Sukses

Gelombang Baru COVID-19 Hadang Banyak Negara, Gegara Apa Sih?

BA.5 yang gahar ditambah banyak negara yang lebih longgar dalam menjalankan protokol kesehatan membuat gelombang baru COVID-19 terjadi.

Liputan6.com, Jakarta Karakteristik subvarian Omicron BA.5 yang mudah menular dikombinasikan beberapa faktor lain membuat peningkatan kasus infeksi COVID-19 yang sangat intens di banyak negara. Lalu, subvarian tersebut juga mendorong munculnya gelombang kasus baru serta peningkatan jumlah orang yang dirawat di rumah sakit serta kematian di seluruh dunia.

Kenyataan di atas membuat banyak orang yang berharap pandemi segera berakhir harus ditunda. Dengan tegas, Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pandemi belum berakhir.

"Gelombang baru dari virus ini menunjukkan bahwa COVID-19 belum berakhir."

"Virus ini (SARS-CoV-2) ini berjalan-jalan dengan bebas dan banyak negera kini tidak efektif dalam mengelola beban penyakit," kata Tedros dalam konferensi pers virtual pada Selasa, 12 Juli 2022 waktu Jenewa, Swiss.

Dalam 2-3 pekan terakhir, kasus dunia meningkat hingga 30 persen. Diantaranya disumbangkan oleh Indonesia, Singapura, Korea Selatan, Meksiko, Australia, Jepang.

Pemimpin Teknis COVID-19 WHO, Maria Van Kerkhove, menyorot penyebaran BA.5 yang kini menjadi virus yang paling dominan menginfeksi masyarakat dunia. BA.5, kata Maria, menjadi perhatian karena memiliki pertumbuhan infeksi yang pesat dibandingkan subvarian Omicron lainnya.

"Virus ini menyebar pada tingkat yang sangat intens di tingkat global dan kemampuan kami untuk mendeteksi kasus telah berkurang sejak strategi pengawasan telah berubah,” katanya kepada wartawan mengutip Global News.

Memang, apa hebatnya turunan Omicron, BA.5 ini?

BA.5 yang pertama kali terdeteksi bersama dengan BA.4 pada Januari 2022 ini memiliki kemampuan mudah menginfeksi tapi juga memiliki mutasi dari Delta. Subvarian Omicron ini juga punya kemampuan immune escape atau luput dari deteksi antibodi.

"Artinya, subvarian ini menginfeksi orang yang sudah memiliki imunitas dari vaksinasi atau terinfeksi, itu jauh lebih tinggi dari varian atau subvarian Omicron sebelumnya," jelas Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman.

"Itu yang membuat dia (BA.5) bersirkulasi lebih cepat," lanjut Dicky menjawab pertanyaan Health-Liputan6.com pada Rabu (13/7/2022).

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Faktor Lain, Dunia yang Lebih Longgar Bikin BA.5 Makin Lenggang Kangkung

Selain karakter BA.5, Dicky menyebutkan faktor lain yakni dunia yang makin longgar terhadap protokol kesehatan. Lalu, mobilitas yang makin tinggi antar negara mempercepat penyebaran penyakit menular satu ini.

Contohnya, di Amerika Serikat misalnya beberapa maskapai penerbangan mencabut kewajiban memakai masker di dalam ruangan. Lalu status vaksinasi jadi bukan hal yang diperhitungkan kembali dalam mobilitas.

"Jaring-jaring pengaman yang makin hilang gini bikin BA.5 makin leluas di tengah modal imunitas yang lebih baik," sebut Dicky lewat pesan suara.

Dicky berharap negara-negara mau melakukan perubahan dengan kembali menerapkan aturan memakai masker, lalu penerapan wajib vaksinasi tiga dosis dalam beragam kegiatan. Lalu, pemerintah mendorong perbaikan kualitas udara dengan ventilasi dan sirkulasi serta mengajak masyarakat menghindari kerumunan untuk menekan penularan BA.5.

"Hal-hal di atas bisa dilakukan tanpa perlu lockdown. Itu mengurangi pergerakan dari BA.5 ini," jelas Dicky.

 

3 dari 5 halaman

Ada Hal yang Lebih Bahaya: Testing Rendah Picu Mutasi Virus yang Lebih Merugikan

WHO sudah berulang kali menyorot mengenai rendahnya angka testing atau pengujian COVID-19 di banyak negara. WHO Executive Director for Health Emergencies, Mike Ryan mengatakan penurunan testing menghambat deteksi dan kasus dan pemantauan evolusi virus.

"Ini menghambat penilaian varian virus yang saat ini beredar dan muncul. Serta sulit untuk 'membaca' tren penularan," kata Ryan.

Epidemiolig asal Irlandia ini mengatakan mengatakan evolusi virus dan karakteristik varian yang muncul tetap "tidak pasti dan tidak dapat diprediksi". Bila tidak ada langkah-langkah untuk mengurangi penularan meningkatkan kemunculan varian baru.

"Bisa memunculkan varian baru, varian dengan tingkat virulensi berbeda, lalu potensi varian virus yang bisa menyelinap masuk tubuh karena kemampuan immune escape," kata Ryan.

 

Dengan rendahnya testing tapi kasus bisa naik 30 persen dalam dua minggu terakhir, ini artinya masih banyak kasus infeksi di masyarakat tidak terdeteksi.

"Kasus yang muncul, itu baru puncak gunung es di tengah menurunnya tracing dan testing" sebut Dicky.

Menurut Dicky, kondisi ini amat berbahaya. Senada dengan Ryan, potensi munculnya mutasi jauh lebih besar lagi.

Rendahnya angka testing tapi dengan peningkatan kasus tinggi juga jadi perhatian mantan Direktur Penyakit Menular Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama.

Ia menilik kasus di Indonesia beberapa hari terakhir. Pada 11 Juli 2022 ada 71.095 spesimen yang diperiksa di Indonesia dengan angka positif adalah 1.681 orang. Lalu, pada 12 Juli ada 97.935 spesimen yang diperiksa, dan yang positif adalah 3.361 orang.

"Angka-angka ini menunjukkan jumlah kasus meningkat 1,99 kali, hampir dua kali lipat, sementara jumlah pemeriksaan hanya naik 1,37 kali lipat, jadi artinya situasi lebih serius dan jelas kita harus waspada," wanti-wanti Tjandra dalam keterangan ke Liputan6.com.

4 dari 5 halaman

Pandemi Masalah Global, Mirisnya Angka Vaksinasi di Afrika Rendah

Vaksinasi merupakan salah satu upaya untuk warga Bumi keluar dari pandemi COVID-19. Namun, ketimpangan vaksinasi masih terasa di banyak negara.

"Kita harus menyadari pandemi ini masalah global, masalah bersama. Namun, dalam hal kerja sama global masih belum terbentuk kuat," jelas Dicky.

Untuk mencapai level proteksi global maka penduduk dunia sekitar 70 persen harus sudah dua kali mendapatkan dosis vaksinasi COVID-19. Kenyataannya, ada 136 negara yang belum mencapai itu.

"Bahkan negara-negara di Afrika pencapaiannya masih di bawah 10 persen, ada juga yang di bawah 5 persen," kata Dicky.

Situasi cakupan vaksinasi yang timpang di banyak negara ini merupakan situasi yang rawan. Bukan cuma soal rawan terhadap 'serangan' BA.5 tapi munculnya varian atau subvarian bbaru yang lebih merugikan.

"Itu yang membuat situasi jadi rawan. Bukan cuma soal BA.5 tapi kemungkinan lahirnya varian atau subvarian yang lebih merugikan,"jelas Dicky.

 

5 dari 5 halaman

Perketat Prokes, Lengkapi Vaksinasi

Di tengah kenaikan kasus COVID-19 global dan dalam negeri, Tjandra mengingatkan masyarakat agar lebih waspada. Masyarakat perlu memperketat protokol kesehatan.

"Pakailah masker anda, jangan lengah," saran Tjandra.

Juga vaksinasi harus kita dapatkan, baik yang kedua dan juga yang booster. Hanya dengan memperketat protokol kesehatan dan mendapatkan vaksin sampai booster maka kita dapat melindungi diri secara optimal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.