6.com, ditulis Selasa, 13 Maret 2023.

Terkait temuan anak-anak suspek campak pada awalnya dari hasil pelaporan paroki atau keuskupan setempat. Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah Papua Tengah soal penanganan campak.

“Saat ini, Dinkes Provinsi Papua masih mengkonfirmasi ke lokasi, untuk memastikan lebih lanjut hasil penanganan campak yang beredar di media," jelas Nadia.

"Paroki memang rutin melakukan atau membuka pelayanan kesehatan secara rutin, dan saat dilakukan pelayanan Kesehatan, didapatkan pasien berobat dengan suspek campak meningkat."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pemeriksaan Sampel Suspek Campak

Terkendalanya penanganan campak di Papua Tengah, diperlukan dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. 

“Untuk itu, masih diperlukan dukungan SDM dalam pelaksanaan penanganan dan penanggulangan KLB Campak Rubella di Provinsi Papua Tengah,” Siti Nadia Tarmizi melanjutkan.

Pada kesempatan berbeda, dokter spesialis anak klinis, Anggraini Alam dari Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut, terjadi kenaikan kasus campak selama tahun 2021 sampai 2022. 

“Naiknya itu enggak kira-kira, sampai 36 kali lipat, bukan main. Bayangkan, pada suatu kenaikan dari konfirmasi campak naiknya 36 kali lipat antara 2021 ke 2022,” kata Anggraini menjawab pertanyaan Health Liputan6.com saat Media Briefing bertajuk, Mengapa Difteri dan Campak Harus Diwaspadai, Jumat (10/3/2023).

Kasus konfirmasi campak yang ada merupakan hasil pemeriksaan laboratorium (lab) pada kasus suspek campak. Pada kasus suspek campak, artinya pasien sudah mempunyai gejala campak, namun belum dapat dipastikan, apakah itu campak atau bukan. Sebab, harus melalui pemeriksaan lab.

“Istilah suspek campak itu adalah bila kita menemukan seseorang dengan adanya demam, kemudian muncul ruam, merah-merah di permukaan kulit, maka kami laporkan,” terang Anggraini.

“Nah, dari yang suspek ini diperiksa di laboratorium-laboratorium ada di Jakarta, ada di Bandung, ada di Surabaya, eh ketemu yang namanya konfirmasi campak.”

3 dari 3 halaman

Kasus Suspek Campak Meningkat 7 Kali Lipat

Anggraini Alam memaparkan, kasus suspek campak di Indonesia meningkat 7 kali lipat dari tahun 2021 sampai 2022. Angka ini berdasarkan data Kemenkes per 31 Januari 2023.

Melihat kondisi di Papua Tengah yang jauh, di hutan, dan sulit transportasi, butuh bantuan logistik transportasi udara alias pesawat untuk penanganan campak. Terlebih lagi, mengirimkan dokter dan nakes, obat-obatan maupun vaksin campak.

“Bagaimana suspek campak? Secara klinis demam ruam, ada batuk pilek kemudian mata merah. Ini (suspek meningkat 7 kali lipat), namun yang terkonfirmasi, bukan main itu 36 kali lipat naiknya. Ini mungkin membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang campaknya tinggi,” papar Anggraini. 

Lebih lanjut, Anggraini mengatakan, ada penelitian menunjukkan, bahwa proteksi atau daya tahan tubuh dan ibu ke janin tidaklah besar. Oleh karena itu, butuh pemberian vaksinasi campak rutin, yaitu setidaknya satu dosis bisa memproteksi 70 persen.

“Namun, enam bulan kemudian diberikan lagi, dosis keduanya, maka dia (proteksi) akan naik menjadi 90 persen. Kalau kita lihat ternyata tidak memuaskan, campak bisa menularkan paling banyak dari 1 ke 17 atau 18 individu lainnya,” katanya.

“Proteksi atau cakupannya (imunisasi) harus ke 95 persen dari target. Artinya, makin dekat 100 persen (cakupan imunisasi) makin bagus, karena campak ini sangat amat menular.”

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.