Sukses

Kendala Atasi Stunting di Sultra, Budaya Nikah Muda Masih Melekat

Budaya menikah muda jadi salah satu kendala atasi stunting di Sulawesi Tenggara (Sultra).

Liputan6.com, Kendari Budaya menikah muda rupanya menjadi salah satu kendala mengatasi stunting di Sulawesi Tenggara (Sultra). Perkawinan di usia dini di Sultra sampai sekarang dinilai masih tergolong tinggi yang disebabkan oleh faktor ekonomi dan pendidikan.

Di Kabupaten Bombana, Sultra, misalnya, kondisi stunting di sana sebagaimana data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022 mencapai 25,3 persen dari jumlah penduduk sebanyak 188.226 jiwa.

Bupati Kabupaten Bombana mengungkapkan, terdapat kendala dalam mengatasi penanganan percepatan stunting ini seperti penyebaran sumber daya manusia (SDM) petugas gizi, budaya menikah muda yang masih melekat di masyarakat, dan kurangnya pastisipasi masyarakat untuk hidup sehat.

“Kurangnya partisipasi masyarakat ini menjadi permasalahan klasik bagi kami (Kabupaten Bombana), sehingga perlu adanya pemahaman kepada masyarakat terkait pentingnya datang ke posyandu atau fasilitas kesehatan,” ungkapnya saat 'Roadshow Percepatan Penurunan Stunting dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem di Kabupaten/Kota Sulawesi Tenggara' baru-baru ini.

Berdasarkan data nasional SSGI secara umum, tercatat kondisi stunting di wilayah Sulawesi Tenggara tahun 2022, yaitu 27,7 persen. Angka ini termasuk jumlah yang cukup besar dalam upaya penurunan stunting di Indonesia.

Melalui pernyataan resmi yang diterima Health Liputan6.com, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) melalui kementerian/lembaga yang bersangkutan bersama-sama untuk mengatasi masalah ini agar stunting di Indonesia dapat mengalami penurunan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pernikahan Dini Jadi Faktor Pemicu Stunting

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya menyoroti faktor pernikahan dini di balik fenomena stunting. Sebab, perempuan yang melahirkan di usia terlalu dini berisiko mengalami kondisi kurang darah, yang berujung stunting.

"Kita senang bahwa penanganan stunting selama 8 tahun ini menghasilkan penurunan yang sangat drastis dari 37 persen kemudian pada 2022 menjadi 22,6 persen," ujarnya di Gedung BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), Jakarta Timur, Rabu (25/1/2023).

"Target kita tahun depan 2024 harus turun menjadi 14 persen. Karena memang standar di WHO itu 20 (persen)."

Lebih lanjut, Jokowi mengaatakan, pernikahan dini adalah faktor lain pemicu stunting, bersamaan dengan faktor gizi dan lingkungan. Padahal, kesiapan menikah baik dari segi fisik maupun rohani amat penting sebagai langkah awal pencegahan risiko stunting.

Penyelesaian stunting setelah anak lahir lebih sulit dibandingkan upaya penyelesaian saat anak masih dalam kandungan.

"Itu masalah stunting juga masalah mengenai bagaimana kita menyiapkan pra hamil dan saat hamil penting. Penting yang namanya pernikahan itu harus dilihat bahwa mereka yang menikah benar-benar siap. Siap lahir dan batin," beber Jokowi.

"Jangan sampai mau menikah ada anemia, kurang darah. Itu nanti waktu hamil kalau tidak diselesaikan, hamil, anaknya menjadi stunting."

3 dari 3 halaman

Nikah Muda di Wilayah Pedesaan

Pelaksana Tugas Kepala BKKBN Sultra, Mustakim membeberkan, faktor ekonomi lemah dan rendahnya pendidikan bagi kalangan perempuan menjadi penyebab utama tingginya angka perkawinan usia muda berkisar 15 -16 tahun.

Perkawinan di usia dini bagi perempuan banyak terjadi di wilayah pedesaan lantaran tidak memiliki pekerjaan dan putus sekolah.

"Perkawinan usia dini di Sulawesi Tenggara sudah terjadi sejak 20 tahun lalu. Indikasinya dengan memalsukan usia saat nikah, agar tidak melanggar UU," ujar Mustakim, sebagaimana dilansir Antara, Senin (21/1/2019).

Mustakim menambahkan, UU Perkawinan yang masih berlaku saat ini masih mengakomodasi usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun laki-laki.

Karena kondisi ini, BKKBN sudah mengusulkan usia perkawinan ideal bagi perempuan 20 tahun ke atas dan usia 25 tahun ke atas untuk laki-laki.

Perkawinan usia muda bagi perempuan, banyak memiliki dampak negatif di antaranya, risiko kematian saat melahirkan dan timbulnya gangguan psikologis di lingkungan masyarakat.

Oleh karena itu, peran orangtua juga menjadi penting untuk memberikan pendidikan mental spiritual bagi putra putrinya agar tetap mengedepankan pendidikan dan prestasi di usia dini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.