Sukses

Studi Ungkap 58 Persen Penyakit Menular pada Manusia Berkaitan dengan Iklim

Persoalan iklim tak hanya berpengaruh pada lingkungan, melainkan bisa memengaruhi kesehatan manusia.

Liputan6.com, Jakarta - Masalah yang ditimbulkan oleh iklim seperti banjir, gelombang panas, dan kekeringan ternyata bukan hanya berdampak pada lingkungan. Melainkan saat ini telah ditemukan bahwa persoalan iklim punya kaitan dengan berbagai penyakit menular seperti malaria, hantavirus, kolera, dan antraks.

Hal tersebut diungkapkan oleh sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Climate Change. Para peneliti melalui literatur medis menemukan bahwa 218 dari 375 penyakit menular yang terjadi pada manusia, 58 persennya diperburuk oleh salah satu dari 10 jenis cuaca ekstrem.

Tak berhenti di sana, para peneliti juga memperluas pencarian mereka untuk melihat segala jenis penyakit pada manusia. Termasuk penyakit tidak menular seperti asma, alergi, bahkan penyakit yang muncul akibat gigitan hewan untuk melihat kaitannya dengan iklim.

Alhasil, para peneliti menemukan 286 penyakit dan 223 diantaranya diperburuk oleh iklim itu sendiri. Namun, studi tersebut tidak melakukan perhitungan secara spesifik untuk mengaitkan perubahan penyakit tertentu, peluang, atau besarnya penyakit dengan perubahan iklim.

Para peneliti hanya menemukan kasus dimana cuaca ekstrem merupakan faktor yang mungkin memicu keparahan suatu penyakit diantara banyak faktor lainnya.

Sebelumnya, beberapa dokter juga telah lama menghubungkan antara penyakit dengan cuaca. Para dokter tersebut menunjukkan seberapa luas pengaruh iklim pada kesehatan manusia.

"Jika iklim berubah, risiko penyakit ini juga berubah," ujar salah satu penulis studi sekaligus direktur Institut Kesehatan Global di Universitas Wisconsin-Madison, Dr Jonathan Patz mengutip Channel News Asia, Selasa (9/8/2022).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pengaruh Iklim pada Kesehatan

Jonathan mengungkapkan bahwa manusia perlu untuk memikirkan berbagai penyakit yang muncul sebagai gejala dari bumi yang sebenarnya juga sakit.

Menurut dokter spesialis penyakit menular di Universitas Emory, Carlos del Rio, temuan dari studi tersebut sebenarnya menakutkan dan memberikan gambaran pada manusia soal konsekuensi perubahan iklim.

“Temuan penelitian ini menakutkan dan menggambarkan dengan baik konsekuensi besar perubahan iklim pada patogen manusia,” ujar Carlos.

“Kita yang berada dalam bidang penyakit menular dan mikrobiologi perlu menjadikan perubahan iklim sebagai salah satu prioritas kita dan kita semua perlu bekerja sama untuk mencegah apa yang tidak diragukan akan menjadi bencana akibat perubahan iklim,” tambahnya.

Camilo Mora, penulis utama studi yang juga merupakan seorang analis data iklim di University of Hawaii mengungkapkan bahwa penting untuk mengingat bahwa penelitian tersebut bukanlah soal prediksi kasus di masa depan.

"Tidak ada spekulasi apapun di sini. Ini adalah hal-hal yang memang sudah terjadi," kata Camilo.

3 dari 4 halaman

Penyakit yang Muncul Akibat Cuaca

Camilo mengungkapkan bahwa ada salah satu hal yang bisa dijadikan contoh. Lima tahun lalu, rumahnya di pedesaan Kolombia diterjang banjir. Usai banjir terjadi, Camilo tertular Chikungunya, virus yang disebabkan oleh gigitan nyamuk.

Meskipun sejak kala itu Camilo masih selamat, dirinya mengaku bahwa masih merasakan nyeri sendi bertahun-tahun setelah kejadian. Menurutnya, perubahan iklim terkadang bertindak dengan cara yang aneh.

Contoh lain yang dipaparkan oleh Camilo terjadi pada tahun 2016 lalu di Siberia. Kala itu, bangkai rusa berusia puluhan tahun mati karena antraks. Bangkai rusa tersebut ditemukan saat lapisan es mencair karena adanya pemanasan. Kemudian saat seorang anak menyentuhnya, anak tersebut terkena antraks dan mulai terjangkit.

Camilo juga menemukan bahwa kasus-kasus dimana cuaca ekstrem terjadi dapat memperburuk peluang terjadinya penularan COVID-19 sekaligus mengurangi. Hal tersebut lantaran pada beberapa kasus, panas ekstrem membuat orang lebih sering berkumpul bersama untuk mendinginkan diri dan terkena penyakit.

Namun dalam situasi lain, hujan lebat mengurangi penyebaran COVID-19 karena banyak orang lebih memilih untuk diam di rumah dan tinggal di dalam ruangan, yang jauh dari interaksi bersama orang lain.

4 dari 4 halaman

Pendapat Ahli: Studi Bisa Jadi Pengingat

Dalam kesempatan berbeda, pakar iklim dan kesehatan masyarakat di University of Washington, Kristie Ebi mengungkapkan bahwa dirinya merasa khawatir soal kesimpulan yang akan ditarik masyarakat terkait studi tersebut.

Sebenarnya menurut Kristie, hal tersebut menjadi fakta bahwa pembakaran batu bara, minyak, dan gas alam menyebabkan cuaca ekstrem yang lebih sering dan intens. Penelitian pun telah menunjukkan bahwa pola cuaca terkait dengan banyak masalah kesehatan.

"Namun memang, korelasinya bukanlah sebab-akibat. Para penulis juga tidak membahas sejauh mana bahaya iklim yang ditinjau selama periode waktu penelitian dan sejauh mana setiap perubahan dikaitkan dengan perubahan iklim,” ujar Kristie.

Di sisi lain, menurut Carlos dan direktur Pusat Iklim, Kesehatan, dan Lingkungan Global di Harvard School of Public Health, Dr Aaron Bernstein, studi tersebut dapat dijadikan peringatan yang baik soal iklim dan kesehatan.

"Terutama saat pemanasan global terjadi dan hilangnya habitat yang mendorong hewan dan penyakit mereka lebih dekat ke manusia," ujar Aaron.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.