Sukses

5 Kata Penyemangat Ini Ternyata Bentuk Toxic Positivity

Kata penyemangat dibutuhkan oleh sebagian orang yang sedang bersedih. Namun, sebagian kata penyemangat ternyata tergolong dalam toxic positivity dan perlu dihindari.

Liputan6.com, Jakarta Kata penyemangat dibutuhkan oleh sebagian orang yang sedang bersedih. Namun, sebagian kata penyemangat ternyata tergolong dalam toxic positivity dan perlu dihindari.

Psikolog dari aplikasi konseling Riliv, Prita Yulia Maharani, mengatakan bahwa toxic positivity adalah kata penyemangat yang sebenarnya memberi dampak negatif pada sahabat atau keluarga yang sedang mencurahkan keluh kesahnya.

“Saat mendengarkan, penting untuk menerapkan empati atau memahami kondisi orang secara utuh. Toxic positivity membuat kita menekan emosi negatif dengan berusaha menerima emosi positif. Padahal, emosi negatif juga perlu kita terima agar tidak menumpuk,” ujar Prita mengutip keterangan pers, Senin (21/6/2021).

Ia juga menyampaikan 5 contoh toxic positivity yang dapat dihindari. Kelima contoh toxic positivity tersebut yakni:

“Masih ada yang lebih susah daripada kamu.”

“Ungkapan ini membuat teman atau kerabat yang bercerita merasa dikecilkan masalahnya (dianggap sepele). Kamu tidak mengetahui seberapa besar usaha atau pun perjuangan dia serta hal yang mungkin memperparah kondisinya,” kata Prita.

Rangkaian kata tersebut dapat diubah menjadi “Aku bisa melihat dan merasakan betapa susahnya kamu berjuang menghadapi semuanya.”

Simak Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

“Sudah, jangan terlalu dipikirkan.”

Selain kata-kata yang terkesan mengecilkan masalah ada pula rangkaian kata yang termasuk toxic positivity yakni “Sudah, jangan terlalu dipikirkan.”

Saat seseorang berusaha bercerita, itu artinya dia berusaha untuk menyingkirkan pikiran itu dengan membagikannya. Tidak tepat jika pendengar menjawab seperti itu.

“Kamu bisa mengapresiasinya dengan ‘Terima kasih sudah bercerita ya’.”

3 dari 6 halaman

“Sudah, jangan sedih terus. Mellow banget.”

Tidak ada orang yang mau sedih, pun tidak ada yang mau disebut mellow, kata Prita. Mengatakan hal ini berarti menutup mata bahwa teman atau sahabat sedang mengalami masalah.

“Padahal, ia telah mempercayai kamu sebagai teman bercerita. Kamu bisa berlatih mengatakan ‘Apa yang bisa kulakukan agar kamu bisa lebih tenang?’.”

4 dari 6 halaman

“Masih mending, kalau aku…”

Kompetisi bisa terjadi di mana saja, termasuk siapa yang paling sengsara. Tidak heran jika kalimat ini bisa menjadi andalan saat seseorang bercerita kesedihannya untuk menunjukkan bahwa dia bukan yang paling sengsara.

Padahal, hal ini hanya membuat kesedihan menumpuk dan tidak divalidasi. Kesedihan bukanlah soal persaingan, dan orang yang sedang bercerita tidak ingin berkompetisi dengan siapapun.

“Kamu bisa membalasnya dengan pelukan atau mengiyakan bahwa apa yang sedang mereka hadapi berat.”

5 dari 6 halaman

“Kamu pasti bisa kok, enggak sulit ini.”

Kalimat ini sering muncul dengan niat membantu dan menguatkan, tapi sebenarnya kalimat ini toxic positivity.

Kata "enggak sulit ini" berarti melihat dari kacamata pribadi dan tidak mempertimbangkan kondisi orang itu. Bisa jadi dia tidak memiliki sumber daya seperti yang dimiliki diri pribadi, serta pengalaman berbeda dari yang sudah dilalui.

“Jika kamu ingin menyemangati, kamu bisa menggunakan kalimat “Aku percaya kamu bisa, jangan lupa istirahat. Yang penting sudah melakukan yang terbaik sesuai kamu, ya’.” Tutupnya.

 

6 dari 6 halaman

Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi COVID-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.