Sukses

Pandemi Senyap Resistensi Antimikroba, Diperkirakan Ada Kematian 10 Juta Jiwa pada 2050

Resistensi antimikroba diperkirakan menyumbang kematian 10 juta jiwa pada tahun 2050.

Liputan6.com, Bali - Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia Dante Saksono Harbuwono menyebut, resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) atau resistensi antibiotik akibat mikroba diam-diam lebih berbahaya. Sebab, dampak luas AMR terus meningkat perlahan-lahan di berbagai sektor termasuk ekonomi.

Para ahli memperkirakan resistensi antimikroba dapat menyebabkan Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan global turun sebesar 3,8 persen pada tahun 2050. Tak hanya itu saja, saat ini terdapat 1,27 juta orang meninggal setiap tahun karena infeksi akibat resisten terhadap obat antibiotik.

“Pandemi COVID-19 melanda kita layaknya tsunami – yang menerjang langsung, sedangkan AMR lebih seperti gelombang pasang yang (pelan-pelan) naik. Meski kurang jelas, prevalensinya terus meningkat,” ucap Dante saat membuka pertemuan Side Event Tackling Antimicrobial Resistance: Curbing The AMR Pandemic di Hilton Resort, Nusa Dua Bali pada Rabu, 24 Agustus 2022.

“Sama seperti COVID-19, AMR tidak mengenal batas negara. Mungkin 'diam' (silent), tetapi pada saat yang sama itulah bahkan lebih berbahaya.”  

Sejak penemuan antibiotik 70 tahun yang lalu, jutaan orang telah terobati penyakitnya. Resistensi antimikroba adalah kondisi saat bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan, sehingga kebal terhadap obat-obatan yang diberikan.

Sayangnya, seiring waktu potensi antibiotik untuk mengobati atau mencegah penyakit telah menyebabkan peningkatan dalam penggunaannya ke titik yang biasanya disalahgunakan, dan diperoleh tanpa resep.  

Jika dibiarkan, risiko penyebaran penyakit dan kematian akibat resistensi antibiotik -- yang disebut silent pandemic -- menjadi semakin tinggi. Hal ini dikarenakan penggunaan antibiotik menjadi tidak mempan atau kebal terhadap antibiotik.

“Ini juga sering disalahgunakan pada manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Akibatnya, Antimicrobial Resistance (AMR) muncul,” tutur Dante.

“Semakin banyak penyakit yang tidak dapat diobati, perawatan yang menyelamatkan jiwa malah menjadi jauh lebih berisiko, dan biaya perawatan kesehatan meningkat sebagai akibat dari perawatan di rumah sakit dan lama waktu sakit.”

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kematian 10 Juta Jiwa pada 2050

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan, laporan review global perkembangan resistensi antimikroba tahun 2016 menggambarkan model simulasi, yang mana kejadian resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor satu di dunia pada 2050.

Prediksi di masa depan tersebut, resistensi antimikroba menyumbang tingkat kematian yang akan mencapai 10.000.000 jiwa per tahun. Disebutkan pula, kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia.

“Gambaran ini akan mungkin terjadi jika saat ini masyarakat internasional tidak memiliki upaya konkret dalam pengendalian penggunaan antimikroba,” terang Syahrul Yasin dalam kesempatan yang sama secara virtual.

Dalam beberapa dekade terakhir, pelaporan berbagai negara juga mencatat adanya peningkatan laju resistensi antimikroba. Sementara itu, penemuan dan jenis antibiotik atau antimikroba baru berjalan sangat lambat.

“Dengan kata lain, pola peningkatan laju resistensi sudah berbanding terbalik dengan penemuan obat antimikroba baru. Hal inilah yang mendasari isu resistensi antimikroba berkembang menjadi tantangan global yang sangat penting dibahas dalam berbagai forum internasional,” sambung Syahrul Yasin.

“Dan dipandang sebagai salah satu ancaman serius untuk segera ditangani bagi sektor peternakan dan kesehatan hewan. Sekali lagi, harus dapat kita pahami bahwa resistensi antimikroba merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan ketahanan pangan di samping pembangunan kesehatan hewan berkelanjutan “

3 dari 4 halaman

Tingkatkan Surveilans dan Diagnostik

Dalam semangat memperkuat ‘Arsitektur Kesehatan Global’ yang disuarakan pada Presidensi G20 Indonesia – ‘Health Working Group’ –  Wamenkes Dante Saksono Harbuwono mengajak bersama-sama menangani resistensi antimikroba.

Salah satu upaya, yakni meningkatkan surveilans dan diagnostik. Setiap negara, terutama anggota G20 diharapkan dapat memantau aktif penggunaan antimikroba dan seberapa besar konsumsi antibiotik pada manusia juga hewan.

“Kita harus memfokuskan kembali upaya dalam mengatasi AMR. Sebagai pemimpin kesehatan ekonomi terbesar, mari bersama-sama, kita menangani ini. Pertama, meningkatkan satu pendekatan kesehatan untuk surveilans AMR, laboratorium kapasitas, dan diagnostik,” papar Dante.

“Surveilans standar dan lintas sektoral untuk penggunaan antimikroba dan konsumsi sangat penting demi memahami dan memantau antimikroba resistensi (AMR). Data yang memadai juga memengaruhi keputusan kebijakan dan tindakan berbasis saintifik di tingkat nasional, regional, dan global.”

Di hadapan para delegasi, Dante berterima kasih atas negara-negara G20 dan organisasi internasional lain saling berbagi tentang pentingnya peningkatan kapasitas untuk mengatasi resistensi antimikroba. Diperlukan upaya berkelanjutan untuk mempromosikan pencegahan bahaya resistensi antimikroba.

“Ke depan, kami tidak punya pilihan, selain jalur cepat demi melacak AMR. Setiap negara punya posisi (peran) yang baik untuk pencegahan dan pengendalian AMR di tingkat nasional dan global.,” kata Dante saat sesi Closing Side Event Tackling Antimicrobial Resistance.

“Kami membahas AMR sejak 2016 dan hari ini menandai kita harus mendorong upaya lebih baik untuk berkomitmen penuh menangani AMR. Bahkan saya berharap kita bisa bertemu lagi dan berbagi penelitian surveilans negara kita masing-masing.”

4 dari 4 halaman

Perangi Bakteri Kebal Antibiotik

Upaya mengurangi resistensi antibiotik telah memungkinkan virus pernapasan lain — seperti SARS-CoV-2 — mendorong penggunaan antibiotik yang tidak tepat di seluruh dunia. Meskipun proporsi keseluruhan rendah dari pasien yang memiliki koinfeksi bakteri yang dikonfirmasi laboratorium sebesar 7 persen (tinjauan sistematis dan meta-analisis dari 30 penelitian.

Dari jumlah tersebut, 27 di antaranya adalah pasien rawat inap). International Severe Acute Respiratory and emerging Infection Consortium (ISARIC) database klinis membuktikan, banyaknya penyalahgunaan dan penggunaan antibiotik yang berlebihan dengan 61 persen orang dirawat di rumah sakit menerima satu atau lebih antibiotik.

Merujuk jurnal berjudul, Antibiotic resistance: calling time on the ‘silent pandemic’ yang ditulis Marc Mendelson, Michael Sharland, dan Mirfin Mpundu, berkurangnya perhatian global terhadap resistensi antibiotik, istilah 'Silent Pandemic' mendapatkan daya tarik dalam berbagai publikasi. 

“Namun, sesuatu yang dicap ‘silent' seringkali dibiarkan begitu saja. Dengan menyebarkan penggunaan istilah 'silent pandemic', mendorong orang-orang untuk bertindak. Sudah terlalu lama, kami mendesak orang untuk bergabung dalam 'perang' melawan bakteri yang kebal antibiotik, perjuangan kita bukan dengan bakteri, tapi dengan manusia,” tulis peneliti dalam jurnal yang terbit pada Volume 4, JAC - Antimicrobial Resistance tanggal 18 Maret 2022. 

“Kitalah yang terlalu sering menggunakan dan menyalahgunakan antibiotik, kita yang memberi antibiotik ke hewan untuk produksi makanan, dan kita yang mencemari lingkungan melalui pembuatan antibiotik dan cara lain yang dibuat-buat seperti memasukkan antibiotik ke dalam cat antifouling untuk mencegah menempelnya teritip – sejenis udang-udangan – di kapal.” 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.