Sukses

Masyarakat 5.0, Inovasi Jepang Hadapi Masalah Sosial dan Populasi

Ketika negara lain baru memulai "Industri 4.0", Jepang sudah mulai membuat konsep tentang "Masyarakat 5.0"

Liputan6.com, Jakarta Jika beberapa negara, termasuk Indonesia, baru menuju ke Industri 4.0, Jepang sudah melaju terlebih dulu ke era "Society 5.0" atau "Masyarakat 5.0." Hal ini menjadi cara negara tersebut untuk mengatasi berbagai tantangan sosial seperti masalah lingkungan dan energi, serta mengatasi pertumbuhan populasi tua.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan dalam KTT Buenos Aires Desember bahwa Jepang akan berusaha mewujudkan masyarakat masa depan yang berpusat pada manusia.

"Jepang bertekad untuk memimpin pertumbuhan ekonomi global dengan mempromosikan perdagangan bebas dan inovasi, mencapai pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan, dan berkontribusi pada agenda pembangunan dan masalah global lainnya dengan SDG (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB) di intinya," kata Abe.

Jepang menyoroti salah satu masyarakat yang mereka hadapi tentang tingginya populasi tua. Seperti dikutip dari Japan Times pada Selasa (29/1/2019), mereka berupaya mewujudkan seluruh masyarakat termasuk perempuan, kaum muda, orang tua, hingga mereka yang cacat bisa berpartisipasi secara aktif di era "Masyarakat 5.0."

 

Saksikan video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Menghadapi tantangan populasi tua

Co-chair dari WEF Global Future Council on Human Enhancement and Longetivity, Makoto Suematsu telah mempelajari bagaimana penerapan teknologi di bidang medis. Terutama ketika teknologi seperti kecerdasan buatan dan robot termasuk dalam "Masyarakat 5.0."

Suematsu, yang juga merupakan Presiden dari Japan Agency for Medical Research and Development (AMED) mengutip perkiraan transisi populsai. Dia menyatakan bahwa Jepang akan memiliki struktur demografis di mana dua dari tiga orang akan berusia lebih dari 50 tahun di 2040. Tren ini juga terlihat di beberapa negara.

"Kita harus mempertimbangkan bagaimana manusia harus menyesuaikan diri dengan masyarakat seperti ini," kata Suematsu.

Karena itu, dia ingin agar negara matahari terbit ini bisa menjadi pemimpin dalam mewujudkan "umur panjang yang sehat", serta meneliti dan mengembangkan peralatan medis yang diperlukan untuk membantu tenaga perawatan seperti tantangan pada resistensi mikroba.

 

3 dari 3 halaman

Berbagi data

Gagasan lain yang diungkapkan Suematsu adalah bagaimana "berbagi data" dalam komunitas medis secara global.

"Sebenarnya sulit untuk membagikan semua data yang diperlukan di antara para pemangku kepentingan dari tahap pengembangan," ujarnya. Hal ini karena juga terkait dengan persaingan para peneliti dan perusahaan.

"Tetapi berbagi data bisa mencapai hasil yang baik, meskipun secara bertahap."

Contohnya pada demensia, di mana perawatan sangat penting untuk memiliki hidup yang sehat. Tidak ada sistem terpadu untuk mengumpulkan data mendasar, mengelola, dan melacaknya jika diperlukan.

Suematsu mengungkapkan, di 2015 cara berbagi data ini telah dilakukan oleh AMED. Berkat data yang dibagikan di antara lembaga medis tentang pasien, mereka berhasil mendiagnosis seribu orang dengan kondisi yang sulit didiagnosis selama beberapa dekade. Selain itu, 18 gen yang bertanggung jawab atas hal tersebut juga berhasil diidentifikasi selama dua setengah tahun terakhir sejak program dimulai.

Selain itu, pembagian data juga bisa dilihat dari majunya penelitian tentang virus Zika yang dilakukan sebagai kerjasama internasional.

"Ada peningkatan jumlah orang yang berpikir bahwa pembangunan akan benar-benar berjalan lebih cepat jika dipromosikan secara kolektif di tahap awal sebelum fase kompetisi karena sumber daya terbatas," ungkap Suematsu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.