Sukses

Vaksin COVID-19 yang Belum Lulus Uji Coba Manusia Bisa Berakibat Fatal

Pada tahun 1966, uji coba vaksin terhadap virus pernapasan syncytial, penyakit yang banyak diderita bayi, menyebabkan lebih dari 80 persen bayi dan anak yang menerima vaksin dirawat di rumah sakit dan menewaskan dua orang.

Liputan6.com, Jakarta Beberapa hari lalu, kita semua dikejutkan dengan penyetopan vaksin COVID-19 yang diteliti oleh AstraZeneca dan Universitas Oxford. Diduga, reaksi efek samping cukup serius dan fatal, hingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunda uji coba fase tiga vaksin COVID-19 eksperimental untuk alasan keamanan.

Namun, selain uji coba vaksin oleh Universitas Oxford, kini terdapat delapan vaksin potensial lainnya yang sudah mencapai fase 3, yaitu fase yang melibatkan puluhan ribu orang dan membandingkan cara kerjanya dengan vaksin terhadap orang yang hanya mendapatkan plasebo.

Delapan vaksin itu termasuk produk Biologi CanSino China yang disetujui untuk digunakan militer pada bulan Juli, dan vaksin dari Rusia yang telah diuji hanya pada 76 orang.

“Menyetujui vaksin tanpa uji klinis ibarat naik ke pesawat yang belum pernah diuji keamanannya. Mungkin berhasil, tapi kegagalan bisa menjadi bencana besar," kata Tony Moody, MD, direktur Pusat Inovasi Vaksin Influenza Kolaboratif Duke, seperti dikutip Menshealth.

Hal lain yang dikhawatirkan adalah peluncuran vaksin yang diprediksi bisa digunakan pada bulan Oktober, bertepatan dengan pemilu di AS. Ini juga bukan pertama kalinya vaksin digunakan sebagai aksi politik untuk meningkatkan peluang pemilihan presiden.

"Vaksin adalah produk medis teraman di dunia, tetapi bisa ada efek samping yang serius dalam beberapa kasus yang seringkali hanya terungkap oleh uji coba yang sangat besar," kata Kate Langwig, Ph.D., ahli ekologi penyakit menular di Virginia Tech.

Salah satu kemungkinan efek samping lain dikenal sebagai kekebalan vaksin. Hal ini terjadi ketika tubuh membuat antibodi sebagai respons terhadap vaksin. Tetapi di sisi lain, antibodi membantu infeksi masuk ke dalam sel, seperti pada kasus demam berdarah.

"Seharusnya vaksin membuat aman dan sembuh dari COVID-19, ternyata malah memperburuk penyakitnya," kata Nir Eyal, D.Phil., Seorang profesor bioetika di Universitas Rutgers.

Pada tahun 1966, uji coba vaksin terhadap virus pernapasan syncytial, penyakit yang banyak diderita bayi, menyebabkan lebih dari 80 persen bayi dan anak yang menerima vaksin dirawat di rumah sakit dan menewaskan dua orang.

Semua risiko ini dapat dicegah, tetapi keselamatan membutuhkan kesabaran, sesuatu yang sebaiknya diterima oleh masyawakat dan pemerintah.

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Vaksin yang belum teruji bisa mematikan

"Untuk menempatkan ini dalam perspektif, lama pembuatan vaksin biasanya 15 sampai 20 tahun," kata Paul Offit, MD, direktur Vaccine Education Center di Children’s Hospital of Philadelphia.

Laboratorium Offit misalnya, mengembangkan vaksin untuk rotavirus, penyakit yang membunuh bayi. Proses tersebut dimulai pada 1980-an dan tidak selesai hingga 2006. Makalah ilmiah pertama di balik vaksin HPV, diterbitkan pada awal 1990-an, tetapi vaksin tersebut tidak dilisensikan hingga 2006.

Vaksin yang belum teruji bisa berakibat fatal, sampai mematikan. “Vaksin yang tidak efektif dapat menciptakan rasa ketidakamanan dan mungkin bisa tidak peduli dengan jarak sosial, pemakaian masker, dan kebersihan tangan,” kata Atul Malhotra, MD, ahli paru di UC San Diego School of Medicine.

Lebih buruk lagi, vaksin yang belum teruji mungkin memiliki konsekuensi yang jauh melampaui pandemi saat ini. Bahkan saat ini, satu jajak pendapat menunjukkan bahwa hanya 57% orang yang akan menggunakan vaksin virus corona.

Jika kami tidak mendapatkan vaksin dengan benar pada kali pertama, mungkin tidak ada kepercayaan publik yang cukup untuk waktu berikutnya. “Vaksin sangat mirip dengan jarak sosial. Mereka paling efektif jika kita bekerja sama dan membuat banyak orang mendapatkannya. Jika kita mengikis kepercayaan publik melalui penggunaan vaksin yang tidak aman atau tidak efektif, kita mungkin kurang meyakinkan orang untuk divaksinasi di masa depan," kata Langwig.

Bukannya ingin menakut-nakuti, hanya saja vaksin merupakan satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi wabah virus, lanjut Dr. Offit.

Sehingga, menurut Dr. Moody, vaksin yang aman bisa terlihat dari data. Kategorisasi vaksin berhasil termasuk efek samping, tingkat penyakit, lama dirawat, risiko kematian, atau metrik lain yang lebih rendah.

"Kami benar-benar ingin melihat bahwa orang-orang yang mendapatkan vaksin memiliki kondisi yang lebih baik daripada yang yang tidak mendapatkannya," kata Dr. Moody.

3 dari 3 halaman

Infografis Menanti Hasil Uji Klinis Calon Vaksin Covid-19.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.