Sukses

MK Tolak Permohonan Pemanfaatan Ganja Medis di Indonesia, Alasannya?

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menyampaikan putusan terkait permohonan penggunaan ganja medis yang dimohonkan oleh orangtua dengan anak cerebral palsy (CP). Menurut Anwar, permohonan tersebut ditolak.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menyampaikan putusan terkait permohonan penggunaan ganja medis yang dimohonkan oleh orangtua dengan anak cerebral palsy (CP). Anwar menyatakan, permohonan tersebut ditolak. 

Perkara tersebut diputus Anwar Usman selaku hakim konstitusi merangkap anggota, kemudian Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmikh, Foekh, Wahiduddin Adams, Arief Hidayay, Saldi Isra, dan Manahan Sitompul.

“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon V dan pemohon VI tidak dapat diterima. Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anwar dalam sidang putusan atas uji materi UU Narkotika, yang ditayangkan di YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Rabu (20/7/2022).

Putusan tersebut berdasarkan pertimbangan, jenis narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan dan atau terapi belum memiliki bukti pengkajian dan penelitian secara komprehensif.

"Dengan belum ada bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif, maka keinginan para pemohon sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh Mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya, baik secara medis, filosofis, sosiologis, maupun yuridis," kata Hakim MK Suhartoyo.

Dalam penjelasan UU 35/2009 ditegaskan, narkotika jenis tertentu merupakan zat atau obat yang bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat, khususnya generasi bangsa.

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menyatakan, pemanfaatan narkotika telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan setidaknya di beberapa negara. Antara lain Argentina, Australia, Amerika Serikat, Jerman, Yunani, hingga Thailand.

Namun, fakta hukum tersebut tidak serta-merta bisa dijadikan parameter bahwa seluruh jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua negara.

“Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda baik jenis, bahan narkotikanya, struktur dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan.”

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Indonesia Belum Siap

Daniel menambahkan, dalam perspektif ini, untuk negara Indonesia, diperoleh fakta hukum banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin dapat disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika golongan tertentu.

Namun, hal tersebut tidak berbanding lurus dengan akibat besar yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan. Khususnya terkait dengan struktur dan budaya hukum masyarakat, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia.

Terlebih berkenaan dengan pemanfaatan jenis narkotika golongan I termasuk dalam kategori narkotika dengan dampak ketergantungan yang sangat tinggi.

Oleh karena itu, pemanfaatan narkotika golongan I di Indonesia harus diukur dengan kesiapan unsur-unsur yang sudah dijelaskan di atas sekalipun terdapat kemungkinan keterdesakan  untuk pemanfaatannya.

Pemanfaatan ganja medis sebelumnya sudah mendapat tanggapan dari ahli. Salah satunya Guru Besar Fakultas Farmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof apt Zullies Ikawati PhD.

Menurut Zullies, yang diperlukan dari ganja adalah cannabidiol atau CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja.

3 dari 4 halaman

Tak Terlalu Perlu Digunakan

"Karena kalau dalam bentuk tanaman, dia masih bercampur dengan tetrahydrocannabinol (THC) yang bisa menyebabkan banyak efek samping pada mental," kata Zullies kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks Rabu, 29 Juni 2022.

Zullies, menambahkan, di beberapa negara sudah banyak kajian tentang ganja untuk tujuan medis dan beberapa sudah ada uji kliniknya.

"Tetapi sekali lagi, ganja yang dimaksudkan adalah yang dalam bentuk obat, yang sudah jelas dosisnya, dan cara pemakaiannya," dia menambahkan.

Selama ada pilihan lain, kata Zullies, ganja medis tidak terlalu perlu digunakan. Dan, kalaupun akan digunakan, harus dalam bentuk yang sudah terstandar, sebagaimana obat.

Sebelumnya, dia menjelaskan bahwa ganja medis adalah obat yang berasal dari ganja.

Ganja memiliki beberapa senyawa aktif yang bisa berefek terapi, maupun efek samping. Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang terdiri lagi dari berbagai komponen zat lain. Yang utama adalah THC yang memiliki sifat psikoaktif.

"Yang artinya dapat memengaruhi psikis/mental, dan ialah yang bertanggung jawab terhadap efek ketergantungan, dan lain-lain," kata dia menekankan.

4 dari 4 halaman

CBD pada Ganja

Ada lagi senyawa aktif yang namanya cannabidiol atau CBD, lanjutnya, di mana ini memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif.

CBD ini lah yang sebenarnya memiliki efek salah satunya antikejang, dan itu sudah terbukti dalam uji klinik pada beberapa jenis penyakit kejang.

Di Amerika, Food and Drug Administration (FDA) sudah menyetujui obat yang mengandung CBD ini. Obat ini digunakan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet Syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.

“Jadi pada kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka kejang itu yang akan diatasi dengan ganja.”

Kasus viral yang dimaksud Zullies adalah terkait pasangan suami istri Santi Warastuti dan Sunarta yang berjuang untuk sang anak yang menyandang Cerebral Palsy.

Perjuangan keduanya ditumpahkan saat Hari Antinarkotika Internasional yang jatuh pada Minggu 26 Juni 2022 di lokasi Car Free Day Bundaran Hotel Indonesia (CFD HI), Jakarta Pusat.

Santi pun tercatat sebagai salah satu pemohon yang meminta agar penggunaan ganja medis diperbolehkan, tapi akhirnya ditolak oleh MK.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.